Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Naga Bonar 2 & Neo-Imperialisme

Selamat kepada Film Naga Bonar 2 yang telah berhasil menjadi yang terbaik dalam FFI 2207.

Keberhasilan Film Naga Bonar 2 meraih penghargaan film terbaik FFI 2007 yang berlangsung Jum'at, 14/12/07 di Riau cukup menarik perhatian saya. Bukan soal seni ataupun sinematografinya karena memang saya bukan orang film. Tapi sekelumit pesan di dalam film itulah yang masih teringat di kepala ini.

Saya bukanlah pengemar film fanatik, baik dalam atau luar negeri, saya hanya menonton film dan berusaha menikmatinya. Kalau disuruh memilih saya lebih suka film yang bertema science, sejarah atau realita sosial.

Di dalam Naga Bonar 2, si empunya cerita menyisipkan pesan nasionalisme dan patriotisme yang berhadapan dengan kemajuan zaman (baca:kapitalisme). Dikisahkan sang naga bonar yang veteran perang kemerdekaan memiliki seorang anak yang tumbuh dan besar di alam modern.

Sang anak ,saya lupa namanya(Bona?) ternyata telah berhasil menjadi pengusaha di Jakarta.
Naga Bonar datang ke Jakarta sehubungan dengan rencana proyek anaknya. Masalahnya, proyek tsb bakal menggusur komplek makam keluarga termasuk makam istri naga bonar yang meninggal setelah melahirkan si Bona.

Naga Bonar tidak setuju makam dibongkar atau dipindah dengan alasan sejarah. Apalagi setelah dia tahu bahwa investor yang akan bekerja sama dengan anaknya dalam proyek tsb adalah orang Jepang yang dulu diperangi mati-matian olehnya. Sementara Bona melihat dari segi bisnis yang memang tidak melihat perbedaan bangsa dsb kecuali keuntungan dan kapital.

Terlepas dari semua pro dan kontra atas kemenangan Film Naga Bonar 2 di FFI 2007 dan protes tentang penyelenggaraan festival film tahunan oleh para insan perfilman (muda) serta masyarakat lainnya. Saya menaruh hormat kepada Film NB 2 karena mau dan dengan jeli mengangkat masalah nasionalisme ke dalam film. Kita semua tahu bahwa saat ini film nasional lebih banyak diisi dengan mistik dan hedonisme. Dengan alasan mengikuti kemauan pasar dan agar laku dijual namun melupakan kewajiban memberikan pendidikan yang menjadi idealisme film nasional.

Kebanyakan film nasional (juga sinetron) bukan mengajak bangsa ini menjadi cerdas dan berpikir rasional tapi malah membodohi bangsanya sendiri dengan hal-hal mistis dan hedonis. Coba tengok: Jailangkung 1 &2, Terowongan casablanca, kuntilanak dll. Seram bukan??? Tidak heran bangsa ini malah jadi makin penakut.

Bahkan sinetron favorit anak saya, Si Entong, masih jauh dari edukatif. Walau memuat sisi religius yang positif tapi secara keseluruhan sinetron ini juga tidak mengajak anak anak untuk kreatif dan berpikir logis. Anak-anak yang menonton malah diajak berkhayal meraih tujuan dengan instant. Dengan benda-benda ajaib yang memiliki kemampuan hebat segala sesuatu menjadi lebih mudah.

Dalam suatu cerita, ada seorang teman si Entong yang terjebak di dalam lubang besar. Lalu si Entong mengeluarkan sandal ajaibnya dapat membuat pemakainya melompat tinggi sekali. Dengan sandal itulah teman si Entong keluar dari lubang dengan cara melompat langsung ke atas.

Coba bandingkan dengan cerita yang pernah saya baca waktu kecil dulu.

Bona, Boni dan Bono tengah asyik bermain di pinggir hutan dekat desanya. Namun tiba-tiba Bona terperosok ke dalam lubang yang dalam. Untung tidak sampai terluka apalagi patah kakinya. Bona tidak dapat memanjat naik keluar dari lubang karena terlalu tinggi dan licin.

Boni dan Bono sempat kebingungan menolong sobatnya keluar dari dasal lubang. Lapor ke bapak takut dimarahi. Pinjam tangga sama paman, pasti ditanya macam-macam.

Kemudian Boni memberikan ide, "Kita gunakan saja akar pohon lalu kita julurkan ke bawah untuk menarik Bona". "Wah itu ide bagus", sahut Bono.

Setelah mencari dan menemukan akar-akar pohon yang kuat, Boni dan Bono mengikatnya sehingga cukup panjang untuk dijulurkan ke dasar lubang. Walhasil, Bona berhasil keluar dari lubang berkat akar pohon dan ide gemilang para sobatnya.

Cerita di atas mengajarkan kreatifitas berpikir dan bertindak sementara si Entong lebih suka cara instant namun mustahil.

Begitulah, dulu dan sekarang.

Konflik antara "dulu dan sekarang" inilah yang tampaknya juga ingin disampaikan oleh Film NB 2. Apalagi melihat adegan Naga Bonar dan Patung Jenderal Sudirman, miris rasanya hati ini.

Mungkin kita mesti meresapi lagi makna dan tujuan para pejuang dan pendiri bangsa ini ketika melepaskan diri dari jerat penjajahan kolonial. Mungkin juga mereka sedang menangis karena anak dan cucu mereka sekarang justru dijajah oleh neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.

Maafkan saya bung...

Tidak ada komentar