7 April 1967. Penandatangan Kontrak Karya Freeport : Hadiah Terbesar Orde Baru Untuk Rakyat Indonesia dan Papua.
Pada tanggal 7 April 1967 , hanya beberapa minggu setelah dilantik sebagai
Pejabat Presiden RI , Jendral Soeharto telah memberikan ijin kepada sebuah
perusahaan pertambangan Amerika Serikat, Freeport Sulphur (kemudian menjadi
Freeport Mc Moran) untuk melakukan exploitasi pertambangan tembaga di gunung
Ertsberg, yang terletak di Kabupaten Fakfak, Propinsi Irian Barat (sekarang
sebagian besar areal konsesi Freeport berada di wilayah Kabupaten Mimika,
Papua). Dalam foto ini nampak Menteri Pertambangan RI, Ir. Slamet Bratanata
(duduk paling kanan) lalu di sebelahnya adalah Robert C. Hills, Presiden dari
Freeport Sulphur dan duduk di sudut kiri adalah Manager Freeport Indonesia ,
Forbes K. Wilson. Duta Besar Amerika Serikat (saat itu) untuk Indonesia,
Marshall Green, nampak berdiri di ujung kiri.
Payung hukum formal bagi Freeport untuk
beroperasi di Indonesia adalah Undang-undang No 1 tahun 1967 Tentang Penanaman
Modal Asing, yang disahkan pada tanggal 10 Januari 1967, saat Indonesia secara
teori masih dipimpin oleh Presiden Soekarno. Namun sangat disangsikan apakah
Soekarno pernah meneken pengesahan Undang-undang tersebut, dan seandainya
pernah meneken, apakah dengan sukarela ataukah dengan tekanan dan paksaan.
Freeport Sulphur adalah perusahaan asing
PERTAMA yang masuk dan beroperasi di Indonesia dengan dasar UU PMA 1967 ini.
Dan bahkan menurut seorang penulis Amerika, Bradley R. Simpson, UU PMA 1967 ini
sejak awal perancangannya, telah melibatkan pihak asing, Amerika Serikat
khususnya, dalam merumuskan, menyusun dan mengkoreksi pasal-demi pasal sampai
pada saat pengesahannya (Simpson, R. Bradley , Economic with Guns : Amerika
Serikat, CIA dan Munculnya Rezim Pembangunan Otoriter Orde Baru, Gramedia,
Jakarta 2011, hal. 311- 314). Sebuah perusahaan konsultan Amerika, yang
berkantor pusat di Denver, Van Sickle Associates, telah “membantu” para pejabat
ekonomi Orde Baru (dengan mengabaikan sama sekali keberadaan Soekarno yang
notabene saat itu adalah Presiden Indonesia yang resmi dan sah) untuk menyusun
RUU PMA ini sejak bulan September tahun 1966, empat bulan sebelum disahkan
menjadi Undang-undang. Antara Freeport dan UU PMA 1967 ini memang hubungannya sangat
erat, kait-mengkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. UU PMA ini boleh
jadi bukan hanya merupakan Undang-undang yang menguntungkan bagi para kapitalis
asing, namun lebih jauh lagi- mereka (Freeport dkk) juga terlibat dalam proses
kelahirannya-. Dan memang menurut penulis diatas (Bradley) , hanya dalam
hitungan bulan setelah meletusnya peristiwa G 30 S dan melemahnya posisi
Presiden Soekarno, tepatnya pada bulan April 1966, pihak Freeport telah memberi
tahu Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa mereka (Freeport)
membutuhkan seperangkat aturan hukum yang “pro pengusaha” sebagai syarat
investasi mereka di Indonesia, yaitu perjanjian perlindungan penanaman modal,
iklim investasi yang “layak” serta hak konsesi penuh tanpa adanya keharusan bagi
– hasil (Bradley, hal. 308) . Freeport dan para kapitalis asing yang serakah
ini benar-benar melihat kepemimpinan Presiden Soekarno yang anti “barat”, anti
kapitalis dan anti kolonialis ini, sebagai batu sandungan yang sangat besar
bagi ambisi-ambisi kapitalistik mereka, dan kejatuhan Soekarno adalah hari
bahagia yang paling dinantikan.
Dan saat itu akhirnya tiba, setelah
Presiden Soekarno akhirnya bisa dipaksa untuk menyerahkan kekuasaannya kepada
Jendral Soeharto pada tanggal 12 Maret 1967 - sebulan setelah UU PMA disahkan –
dan sebulan sebelum kontrak karya Freeport ditekan, pada tanggal 7 April 1967,
45 tahun yang lalu. (Sumber foto : The Netherlands National Press Agency/ANP,
April 1967)
1 komentar
Apa Kabar MAs Herry?
Posting Komentar