Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Sekolah untuk liburan

Oleh : tongki

Mungkin Saya memang masih ingusan, belum genap 17 tahun, masih belum memiliki KTP apalagi terdaftar di DPT. Saya cuma ingin berbagi sedikit curhat - begitu anak sekarang menyebutnya - sebagai seorang pelajar.

Jujur sebagai pelajar Saya merasa diperlakukan sebagai romusha, dipaksa kerja rodi sembilan jam sehari dengan materi yang tidak nyaman untuk dilihat apalagi dipikirkan, bukan melulu soal susahnya materi integral, rumitnya termodinamika, atau kelucuan operasi bilangan biner, lebih dari itu lima hari dalam seminggu kami dipaksa menghapal, ya menghapal bukan memahami walau kurikulum telah berganti dan buku dipaksa membeli. Saya merasa hanya dijejali materi, dipaksa mendengarkan dan mengerjakan, tentang paham? Ah, itu urusan belakang, yang penting target materi terlampaui, begitu guru berujar.

Saya juga tidak menyalahkan guru, guru juga manusia kadang mereka butuh rehat, mereka juga pernah muda dan punya keluarga yang harus diurusii, bukan semata meladeni kami, anak murid. Silabus dan Sistem Administrasi Sekolah juga bukan rancangan sekolah semata.

Belum kelar masalah ini, Saya kembali menjadi kambing hitam peraturan. Saya dan kawan-kawan dituduh menjadi biang kemacetan sehingga jam masuk kami diperpagi. Bagaimana dengan jam pulang? Masih sama seperti biasa. Sudah jatuh tertimpa batu, materi yang selangit ditambah kewajiban belajar di rumah, les, dan juga waktu istirahat yang dipersingkat, suatu kombinasi mantap!

Saya mengeluh, tapi Saya bukan mengaduh. Buktinya Saya sampai sekarang masih sekolah. Kakak-kakak Saya juga tidak luput, mereka dirajam dengan soal ujian yang alih-aliih sebagai patokan standar pendidikan malah menjadi sebuah ancaman, mimpi buruk yang menghantui di akhir jenjang pendidikan. Jalan pintas pun diambil, siapa coba yang rela perjalanan tiga tahunnya harus kandas begitu saja?

Sekolah, harus bisa! Cih, itu hanya pemanis. Ayah Saya sampai hampir mati berdiri melunasi biaya sekolah Saya dan adik Saya. Sekolah SD dan SMP pun masih ada yang dipungut biaya dengan alasan bahwa itu sekolah unggulan, bertaraf blablablabla. Saya justru sedih, dengan adanya pengotakan itu semakin jelas bahwa pendidikan berkualitas hanya milik kaum atas. Untuk SMA? Jangan ditanya, belum (atau tidak) gratis.

Silahkan sebut Saya apa saja, siswa pengeluh, pelajar tidak tahan banting, terserah Anda. Sampai sekarang Saya masih sekolah, setidaknya untuk merasakan bagaimana nikmatnya liburan.

*tulisan ini Saya tulis dalam keadaan setengah gila, jadi agak sedikit menghujat dan keras, mohon maaf :)


Sumber : PolitikAna.Com

1 komentar

jemiro mengatakan...

hahaha, ada2 aja mas :D