Perempuan Pertama di Parlemen Hindia Belanda
Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer, perempuan pertama yang menjadi anggota Dewan Rakyat. Sumber: Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Repro: Iwan Kurniawan. |
Namanya tak pernah disebut dalam sejarah Indonesia. Kehadirannya di Dewan Rakyat memicu protes gerakan perempuan Indonesia.
Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer menjadi perempuan pertama yang duduk di Dewan Rakyat Hindia-Belanda (Volksraad). Ia mengisi kekosongan wakil perempuan yang tak pernah ada sejak parlemen Hindia Belanda itu didirikan tahun 1918. Sebelumnya, lembaga legislatif (meski wewenangnya terbatas) itu hanya diisi laki-laki. Cornelia berhasil menduduki kursi Dewan Rakyat pada 1935 melalui penunjukan dan memperoleh hak pilih pasif, yakni bisa dipilih tapi tak bisa memilih.
Sepak terjang Cornelia dalam gerakan perempuan di Hindia-Belanda bermula dari pertemuannya dengan EGGR. Ellendt pendiri Perhimpunan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Verbond, IEV) yang juga dicalonkan sebagai anggota Volksraad dari organisasinya. Ellendt juga salah satu pendiri Organisasi Perempuan Indo-Eropa (Indo-Europeesche Vrouwen-Organisatie, IEVO). Mereka bertemu dalam perjamuan di kediaman keluarga Razoux Schultz, suami Cornelia, beberapa saat setelah Cornelia pindah ke Hindia-Belanda dan tinggal di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).
Ellendt menceritakan rencananya untuk membentuk organisasi wanita yang sehaluan dengan perjuangan IEV dan khusus mewadahi perempuan Indo-Eropa. Rencana ini disambut baik oleh Cornelia. Selanjutnya, menurut artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad”di harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 15 Mei 1935, Cornelia memenuhi syarat yang dicari Ellendt. Ia menginginkan perempuan yang dekat dengan lingkaran IEV, memiliki keberanian untuk memimpin organisasi perempuan, dan bersimpati pada program IEV.
Kebetulan, suami Cornelia merupakan orang cukup penting. Razoux Schultz bekerja sebagai insinyur bidang perawatan kesehatan di kantor Pusat Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst van Volksgezondheid, DGV), Batavia. Cornelia juga tertarik dengan tujuan IEV untuk mengupayakan perjanjian Indo-Eropa dan siap menerima tugas baru untuk memimpin organisasi perempuan. Artikel “De Eerste Vrouw in den Volksraad” juga menggambarkan Cornelia sebagai pribadi yang energik, berani, cekatan, dan teguh pada pendirian.
Akhirnya Ellendt menyerahkan rencananya pada Cornelia. Dari sinilah awal mula Cornelia terjun dalam aktivisme perempuan di Hindia-Belanda. Ia terpilih sebagai Presiden IEVO. Sebuah komite kepala kemudian dibentuk di bawah kepemimpinan Cornelia tahun 1931.
Cornelia bersama IEVO fokus pada peningkatan kesejahteraan dan pendidikan. Ia membangun sekolah-sekolah yang mengajarkan keahlian mengasuh, memasak, dan membuat pakaian. Di daerah Kramat dibangun sebuah sekolah negeri kelas dua (tweede klasse, ongko loro) yang melayani lebih banyak murid setiap tahunnya. Sekolah ini ditujukan untuk memberikan pelatihan kilat pada anak perempuan untuk menjadi pengasuh atau pengurus rumah. Pendirian sekolah-sekolah itu dibarengi dengan pembuatan perpustakaan yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa, termasuk Bandung dan Mojokerto.
Fokus perjuangan Cornelia pada pendidikan dan pendirian sekolah tidak lepas dari aktivitasnya di Eropa. Cornelia yang lahir 27 Oktober 1898 di Duisburg, Jerman menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Arnhem. Dia mengenyam pendidikan di Kweekschool untuk menjadi guru.
Ketika berusia 19-20an tahun dia meminta ditempatkan di sekolah rakyat yang mengajar anak-anak usia 14-15 tahun. Sebagai guru muda, Cornelia kerap membantu orang-orang yang kesusahan. Ia menyakini bahwa pemerataan kesejahteraan hidup sesama manusia adalah hal yang penting. Pemikiran ini membuatnya menjadi sosok berpengaruh di kalangan anak muda.
Atas kepedulian Cornelia dalam bidang pendidikan, Kerajaan Belanda memberinya penghargaan Ksatria Ordo Oranje-Nassau. Sebuah penghargaan yang diberikan pada orang yang dianggap berjasa pada masyarakat.
Tidak hanya soal pendidikan, Cornelia juga aktif memperjuangkan hak pilih perempuan ketika menjadi anggota Dewan Rakyat. Pada 1937 Cornelia mengajukan mosi di Dewan Rakyat yang mendesak Pemerintah Kolonial untuk memberi hak pilih perempuan bagi semua ras.
Cornelia tetap setia pada keinginannya untuk mendukung hak pilih perempuan dari semua ras ketika Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV), organisasi yang juga dia ikuti selain IEVO, memutuskan untuk menghentikan pejuangan mereka. VVV yang sebelumnya aktif mendesak pemerintah untuk memberikan hak pilih pada perempuan dari semua ras, mengganti tuntutannya dengan meminta hak pilih hanya bagi perempuan Belanda.
Protes Para Perempuan Indonesia
Keputusan Pemerintah Kolonial untuk mengangkat Cornelia sebagai anggota Dewan Rakyat memancing protes para perempuan Indonesia. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, para perempuan menginginkan seorang wakil perempuan Indonesia di Volksraad. Tapi alih-alih memilih perempuan Indonesia, pemerintah Belanda menunjuk seorang perempuan Belanda yang aktif di organisasi perempuan sayap IEV.
Sudah begitu, Cornelia hanya memperoleh hak pilih pasif, yakni boleh dipilih tapi tak boleh memilih. Sementara di Negeri Belanda sendiri hak perempuan untuk dipilih (hak pilih pasif) disetujui pada 1917. Dikutip dari Atria.nl, dua tahun setelah penetapan hak pilih pasif tersebut, pada 1919 perempuan Belanda baru memperoleh hak untuk memilih dan dipilih. Padahal, perjuangan mereka untuk mendapatkan hak pilih sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 dengan Aletta Jacobs sebagai sebagai salah satu pemimpin pergerakannya. Di negeri jajahan, hal ini terjadi jauh setelahnya.
Masalah hak pilih baru dibahas perempuan Indonesia pada Kongres ke III di Bandung tahun 1938. Hasil kongres mengamanatkan untuk melakukan penyelidikan tentang hak pilih perempuan Indonesia. Selain itu, 18 organisasi perempuan juga mengatur pertemuan pada 8 Agustus 1938 di Jakarta untuk membahas lebih lanjut tentang hak pilih mereka.
Menjelang pemilihan kembali anggota Dewan Rakyat tahun 1939, para perempuan kembali berkumpul. Mereka kembali meminta agar dipilih wakil dari perempuan Indonesia. Sarikat Kaum Ibu Sumatera bahkan mengirimkan telegram hasil keputusan pertemuan mereka ke Pemerintah Kolonial pada 20 Januari 1939. Isinya menyatakan Maria Ullfah sebagai kandidat yang paling pantas untuk mewakili perempuan Indonesia. Tidak hanya Maria Ullfah, ada calon lain yang diajukan organisasi perempuan, yakni Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif di VVV.
“Seorang perempuan Belanda, bukan Indonesia, sekali lagi yang dipilih menjadi anggota Volksraad. Hasil ini lebih mengecewakan karena Maria Ullfah, seorang lulusan Hukum Universitas Leiden, telah dicalonkan oleh para perempuan Indonesia,” tulis Cora. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, suara para perempuan Indonesia tak didengar. Pemerintah Kolonial kembali memilih Cornelia menjadi anggota Dewan Rakyat pada 1939. Tak ada wakil perempuan Indonesia di sana.
Nur Janti
Tidak ada komentar
Posting Komentar