Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

Soe Hok Gie dan dan aksi demonstrasi mahasiswa. 
Ilustrasi
Soe Hok Gie mengkritik segelintir pimpinan mahasiswa yang lantang bersuara melengserkan Orde Lama, namun tunduk di kursi empuk Orde Baru. 

SEBAGAI pejabat presiden, Soeharto berkepentingan membersihkan parlemen dari unsur Orde Lama. Sang Jenderal menginginkan lembaga perwakilan rakyat direstrukturisasi dan mengisinya dengan wajah baru. Manuver ini semata untuk tujuan politik: menarik dukungan yang efektif dari dewan legislatif atas setiap kebijakan rezim Soeharto. Tak hanya orang partai dan tentara, beberapa mahasiswa ikut dilibatkan. Mereka yang “terjaring” adalah aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang berperan menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno lewat serangkaian aksi demonstrasi.

“Ujian pertama dari KAMI datang pada saat penawaran menjadi anggota DPR-GR. Golongan moral forces menolaknya, karena melihat racun berbungkus madu diatas kursi empuk DPR-GR. Sebaliknya golongan politisi setuju karena suara mereka diperlukan untuk voting anti Soekarno (yang makin lemah) dan menyusun UU Pemilihan Umum,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel “Menyambut Dua Tahun KAMI: Moga-Moga KAMI Tidak Mendjadi Neo PPMI”, Kompas, 26 Oktober 1967.

Jenderal Soeharto menerima delegasi KAMI untuk berdialog tahun 1966.
Foto: IPPHOS.
Pada Januari 1967, sebanyak tiga belas mahasiswa ditunjuk menjadi perwakilan mahasiswa di DPR-GR. Semuanya berasal dari KAMI Pusat (Jakarta). Mereka yang disebut Gie sebagai golongan politik antara lain: Slamet Sukirnanto, T. Zulfadli, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Firdaus Wadjdi, Soegeng Sarjadi, Cosmas Batubara, Liem Bian Khoen, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar, dan Salam Sumangat. “Agar partai-partai Orla (Orde Lama, red.) tak mendominasi di sana,” kata seorang Ketua Presidium KAMI kepada Gie ketika ditanya soal kesediaannya menjadi anggota DPR-GR.

Sinis bercampur sedih mengisi benak Gie tatkala memandang laku para rekannya yang menurutnya sudah mulai silau dengan kekuasaan. Dalam artikel yang sama, Gie menyebut sebagian besar aktivis-aktivis KAMI adalah tokoh-tokoh yang hidup dengan menunggangi status kemahasiswaannya. Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiwa yang berpolitik, tetapi politikus yang punya kartu mahasiswa.

“Akhirnya Soekarno jatuh tetapi mahasiswa yang di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa,” tulis Gie.

Mendandani Bopeng Mahasiswa

Begitu para aktivis kampus ini duduk di kursi anggota dewan, perpecahan mulai meletup. Pasalnya, mereka yang telah ditunjuk dalam parlemen bersekutu dengan partai politik. Mereka tak lagi berbicara atas nama mahasiswa, melainkan sebagai wakil golongan Islam, Katolik, dan sebagainya. Perselisihan pun mencuat ditingkat akar rumput, yaitu diantara sesama anggota KAMI. Sebagai organisasi mahasiswa yang menanungi berbagai golongan, KAMI tak lagi satu suara untuk kepentingan bersama.
“Dari sini kelihatan bahwa tokoh-tokoh KAMI mulai kembali ke induknya,” ujar Gie. Gie secara radikal menentang mantan rekannya sesama aktivis mahasiswa yang memilih terjun berpolitik praktis. Mengapa?

Dalam disertasinya di Australian National University, John Maxwell menjelaskan gagasan Gie bahwa mahasiswa seharusnya hanya muncul sebagai aktor politik manakala krisis sedang mencapai puncaknya. Ketika krisis sudah berlalu, mereka seharusnya kembali ke kampus. Gie membayangkan semangat aktivisme yang wajar: mulai soal olahraga sampai soal kebebasan mimbar kampus. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya.

“Segera terlihat bahwa aktivis-aktivis terkemuka KAMI tidak tertarik untuk atau cakap menangani masalah sehari-hari yang paling signifikan bagi mahasiswa biasa, seperti kualitas pendidikan yang mereka dapatkan, kondisi sumber daya universitas, misalnya perpustakaan dan laboratorium, dan penyediaan fasilitas olahraga yang lebih baik,” tulis Maxwell dalam Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Prediksi Gie tentang “racun bercampur madu” yang menjerat di kursi di dewan legislatif terbukti. Kelakuan minus para aktivis mahasiswa-cum-anggota parlemen yang lupa diri ini terendus ke muka publik. Mulai dari wara-wiri keluar negeri dalam rangka “misi pencarian fakta” tanpa hasil, ketidakterbukaan soal gaji mahasiswa sebagai anggota DPR-GR, hingga berlomba-lomba kredit mobil mewah. Puncaknya ketika para anggota laskar menggemboskan mobil ban tokoh-tokoh mahasiswa di markas Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka merasa tertipu melihat kemewahan para pemimpinnya.

Maxwell mencatat beberapa pemimpin KAMI, yang ditunjuk untuk duduk di dewan legislatif ternyata terlibat dalam manipulasi penyediaan kendaraan bermotor untuk para anggota parlemen. Mereka mendapatkan jatah mobil Holden Spesial dengan pengaturan biaya khusus sehingga harga mobil-mobil ini bisa jauh di bawah harga pasar yang berlaku. Skandal ini ramai mengisi bagian muka berita media-media di Jakarta saat itu. Reaksi keras dan kritik juga berdatangan dari mahasiswa-mahasiswa lain, terutama dari Bandung

Gie tak ketinggalan. Dalam artikelnya “Menaklukkan Gunung Slamet” termuat di Kompas, 14 September 1967, Gie menyebut sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling. “Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.”

Tak cukup sampai di situ. Menyaksikan perangai cacat mantan kawan seperjuangannya, Gie tergerak memberikan apresiasi. Bersama beberapa rekannya, dia mencetuskan rencana untuk mengirimkan hadiah “Lebaran-Natal” kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen. Sebuah paket diantar pada 12 Desember 1969. Isinya antara lain: pemulas bibir, bedak pupur, cermin, jarum, dan benang. Sepucuk surat dan kumpulan tanda tangan mengiringi.

Sebagaimana termuat dalam harian Nusantara, 15 Desember 1969, demikian pesan dalam paket tersebut.

Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosemetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR.
Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmatilah kursi anda –tidurlah nyeyak!
Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex-demonstran ’66.

Martin Sitompul

Tidak ada komentar