Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Dari Paal Merah Membawa Batik


"PABRIK-pabrik kemedja di Paal Merah dan sekiternja dalem belakangan hari toemboeh bage djamoer di moesim oedjan...(Harian Oetoesan Nasional). Harga kemedja terseboet djaoeh lebih moerah jaitoe antara 250 sampe 800 roepia selosinnja. Djika dibandingken kemedja Arrow didjoeal 170 roepia perboehnja, toko besar the big five soeda padjang kemedja Paal Merah di etalase mereka, menandaken kemedja made in Paal Merah tida kalah dengen kemedja Arrow."

Demikian sebagian catatan yang ditulis Tjamboek Berdoeri 28, nama samaran yang selalu ia gunakan dalam dunia maya. Dalam kenangan atas kemeja Paal Merah itu, Tjamboek juga menyebutkan, "Paal Merah satoe antara 3 (doea laennja Karet dan Kebajoran) daerah pemboeatan batik dibilangan kota Djakarta jang soeda alamin kesoekeran, hingga banjak jang soedah oetjapken, "Selamet djalan".

Bicara soal batik, yang sedang panas dibicarakan di pelosok negeri ini, termasuk di Jakarta dan sekitarnya, ada baiknya kita melongok sebentar ke belakang. Yaitu ke saat usaha batik berkembang di Batavia dengan sentra- sentranya antara lain seperti yang sudah disebutkan Tjamboek, Paal Merah, Karet, dan Kebajoran.

Dalam Batikrapport, P de Kat Angelino - inspektur dinas pekerjaan - menuliskan hasil penelitian tentang usaha batik di Jawa antara lain di Batavia. Menurut Angelino, usaha batik di Batavia, yang dimulai abad 19, juga tersebar antara lain di Pelapetogagan, Gandaria Noord, Tjipoelir, Grogol-oedik, Soekaboemi-ilir, Meroeja-oedik, Karet Sawah, Bedoerengan, Karet (Passer Baroe). Usaha batik di Batavia lebih banyak dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha Tionghoa meski tak sedikit pengusaha pribumi yang membuka usaha batik. Di tahun 1929, jumlah industri batik di Batavia sebanyak 357 dengan 264 industri dimiliki pengusaha Tionghoa dan 93 lainnya dimiliki pribumi.

Sementara itu dari hasil penelitian Dinas Museum dan Sejarah DKI tahun 1990 berhasil dikumpulkan beberapa nama pengusaha batik yaitu Hayadi dari Palmerah, Rusli Syarif yang bergerak di bidang batik printing, Peng Yam bergerak dalam batik sablon, Gunawan Satria, Tee Ke San, Nugraha, Nurman Lukito, dan Otong. Semua perusahaan sudah bangkrut kecuali milik Hayadi.

Munculnya usaha pembatikan di Palmerah mulai terasa tahun 1970 karena mulai muncul perusahaan tekstil yang membuat kain motif batik sehingga usaha kain batik tulis dan batik cap terdesak mundur dan akhirnya bangkrut.

Usaha pembuatan kain batik di Batavia pada awalnya dibawa oleh para pedagang batik dari daerah Jawa Tengah. Sebelum Perang Dunia I, pembuatan batik Batavia masih kasar karena bahan yang digunakan adalah kain tenun bikinan sendiri dan warna kainnya serupa dengan kain Banyumasan. Menurut penelitian tersebut, setelah PD I, baru mulai ada kemajuan dengan munculnya alat batik canting cap.

Daerah pemasaran tekstil dan batik di masa itu adalah Tanah Abang, Jatinegara, dan Kota dengan pedagang Tionghoa dan Arab sebagai pedagang besar.

Di Batavia, tercatat tokoh Tionghoa yang berperan di Indonesia dalam Tokok-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, yang salah satunya adalah Lim Hiong Tjheng. Awalnya ia hanyalah pekerja di pabrik batik di Palmerah pada sekitar 1924. Namun kemudian ia malah memiliki pabrik batik sendiri bernama Hajadi dan hingga kini masih beroperasi.

*Kompas.com


Tidak ada komentar