Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40,
Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore.
(KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)
Senyum ramah Soesilo Toer (81) terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat bertatap muka. Rambutnya putih, matanya sipit. Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya. Ingatan adik dari penulis dan sastrawan tersohor, Pramoedya Ananta Toer, itu masih tajam. Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.

Sesekali dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.‎ 

Meski bergelar doktor dari universitas di Rusia, hidupnya kini seadanya. Semua berawal saat dia ditangkap karena dituding antek komunis sesaat setelah pulang dari Rusia. 

Bertahun-tahun berusaha sekuat tenaga bertahan hidup, tetapi stigma terlibat PKI membuat hidupnya hancur. Dia akhirnya memutuskan bahagia dengan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual. 

Soes, begitu dia kerap disapa, memutuskan pulang kampung di Blora, Jawa Tengah, dan tinggal di rumah warisan keluarga besar Toer. Rumah yang menyimpan memorinya bersama kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. 

Di rumah itu pula Soes membangun perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) untuk mengenang sang kakak sekaligus mendorong generasi muda setempat gemar membaca.‎ 

Toer bersaudara 

Pramoedya terlahir sebagai sulung dalam keluarga Toer. Pramoedya memiliki adik Prawito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemi Sjafaatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer. 

Soes mengatakan, saat ini, Toer bersaudara hanya tersisa ‎dirinya dan sang kakak, Koesaisah Toer, yang menetap di Jakarta. 

Soes yang besar di Blora ikut tinggal bersama Pramoedya saat pertama kali ke Jakarta. Dia lalu berkuliah dengan sokongan dana dari Pram. 

Setelah sempat putus kuliah di dua kampus lain karena alasan biaya, Soes akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di‎ ‎Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). ‎ 

Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Soes bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.‎ Gaji Soes tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap.‎ 

Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan. Tiang utamanya adalah dana keluarga. Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan. 

Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.‎ 

"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," ungkap anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.‎

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40,
Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore.
(KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)
Patron 

Bagi Soes, Pramoedya adalah patron. Soes mengenang Pram sebagai ‎sosok yang idealis dan pemberani. Pram, lanjut dia, adalah sosok pejuang Indonesia yang bercita-cita tinggi untuk kejayaan nusa dan bangsanya. 

"Apa yang dilakukan Pram ‎membuktikan betapa besar cintanya kepada Tanah Air dan bangsanya. Betapa tinggi rasa solidaritasnya kepada sesama umat yang tertindas. Hati nuraninya terpanggil demi kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan. Kondisi Indonesia saat itu bagi Pram merupakan kenyataan hidup yang pahit dan menyakitkan.‎ Bangsa besar yang kacau dengan kekayaan alam yang besar, namun impor," kata Soes. 

Melalui tulisan, lanjut Soes, Pram bertarung melawan pusaran sejarah karena dia tidak mau dilindas sejarah. Pram berjuang melawan ketidakadilan. ‎ 

"‎Pram tidak mau menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terempas menjadi sampah di pantai. P‎ram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dibuat negara," katanya.‎ 

Soes juga menyebut Pramoedya sebagai sosok yang perfeksionis dalam menelurkan karya tulis.‎ Menurut Soes, sang kakak kerap melakukan riset dan kajian mendalam untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk novel "Bumi Manusia‎".‎ 

"Bumi Manusia‎ adalah sejarah. Kisah nasionalis di masa kolonial belanda. Jadi jangan sembrono menginterpretasikan novel karya Mas Pram ini. Harus dikaji lebih dalam. Jangan asal membaca, perlu dipahami," ungkap Soes. 

Sebagai saudara tertua, Pram menjadi pengganti orangtua yang sangat berjasa‎ besar bagi perjalanan hidup Soes. Soes ditinggalkan ibundanya sejak berumur 4 tahun. Menyusul kemudian ayahnya juga berpulang. 

Sejak SMP, Soes ikut Pram ke Jakarta. Dari situlah banyak kenangan yang sulit terlupakan bagi Soes. 

Pram, lanjut Soes, berwatak keras seperti ayahnya yang seorang guru itu. Berkali-kali Soes sering mendapat perlakuan kasar dari Pram karena ulahnya yang bandel. Meski demikian, Pram sangat mencintai Soes. 

"Saya waktu kecil pernah naik sepeda di gang sempit. Saat itu saya tak sengaja menabrak anak kecil‎ hingga ia jatuh ke parit. Kejadian itu sampai ke telinga Pram hingga Pram mengajak saya bertemu orangtua anak kecil itu. Pram memukul saya berkali-kali di‎ hadapan orang tua anak itu. Saat itu saya terpaksa meminta maaf, padahal saya tidak salah," kata Soes. 

Sesampai di rumah, Soes diinterogasi oleh Pram. Karena melihat Soes yang berkali-kali mengakui bahwa dirinya tidak bersalah, Pram luluh mendengar pengakuan itu.‎ 

Meski demikian‎, Pram tidak meminta maaf. Namun, dia mempunyai cara lain untuk menghibur adik kesayangannya itu. 

"Mengetahui saya tak bersalah, Pram kemudian memeluk saya berkali-kali. Dia mengajak saya jajan, nonton bioskop dan mengelus-ngelus kepala saya di atas becak," kata Soes. 

Soes sendiri mewarisi bakat dan semangat kakaknya dalam menulis. Hingga saat ini, Soes sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya, contohnya yang berjudul Kompromi dan Komponis Kecil. 

Kegemaran menulis diawali keluarga ini dengan kegilaan membaca buku. Saat sekolah dan tinggal di Rusia adalah surga baginya. 

"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam," tuturnya.

Rumah Soesilo Toer sekaligus perpustakaan di Jalan Sumbawa Nomor 40,
Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/8/2018) sore.
(KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)
Bersama dituding komunis 

Namun, terkait dengan nama Pram pula maka kakak beradik Toer juga harus merasakan dinginnya jeruji besi bertahun-tahun karena dituding antek komunis. Untuk kasus Soes, dua alasan sekaligus. 

Jurusan yang ditekuni Soes di fakultas politik dan ekonomi di Rusia disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara. Selain itu, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis. 

Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda. Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap. 

Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI. Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu. Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru. 

"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain.‎ Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas‎ Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu ‎Marxisme-Leninisme‎, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes. 

Padahal, lanjut Soes, dia dan Pram bukanlah komunis, apalagi ateis.‎ Baginya, persoalan keyakinan itu tergantung penafsiran orang. 

"A‎gama adalah hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Sifatnya intim. ‎Pram itu Islam tulen. Aku juga Islam," ungkapnya. 

Menunggu janji 

Soes yang pulang ke Blora memutuskan untuk tinggal di rumah warisan orangtuanya dan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual. 

Meski demikian, jiwa perjuangan melalui buku dan tulisan milik Toer bersaudara tak lekang begitu saja. 

Pada hari sang kakak meninggal dunia, 30 April 2006, dia memutuskan untuk mendirikan perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa atau Pataba di rumah yang beralamat di Jalan Sumbawa 40, Jetis, tersebut. 

Di ruangan seluas 5x4 meter di dalam rumah, terdapat sekitar 5.000 buku. Selain buku-buku hasil karya dan koleksi pribadi Pram, perpustakaan ini juga menyimpan buku-buku lain, antara lain buku sastra, keagamaan, dan sosial politik. 

Perpustakaan pribadi ini kerap dikunjungi oleh pencinta sastra Indonesia dan dunia. Sebagian besar dari mereka adalah pengagum Pramoedya. 

Soes mengatakan, pemerintah setempat sempat menjanjikan perbaikan rumah dan perpustakaan. 

"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah‎. Tapi belum tahu kapan," kata Soes. 

Namun demikian, Soes tak ingin terlalu berharap. Dia tetap berupaya menghidupi perawatan rumahnya dengan hasil keringatnya sendiri menjadi pemulung. 

Dia biasanya bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.‎ 

Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota. 

Menurut Soes, Pram yang sangat menyayangi keluarganya memang sempat berkeinginan memperbaiki rumah keluarganya di Blora dan mempercantik pusara orangtuanya. 


"Sayang keinginan itu tidak kesampaian karena perbedaan pendapat di keluarga. Pram mudah marah," pungkas Soes.‎

Sumber: Kompas.com 
Penulis : Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho
Editor : Caroline Damanik.

Tidak ada komentar