Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Dari Goenoeng Sarie ke Kelenteng Sentiong


NAMA Gang Tepekong, Jalan Pintu Besi, dan Jalan Laotze, Jalan Gunung Sahari barangkali bisa mengingatkan pembaca pada sebuah bangunan peristirahatan milik Belanda di sekitaran abad 18. Bangunan ini, menurut Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, dibangun dalam taman luas di luar kota, di sisi barat "Jalan Raya ke Selatan" yang kini dikenal sebagai Jalan Gunung Sahari.

Karena lokasi rumah peristirahatan di kawasan yang tak jauh dari Goenoeng Sarie, maka rumah itu seringkali juga disebut roema Goenoeng Sarie - seperti yang ditulis dan disebutkan Ong Hok Ham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa.

Rumah peristirahatan itu, bersama taman, tentu sudah tak berbekas. Yang bersisa kini hanya bangunan yang jadi Kelenteng Sentiong atau Kelenteng Wan-jie si atau tertulis di pintu gerbang kelenteng itu sebagai Vihara Buddhayana. Bangunan itu kini berada di Jalan Raya Laotze. Bangunan ini juga bisa dicapai dari Jalan Pintu Besi I atau yang dulu bernama Gang Tepekong.

Persis di mulut Jalan Pintu Besi I yang bertemu dengan Jalan Raya Laotze, akan terlihat bangunan bertembok tinggi. Itulah bagian dari rumah peristirahatan yang kini jadi kelenteng. Persis di tengah-tengah kawasan padat di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Menurut Ong Hok Ham, tak seperti rumah-rumah peristirahatan Belanda yang besar dan mewah di luar kota Batavia kala itu, rumah Goenoeng Sarie ini terbilang sederhana. Adalah Frederik Julius Coyett yang membangun rumah itu di tahun 1736. Rumah peristirahatan sederhana itru terletak di tengah alam di luar kota Batavia. Rumah itu dikelilingi oleh hanya satu lapangan rumput yang luas dengan pepohonan tinggi.

Sayangnya, Coyett tak bisa berlama-lama menikmati rumah tersebut karena pada tahun 1736 itu juga, ia meninggal dunia. Istrinya, GM Goossens, menjadi pemilik kedua rumah Goenoeng Sarie. Pada 1753 rumah ini menjadi milik van Suchtelen, kemudian kepemilikan rumah itu terus berganti hingga pada 1761 rumah itu jadi milik Gubernur Jenderal Jacob Mossel.

Lepas dari Mossel, yang meninggal pada tahun yang sama, rumah itu kemudian dibeli oleh warga Batavia, Simon Josephe. Dan sejak itulah rumah dan tanah itu untuk pertama kalinya disebut Goenoeng Sarie. Goenoeng Sarie juga menarik perhatian Raffles karena terdapat koleksi arca Buddha dan Hindu yang dikumpulkan Coyett.

Heuken menyebutkan, Mossel pernah menjabat gubernur di Negapatnam (India) dan membawa arca Vishnu serta tiga sayap tangga dari sana ke Batavia. Karya seni ini memamerkan gaya seni Chola dari abad ke-7 sampai ke-11. Mossel menambahkan patung yang ia bawa dalam koleksi Coyett – patung milik Mossel kini ada di Museum Nasional.

Tak lama setelah ia membeli rumah itu, Josephe kemudian menjual Goenoeng Sarie kepada para pemuka dan kapiten Tionghoa, seperti Kapitein Lim Tjhip Ko, Luitenant Lim Kian Lo, Luitenant Lim Thee Ko. Pada 1888 Goenoeng Sarie resmi jadi milik Kong Koan atau Dewan Opsir Tionghoa. Di tanah itu terdapat kelenteng, kantor Kong Koan dan kuburan Tionghoa. Orang Tionghoa memang sudah menginginkan rumah ini karena alasan memperluas pekuburan yang pernah terbentang dari sebelah selatan Jalan Pangeran Jayakarta sampai ke kebun rumah Coyett.

Perihal warga Tionghoa yang terkait dengan Goenoeng Sarie, dalam Hikayat Kapitein Souw Beng Kong yang ditulis oleh B Hoetink dan kemudian disalin oleh Liem Koen Hian – kemudian dikumpulkan dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia jilid 10 – ada sedikit disebut seperti ini, “Di pertengahan abad ke 18 di Batavia ada orang-orang Tionghoa yang mengaku ada turunannya Kapitein Souw Beng Kong. Antara marika ini tiada ada banyak orang yang ternama. Di antara dua-tiga ratus orang yang namanya ada ditulis di itu masa di ruma Toapekkong di Sentiong Goenoeng Sari seperti orang-orang yang bantu pikul onkostnya ini klenteng cuma ada satu orang she Souw.”

Kelenteng Buddhayana di masa kini menjadi salah satu kelenteng - dari banyak kelenteng yang ada di sepanjang Jalan Laotze - dan salah satu kelenteng tua selain Kelenteng Tri Ratna tak jauh dari kelenteng ini. Pekuburan sudah tak lagi ada di roema Goenoeng Sarie, tersisa rumah yang kini digunakan sebagai kelenteng.

1 komentar

hanum mengatakan...

peninggalan sejarah yang mesti dijaga dilestarikan ^_^