Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Kisah Pramoedya Ananta Toer Sempat Lupa pada Adik Sendiri setelah 13 Tahun Dipenjara (4)

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40,
Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore.
(KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)
Soesilo Toer (81), pria sepuh yang sehari-hari memulung di sudut perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tepekur. Pandangannya jauh melampaui tembok rumah warisan orangtuanya yang ditempatinya saat ini. 

Di rumah itu, kenangan bersama kedelapan saudaranya berkelebat setiap hari.

Soes adalah anak ketujuh dari sembilan Toer bersaudara, putra-putri pasangan Mastoer dan Siti ‎Saidah. Kakak sulungnya adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis tersohor Indonesia yang kiprahnya diakui dunia. 

Pramoedya lalu beradikkan Prawito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemi Sjafaatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti Toer. Saat ini, tinggal Soes dan kakaknya, Koesaisah, yang menetap di Jakarta. 

Soes yang merupakan lulusan doktor bidang politik dan ekonomi di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet (sekarang Rusia) mengenang Pram sebagai ‎sosok yang idealis dan pemberani. 

Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS/JOHNNY TG)
Pramoedya, keras tetapi lembut

Pram, baginya, adalah sosok pejuang Indonesia yang bercita-cita tinggi untuk kejayaan nusa dan bangsanya. 

"Apa yang dilakukan Pram ‎membuktikan betapa besar cintanya kepada Tanah Air dan bangsanya, betapa tinggi rasa solidaritasnya kepada sesama umat yang tertindas. Hati nuraninya terpanggil demi kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan," kata Soes saat ditemui di kediamannya, Kamis (31/5/2018). 

"Kondisi Indonesia saat itu bagi Pram merupakan kenyataan hidup yang pahit dan menyakitkan.‎ Bangsa besar yang kacau dengan kekayaan alam yang besar, namun (kerap melakukan) impor," tambah dia. 

Melalui tulisan, lanjut Soes, Pram bertarung melawan pusaran sejarah karena Pram tidak mau dilindas sejarah. Pram terus berjuang melawan ketidakadilan. ‎ 

"‎Pram tidak mau menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terhempas menjadi sampah di pantai. P‎ram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dibuat negara," ungkapnya.‎ 

Sebagai saudara tertua, bagi Soes, ‎Pram merupakan orangtua yang berjasa‎ besar bagi perjalanan hidupnya. Soes ditinggal sang ibu sejak berumur 4 tahun. Kemudian sang ayah juga berpulang. 

Sejak SMP, Soes ikut Pram ke Jakarta. Dari situlah banyak kenangan yang sulit terlupakan bagi Soes. 

Pram, lanjut dia, berwatak keras seperti ayahnya yang seorang guru. Berkali-kali Soes mendapat perlakuan kasar dari Pram karena ulahnya yang bandel. Meski demikian, Pram sangat mencintai Soes. 

"Saya waktu kecil pernah naik sepeda di gang sempit. Saat itu saya tak sengaja menabrak anak kecil‎ hingga ia jatuh ke parit. Kejadian itu sampai ke telinga Pram hingga Pram mengajak saya bertemu orangtua anak kecil itu. Pram memukul saya berkali-kali di‎ hadapan orangtua anak itu. Saat itu saya terpaksa meminta maaf padahal saya tidak salah," kata Soes. 

Sesampai di rumah, Soes diinterogasi oleh Pram. Karena melihat Soes yang berkali-kali tak mengaku bersalah, Pram pun luluh.‎ 

Meski demikian‎, lanjut Soes, Pram tidak meminta maaf. Namun, dia mempunyai cara lain untuk menghibur adik kesayangannya itu. 

"Mengetahui saya tak bersalah, Pram kemudian memeluk saya berkali-kali. Ia mengajak saya jajan, nonton bioskop dan mengelus-ngelus kepala saya di atas becak," kata Soes.

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya
di Jalan Sumbawa Nomor 40,
Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah,
Kamis (31/5/2018) sore.
(KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)
Gara-gara dituding PKI 

Sepulang dari Rusia, Soes mengaku kangen dengan Pram. Sudah belasan tahun mereka tak bertemu. Saat itu, Pram dijebloskan dalam penjara karena dituding antek komunis. 

Ternyata, Soes yang baru saja menginjakkan kaki di bandara di Jakarta juga langsung diseret ke jeruji besi. Tuduhannya sama. Soes dituding sebagai antek komunis hanya karena belajar ekonomi dan politik dari Rusia.‎ Plus, dia juga adik Pramoedya. Enam tahun lamanya dia dipenjara. 

"13 tahun kami tak bertemu. S‎aya keluar penjara dan Mas Pram belum. Begitu Mas Pram keluar penjara, banyak warga yang ingin mengucapkan selamat. Banyak sekali yang mengantre saat itu, termasuk saya," kata Soes.‎ 

"Namun, saat nyaris giliran saya bersalaman dengan Pram, saya langsung berlari tinggalkan antrean. Saya kan cengeng. Waktu itu saya melihat Pram seperti tak mengenaliku. Pram yang akhirnya ‎diberitahu jika aku adalah adiknya langsung berlari mengejarku. Ia memelukku dan menangis. Dalam pelukan saya berbisik, 'Kamu bilang aku adalah adik kesayanganmu, tapi kenapa kau tak mengenaliku'. Pram semakin erat memelukku," lanjut dia. 

Meski paling nakal di antara saudara yang lain, Soes mengaku, dia dinilai sebagai adik Pram yang paling dibanggakan. Sebab, Soes mengantongi gelar paling tinggi dibanding saudaranya yang lain. 

Kebanggaan Pram itu dituangkan dalam buku berjudul Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Buku itu ditulis Pram di Pulau Buru.‎ 

Soes mengakui bahwa Pram begitu sangat berarti baginya. Pram menempa kepribadiannya yang cengeng menjadi berkarakter kuat untuk melawan kerasnya kehidupan.‎ 

Saking sayangnya Pram kepada Soes, bahkan secara diam-diam‎ Pram titip kepada salah seorang temannya supaya membantu Soes di Rusia apabila tertimpa kesusahan. 

"Pram berpesan kepada temannya, Benedict Anderson, salah satu tokoh yang mengemukakan konsep nasionalisme untuk membantu saya. Saat di Rusia, meski saya makmur,‎ terkadang Benedict Anderson menyelipkan uang ketika mengirim data dari Indonesia ke Rusia. Benedict Anderson itulah yang membantu menyelesaikan disertasi. Dia yang mengirim data-data dari Indonesia. Saya menghargai jasanya dan memberi nama anak saya Benee. Saya kemudian sisipkan nama Jawa, Santoso. Jadilah Benee Santoso nama anak saya," ‎pungkasnya. 

Pram juga sangat menyayangi keluarga besarnya. Pram sempat pernah berkeinginan memperbaiki rumah keluarganya di Blora dan mempercantik pusara orangtuanya. 

"Sayang keinginan itu tidak kesampaian karena perbedaan pendapat di keluarga. Pram mudah marah," pungkas Soes.‎

Sumber: Kompas.com 
Penulis : Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho
Editor : Caroline Damanik

Tidak ada komentar