Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Go To Hell With Your Films

Illustrasi
Tidak ada yang menyangkal kita perlu film asing, khususnya film-film Hollywood. Baik sebagai hiburan maupun sebagai sumber inspirasi kehidupan, dan referensi kreatif untuk sineas serta insan film kita. Namun, saya tidak yakin kalau di antara kita ada yang mau mempertukarkan kegandrungan pada film Hollywood tersebut dengan hilangnya kedaulatan kita sebagai bangsa. Apapun alasannya.

/// Tolak patuhi aturan ///

Deal or no deal hal biasa dalam bisnis. Yang luar biasa, ketika mitra bisnis menolak untuk mengikuti aturan yang berlaku di negeri mitranya, kemudian memprovokasi rakyat dengan informasi menyesatkan. Termasuk kesan mendorong publik “melawan” ketentuan perpajakan sesuai UU. Padahal, UU tersebut merupakan amanah seluruh rakyat.

Faktanya seperti itulah yang dilakukan para produsen/ eksportir film Amerika yang tergabung dalam organisasi MPAA di Indonesia. Mereka menolak membayar pajak yang menjadi kewajiban mereka.
Dirjen Pajak melalui surat edaran tanggal 10 Januari lalu, mengingatkan kewajiban pajak atas distribusi/ royalty film yang sudah berlaku belasan tahun lalu. Pajak itu terdiri dari bea masuk (10%), PPN (10%) dan PPH ( 2,5%) atau total 23, 75%.

Edaran yang intinya mengingatkan pada kewajiban tersebut, langsung ditanggapi secara reaksioner oleh MPAA dengan menyetop suplay film mereka di sini.

Bukan boikot itu betul yang bikin kita mengurut dada. Mitra internal mereka di sini, yaitu pengusaha bioskop 21, ikatan perusahaan importir film di Indonesia( ikafifi), bukannya menasehati mitranya tunaikan kewajiban, malah mendramatisasi boikot MPAA itu seolah telah terjadi kiamat. Padahal, mereka tahu prosedur keberatan soal pajak harus disampaikan ke instansi yang terkait bukan kepada pers.
” Kami sudah minta mereka sampaikan surat keberatan. Namun, sampai hati ini kita belum menerima surat itu,” kata Heri Kristiono, Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai kepada wartawan hari Senin (21/2). Tidak jelas apa cita cita di belakang pilihan pihak MPAA mempolitisasi keberatan itu melalui pers.

Dalam informasinya kepada pers, terasa sekali dikesankan pemerintah hendak ” memalak”, dan mengindentikkan langkah pemerintah sebagai perampasan hak rakyat untuk mendapatkan hiburan segar. Cara cara inilah yang menimbulkan keberatan sebagian insan film Indonesia. Cara itu dianggap keterlaluan karena mengadu domba rakyat dengan pemerintah.

Padahal, kalau kita menelaah secara cermat duduk perkara pajak impor film ini, fakta sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yang MPAA informasikan kepada publik.

Pertama, pajak atas distribusi/ royalti film bukan produk baru Dirjen Pajak. Itu adalah ketentuan lama yang belasan tahun diabaikan. Artinya, justru film- film impor lah yang menungggak sekian lama kewajibannya atas pajak distribusi.
Kedua, kewajiban pajak yang mereka tunaikan selama ini, hanya bea masuk, PPN, dan PPH, total 23, 75% atas copy film semata.

Film ” Avatar” yang selama pertunjukannya di Indonesia berhasil meraup Rp. 55 miliar bisa jadi contoh soal itu. Berdasarkan ketentuan pajak royalti, mestinya MPAA membayar 23, 75% dari share produsen ( 45 % x Rp. 55 miliar). Itulah yang tidak ditunaikan. Yang mereka bayar hanya 23,75% dari harga copy film, yang jumlahnya sekitar Rp. 3 juta/ copy. Artinya kalau Avatar beredar dengan 100 copy, maka total mereka menyetor ke negara hanya Rp. 300 juta.

/// Data 2010///

Tahun 2010 ada 65 judul film Hollywood milik MPAA yang beredar di sini. Total pemasukan dari penonton Rp. 765 milyar. Yang mereka baru bayar dari pajak seluruh copy film tahun 2010 hanya sekitar Rp. 5 miliar. Sedangkan pajak atas royalti film itu tbelum dibayar sama sekali. Bayangkan, berapa jumlah uang pajak yang tertunggak jika itu sudah berlangsung 15 tahun dengan penghasilan royalty setahun rata- rata di atas Rp. 700 milyar rupiah.

Ketiga, kekhawatiran bioskop bakal tutup jika diboikot MPAA lebih menyesatkan lagi. Tiap tahun film Amerika yang dipertunjukan di sini jumlahnya 160 judul, hanya sekitar 70 judul milik MPAA. Sisanya film Amerika produksi non MPAA. Belum lagi kita hitung film asing lainnya : India, Mandarin, dan Eropa. Jangan lupa pula produksi Nasional yang rata rata 70 judul setahun, yang dalam kenyataan sering amat sulit memperoleh jadwal putar.
Jadi, masih ada sejumlah besar film Amerika yang akan mengisi bioskop. Importir film film Amerika non MPAA di Indonesia pun menyatakan siap menambah jumlah pasokannya. Ini tentu tidak asal janji. Sebab, faktanya, setiap tahun di Amerika diproduksi 500- 600 judul. Jumlah terbesar hasil produksi non MPAA hanya sekitar 20 %.

Keempat, argumentasi bahwa semua film produksi MPAA adalah film bermutu yang menghasilkan uang, tidak sepenuhnya benar. Dari data 2010 film bagus dengan penghasilan bagus milik MPAA hanya sekitar 15 judul. Cukup berimbang dengan film produk non MPAA.

/// Monopoli ///

Kenapa ketentuan pajak atas royalti film sekian lama ” tertangguhkan” dan siapa yang menangguhkan?
Ini pertanyaan yang cukup menggoda.
Dugaan kuat, ini terkait dengan UU Perpajakan 1983 yang di awal awal berlakunya UU belum secara secara spesifik mengatur soal pajak royalti tersebut.

Selain faktor itu, jangan dilupakan ” jasa ” Soedwikatmono yang pada pertengahan tahun 80 terjun menjadi importir film dan membangun jaringan bioskop modern 21 Group. Sebagai konpensasi atas investasinya di bidang itu, waktu itu kemungkinan besar pemerintah memang memberi fasilitas penangguhan pajak untuk sementara waktu.

Langkah penting Pak Dwi di masa itu ialah mengkonsolidasi para importir film. Untuk menghadapi produsen/ eksportir film MPAA yang gemar mempermainkan harga / mengadu domba importir kita, pada awal Pak Dwi menyatukan importir dalam suatu asosiasi untuk berhadapan dengan pihak MPAA.

Lima tahun pertama gagasan ini berhasil. Dunia perfilman marak kembali. Gairah memproduksi dan mengimpor film meningkat. Penonton kembali mendatangi bioskop untuk menonton film. Tetapi pihak MPAA tak puas dengan keadaan itu. Mereka lalu mengcreate berbagai gara- gara.

Salah satunya, saat pemerintah hendak menggenjot produksi film Nasional dengan mengurangi quota film impor, pihak Amerika langsung menghadang dengan senjata pamungkas bernama super act 301. Mereka melarang ekspor tekstil kayu lapis masuk negara mereka. Kita pun menyerah. Itu terjadi pada tahun 1992.

Setelah itu, melalui “agen” nya di Indonesia, pihak MPAA mempraktekkan politik adu domba di kalangan insan film. Asosiasi dan jaringan 21 mereka tuding melakukan monopoli. Heboh isu monopoli di tanah air itulah kelak yang ditumpangi MPAA untuk memboikot asosiasi, lalu menjual langsung filmnya di Indonesia. Kepada para asosiasi dan jaringan 21 Group MPAA hanya memberikan konpensasi fee sebesar 15 % untuk pengaturan pertunjukan film MPAA di sini. Inilah masa importir kembali menjadi buruh di bekas lahannya sendiri. Pihak asosiasi dan 21 Group mereka angkat sebagai mitra/ perwakilan mereka di sini. Itulah yang berlaku hingga sekarang.

Ironis memang. Mereka mendepak Pak Dwi dengan alasan monopoli. Namun, dalam praktek selanjutnya, seluruh fasilitas Pak Dwi yang dulu diidentifikasi sebagai monopoli, justru mereka manfaatkan dan nikmati hingga sekarang. Termasuk “penangguhan” pajak untuk royalti film film mereka.

Dan, kini setelah pemerintah melakukan intensifikasi pajak dengan kembali memungut kewajiban pajak royalti film impor tersebut, MPAA langsung memboikot.

Rasanya sulit kita mengerti bagaimana bisa negara kampiun demokrasi ini, yang dulu mengajari pentingnya intensifikasi pajak untuk membiayai peningkatan demokrasi suatu bangsa, eh malah terang terangan menolak bayar pajak.

Dan, itu amat mencengangkan, karena terjadi di saat kita tengah mengobarkan semangat intensifikasi pajak, dengan konsekwensi harus menindak, tanpa pandang bulu siapapun yang menyeleweng, mengemplang dan menghindar pajak, eh si kampiun demokrasi itu terang terangan menolak. Inikah yang orang sering sebut demokrasi Amerika, adalah demokrasi yang ujung ujungnya duit.

Saya sendiri tak meyakini MPAA akan memboikot dalam jangka panjang. 237 juta penduduk Indonesia adalah pasar yang memberi keuntungan besar bagi bisnis film film Amerika. Lihat data penghasilan mereka tahun 2010. Pajak royalti yang wajib mereka bayar masih sangat kecil dibandingkan penghasilannya yang sangat berlimpah.

Sudah saatnya dan pantas untuk kita mengatakan ” go to hell with your films” kalau kesukaan pada film film Amerika harus dipertukarkan dengan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.

H.Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id ; twitter: @ilham_bintang) adalah pengamat film, Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).
Sumber: http://cekricek.co.id/

Tidak ada komentar