Think before you speak. Read before you think

Breaking News

TK bukan lagi taman untuk anak-anak



Sebenarnya saya sudah pernah membaca beberapa tulisan yang mengeluhkan pola pengajaran di taman kanak-kanak yang terlalu berat untuk anak usia 4 - 6 tahun. Bahkan beberapa pakar sudah memberikan berbagai teori tentang perkembangan anak terutama dari sisi kejiwaan.

Saya bukanlah seorang pakar yang menguasai ilmu pendidikan anak, psikologi anak dan sebagainya. Jadi saya tidak akan cerita soal detail kajian ilmiahnya. Saya hanya akan cerita tentang pengalaman pribadi saya.

Saya punya 2 anak. Si sulung Jaka sekarang berusia 5 tahun dan si bungsu Alya 2 tahun. Saat ini Jaka duduk di TK kelompok B (dulunya biasa disebut nol besar) TK.Al Abrar, Pejompongan, Jakpus. Sedangkan Alya masih belum bersekolah.

Ketika Jaka masih di kelompok A (nol kecil), saya tidak risau dengan pelajaran-pelajaran diberikan gurunya. Kadang ada juga materi yang menurut saya terlampau berat namun masih bisa diterima. Lain halnya ketika Jaka menginjak tahun kedua. Saya sampai geleng kepala melihat materi yang diberikan guru kepada seorang anak umur 5 tahun.

Di dalam buku pelajaran yang diberikan sekolah, Jaka diminta untuk menyebut dan menuliskan namanya. Yang menjadi masalah adalah pertanyaan dan perintah itu dalam bahasa Inggris! Seorang anak usia 5 tahun diberikan pertanyaan essay dalam bahasa Inggris...!

Bahkan jika pertanyaannya dalam bahasa Indonesia sekalipun, masih terlalu berat bagi anak saya. Karena mestinya kegiatan anak usia 5 tahun hanya diisi dengan keceriaan. Belum saatnya memikirkan konsep-konsep rumit yang membuat jidatnya mengkerut. Saya berani bertaruh, jika pertanyaan essay dalam bahasa Inggris tadi diberikan kepada siswa kelas 1 SMA, banyak dari mereka yang akan gagal menjawabnya. Wong penggede negeri ini yang bermukim di senayan sana saja banyak yang cuma bisa bilang Thank you dan I Love You.

Setahu saya TK (Taman Kanak-Kanak) sesuai namanya, adalah sebuah taman bermain bagi anak-anak. Selain diperkenalkan kepada konsep-konsep sederhana tentang dunia anak, etika dan sopan santun anak-anak juga dilatih perkembangan motoriknya. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan anak memasuki usia sekolah. Tapi semua materi dikemas dan disampaikan dalam bentuk permainan bukan pelajaran.

Taman Kanak-kanak (TK) merupakan pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan bagi anak usia 4 - 6 tahun. Pendidikan TK bukan merupakan pra-syarat untuk memasuki jenjang sekolah dasar, sehingga bukan merupakan kewajiban bagi anak untuk memasuki TK. Penyelenggaraan TK dimaksudkan untuk mempersiapkan anak untuk memasuki dunia belajar, sehingga anak akan relatif lebih siap untuk belajar di sekolah dasar daripada anak yang langsung masuk ke SD tanpa melalui TK.


Taman Kanak-kanak bukanlah sekolah, sehingga sistem pembelajaran yang diterapkan pada TK tidak bisa disamakan dengan SD. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di TK antara lain bahwa belajar sambil bermain dan bermain seraya belajar. Bahwa dunia anak usia TK adalah dunia bermain dan sedang dalam masa pertumbuhan sehingga belum waktunya bagi anak usia TK untuk belajar sebagaimana yang dilaksanakan di sekolah. Dengan demikian tidak seharusnya anak TK dipaksakan untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung sebagaimana tuntutan beberapa orang tua. Kemampuan membaca, menulis dan berhitung akan diperoleh pada saat anak duduk di bangku sekolah.(Sumber:Dir Pendidikan TK dan SD Jakarta)

Menurut Wikipedia, "Tujuannya adalah untuk meningkatkan kreatifitas anak dan memacunya untuk belajar mengenal bermacam-macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai moral agama, sosial, emosional, fisik/motorik, kognitif, bahasa, seni, dan kemandirian. semua dirancang sebagai upaya mendewasakan anak dalam kehidupannya".

Tapi sekarang anak TK sudah diberikan materi menulis, membaca dan berhitung yang mestinya baru diberikan ketika masuk sekolah dasar. Bahkan sudah diwajibkan bisa menulis, membaca dan berhitung. Termasuk menggunakan sempoa...! Gilaaaa

Lalu kenapa bisa hal ini terjadi? Apakah gurunya yang salah? Ternyata tidak mudah juga untuk menyalahkan pihak guru begitu saja. Faktor bisnis (sekolah juga bisnis bung!) dan ambisi serta keblingeran para orang tua menjadi faktor yang mendorong pengelola TK melakukan semua itu. Para guru bukannya tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Setidaknya dari segi perkembangan jiwa anak didik. Namun mereka juga seperti tidak bisa berbuat lain.

Banyak orang tua jaman sekarang yang tidak mengerti tentang bagaimana membimbing anak usia pra-sekolah karena memang hal ini tidak banyak disosialisasikan. Pemerintah juga tidak begitu peduli soal yang satu ini. Saya hanya mengenal seorang kak Seto yang konsisten menyampaikan betapa pentingnya memberikan anak sebuah dunia bagi anak-anak.

Orang tua malah bangga jika anaknay sudah bisa menulis, membaca dan behitung di usia dini. Bahkan seringkali memaksakan kemampuan anak untuk mempelajarinya. Jika tidak berhasil di sekolah, maka disediakan les privat. Dengan ambisi yang begitu besar plus intelektualitas rendah maka anak anaklah yang menjadi korban.

Maka dikejarlah sekolah terbaik yang menjamin lulusannya bisa membaca, menulis dan berhitung. Semua berlomba-lomba measuk ke sekolah semacam itu. Walau kadang biaya yang dipatok gila-gilaan.

Di sisi lain, sekolah selain sebagai sarana pendidikan juga sebuah institusi bisnis. Karena sebuah bisnis, tentu tujuannya adalah profit. Darimana mendapatkan profit kalau bukan dari muridnya. Untuk mendapatkan profit tentu sekolah harus diisi oleh murid sebanyak-banyaknya. Dan untuk bisa mendapatkan murid, mereka harus menjamin bahwa lulusannya harus bisa membaca, menulis dan berhitung. Karena itulah yang dituntut oleh para orang tua murid.

Jadi ada supply and demand.

Pertanyaan berikut adalah apakah semua ini akan dibiarkan terus terjadi? Bagaimana nasib anak-anak kita selanjutnya? Apakah pemerintah dan orang-orang pintar tidak bisa berbuat sesuatu untuk membenahinya?

Jawabannya saya pikir (kan ini Opiniku dan pikiranku), selama pemerintah tidak memberikan perhatian yang luar biasa serius maka masalah ini justru akan semakin besar. Sebagai salah satu upaya adalah dengan segera merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 30 persen dari APBN sebagaimana seringkali diteriakkan para elit politik dalam kampanye namun belagak lupa setelah terpilih. Kalaupun diingatkan maka langsung pakai jurus ngeles ala cimande.

Kalau pendidikan nasional terus seperti ini kapan bangsa ini bisa cerdas. Mungkin memang ada kesegajaan untuk terus membuat rakyat dalam kebodohan supaya mudah dibohongi. Jadi lebih aman kalau korupsi.

Maka yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin.....kata bang haji Rhoma Irama.

1 komentar

Aris Sunaryo mengatakan...

Setuju Pak, anak saya masih 3 tahun dan saya ngeri membaca pemberitaan tentang pendidikan buat anak balita yang sangat menyiksa mereka.
Mungkin ini salah satu pendorong metode homeschool makin diminati banyak orang tua.