Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Marunda oh Marunda...

Menanam Bakau di Marunda
Kehidupan manusia memang harus terus maju dan berkembang. Namun ketika perkembangan itu mengorbankan manusia dan alamnya, akibatnya adalah ironi yang mengenaskan.

Sudah saatnya kita semua lebih bijak lagi dalam membuat program pembangunan. Karena alam ini bukan hanya milik kita. Namun juga milik anak dan cucu kita...


Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

www.kompas.com
Jumat, 14 Maret 2008 | 09:28 WIB

Oleh Mulyawan Karim

Haji Tarmizi masih ingat, pada tahun 1970-an Marunda, kampungnya, sering dijadikan lokasi pembuatan film. Sebut saja, misalnya, Singa Betina dari Marunda yang dibintangi WD Mochtar, Hadi Sjam Tahak, dan Connie Suteja serta Benyamin Tarzan Kota, dengan pemeran utama aktor Betawi kocak Benyamin Sueb.

Singa Betina dan Tarcuma adalah dua dari sederet film yang shooting-nya dilakukan di desa pesisir di ujung timur Teluk Jakarta itu.

”Waktu itu rumah saya ini suka dijadikan tempat menginap artis dan awak film,” kenang Tarmizi dalam obrolan hari Minggu lalu di rumahnya, tak sampai 20 meter dari sisi timur muara Kali Blencong, sungai lebar yang membelah dataran Marunda jadi dua.

”Saya dan teman-teman malah sering ikut diajak main jadi figuran,” kenang lelaki Betawi berumur 52 tahun itu, yang mengaku warga asli Marunda.

Menurut Tarmizi, waktu itu alam Marunda masih indah. ”Pohon kelapa masih ada di mana-mana. Tepian Sungai Blencong dan kali-kali kecil lain yang mengitarinya dipadati pohon enau.

Pada masa 30-an tahun lalu Marunda juga bukan kampung yang terletak langsung di tepi laut seperti sekarang. ”Jarak dari kampung ini ke laut masih beberapa kilometer. Untuk sampai ke laut kami masih harus naik perahu, lewat hutan bakau dan tambak-tambak ikan bandeng dan udang,” ujar Tarmizi, yang kini Ketua RT 01 RW 07 Kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Kini nyaris tak ada lagi kehijauan di Marunda. Tak ada sepotong pun pohon kelapa dan enau yang masih bisa dilihat di sana. Hutan bakau Marunda yang luas dan lebat pun tinggal cerita. Hutan tumbuhan khas daerah pesisir itu sudah punah akibat proses abrasi yang terus menggerus tanah pantainya selama lebih dari 30 tahun.

Dari sebuah desa yang leluasa dan aman dari ancaman gelombang laut, Marunda kini sudah berubah menjadi perkampungan relatif padat yang berada langsung di tepi laut terbuka. Sebagian rumah warga bahkan berdiri hanya beberapa meter dari bibir pantai, membuatnya seperti akan tersapu setiap kali gelombang besar datang.

”Belum lama ini pos kamling (pos keamanan lingkungan) yang kami bangun hancur oleh gelombang besar,” ujar Tarmizi sambil menunjuk sisa-sisa bangunan pos keamanan yang sudah rata dengan tanah.

Penambangan pasir

Menurut Tarmizi, kehancuran hutan bakau Marunda dimulai pada awal tahun 1890-an. Ketika itu secara besar-besaran terjadi penambangan atas pasir beting di perairan laut Marunda untuk pembangunan jalan raya Cakung-Cilincing. Beting atau bukit pasir yang menyembul di laut itu membentang sepanjang sekitar 5 kilometer dari perairan pantai Cilincing di barat sampai ke daerah Muara Gembong di Bekasi.

Jaelani Asmat, warga lain Marunda, bahkan mengingatkan, penambangan pasir beting Marunda secara besar-besaran sudah terjadi sejak tahun 1960-an, saat pemerintah membangun jalan Jakarta By Pass, jalan raya yang menghubungkan daerah Cawang di Jakarta Timur dan Tanjung Priok di Jakarta Utara.

”Beting yang lebarnya mencapai sekitar 20 meter ini merupakan benteng alam pelindung hutan bakau dan daratan Marunda,” cerita Jaelani. Setelah beting hilang, karena pasirnya terus diambil, daerah Marunda jadi langsung berada di tepi laut terbuka.

Ditambahkan Jaelani, berbagai faktor lain ikut mempercepat penghancuran lingkungan alam pesisir Marunda yang asri. Salah satunya adalah proyek pembangunan Pusat Perkayuan Marunda (PPM) pada tahun 1980-an. Dalam rangka pembangunan pelabuhan kayu, Sungai Blencong yang sempit bagian muaranya diperlebar dan diperdalam agar bisa dilalui kapal-kapal besar. ”Dari cuma 40 meter, muara Sungai Blencong diperlebar sampai sekitar 100 meter. Untuk ini pohon-pohon kelapa, nipah, dan bakau yang masih ada dibabat habis,” cerita laki-laki 58 tahun itu.

Bukan cuma hutan bakau yang habis, sebagian warga Marunda pun ikut tergusur proyek pembangunan PPM yang diimpikan menjadi pelabuhan dan pusat industri kayu raksasa itu.

Saat melakukan penelitian di Marunda dalam rangka penyusunan disertasinya, akhir 1980-an, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono yang antropolog mencatat dalam ringkasan disertasinya (1991), penggusuran itu telah mengakibatkan ratusan keluarga warga Marunda mengalami stres.

Setelah PT PPM milik Departemen Kehutanan bangkrut, proyek pembangunan pelabuhan di Marunda dilanjutkan oleh pengelola Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang juga melanjutkan kegiatan pelebaran Sungai Blencong dan pengerukan laut di sekitar pesisir Marunda.

Produksi udang dan ikan bandeng di tambak-tambak yang tersisa pun terus merosot akibat air Sungai Blencong tercemar berat limbah industri sejak dari hulunya di Bekasi.

Berbagai usaha pemerintah mereboisasi hutan bakau tak kunjung membuahkan hasil. ”Tahun lalu Departemen Kelautan dan Perikanan menanam 20.000 bibit bakau di Marunda Pulo dan kampung-kampung lain di Marunda yang berlokasi langsung di tepi laut. Namun, yang tumbuh tak lebih dari 400 pohon saja,” kata Tarmizi yang ikut terlibat dalam proyek itu.

Kini, setiap masa pasang naik, rumah-rumah di pesisir Marunda, termasuk bangunan cagar budaya rumah Si Pitung dan Masjid Alam, masjid tua yang konon dibangun dalam semalam oleh Fatahillah pada abad ke-16, pasti berhari-hari terendam air laut. ”Padahal, dulu kami di sini enggak pernah kebanjiran. Kalau laut pasang, rumah paling terendam beberapa jam saja,” cerita Tarmizi.

3 komentar

Anonim mengatakan...

Tak kira gambar orang nanem padi di lumpur Lapindo hehehe

Anonim mengatakan...

Aslkm..

mudah2aan semakin banyak yang sadar akan hal ini.

Anonim mengatakan...

Iya ya mas .... mudah2an tanah papua tidak akan bernasib seperti marunda.. padahal sudah banyak yang di eksplointasi. mana tau bahwa gunung2 di papua itu sudah jadi gorong2