Foto ini memperlihatkan pemandangan di Jalan Molenvliet Barat (sekarang Jalan Gajah Mada) di depan Hotel des Indes -hotel termewah di Batavia pada awal tashun 1900-an- (lokasi hotel sekarang jadi pusat perbelanjaan Carrefour).
Melaju di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk dari arah Harmoni terus ke utara, seperti napak tilas sejarah perkembangan Jakarta. Di sepanjang Molenvliet berceceran kisah sejarah di kala Jakarta masih bernama Batavia. Keberadaan Batavia atau Jakarta kini tak lepas dari peran penting warga Tionghoa.
Adalah Phoa Beng Gam atau Phoa Bing Gam, kapitan kedua setelah Souw Beng Kong. Batavia pada paruh abad ke-17 adalah rawa-rawa, sarang malaria hingga penduduk banyak menderita penyakit. Untuk mengeringkan rawa itu setiap sore, bersama sekretarisnya, ia dan petani Tionghoa berkeliling pergi membuat peta. Dari peta itu kemudian pada 1648 ia membangun kanal dari harmoni hingga Gajah Mada dan berbelok ke Jalan Labu, sebelah Lindeteves, di mana ada pabrik mesiu.
Dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia disebutkan, kanal buatan itu membelah Jalan Molenvliet Oost (Jalan Gajah Mada) dan Molenvliet West (Jalan Hayam Wuruk). Jadilah kanal itu diberi nama Kanal Molenvliet sebagai penangkal banjir.
Pemerintah Belanda, VOC, kala itu baru turun tangan membantu penggalian kanal dari Harmoni ke Pejompongan membelah Jalan Noordwijk (Jalan Juanda) dan Jalan Rijkswijk (Jalan Veteran) pada 1661 dan pada saat itulah nama Molenvliet mulai digunakan. Kanal itu dihubungkan dengan Sungai Ciliwung di Pintu Air, Desa Cemara, dekat Masjid Istiqlal. Kanal ini mengalir melewati Pasar Baru Selatan, Gunung Sahari menuju Ancol.
Sumber pertama buku ini, majalah Pantja Warna tahun 1951, menunjukkan, selain sebagai pencegah banjir, kanal juga itu berfungsi sebagai alat transportasi angkutan kayu dan bata, gula, dan lainnya dari pedalaman ke Pasar Ikan. Atas jasanya, Beng Gam pun mendapat tanah luas di Tenabang atau Tanah Abang.
Molenvliet (Jalan Penggilingan) juga menyisakan banyak bangunan bersejarah yang hingga kini masih berdiri. Gedung yang kini bernama Gedung Arsip adalah rumah milik Reiner de Klerk, menjadi gubernur jenderal pada 1777-1780, yang dibangun pada 1760. Rumah ini, menurut Adolf Heuken, menjadi satu-satunya rumah yang masih tersisa dari begitu banyak buitenverblijven atau rumah luar kota—sekitar abad ke-18, kawasan ini merupakan kawasan elite sebelum berganti ke Weltevreden—yang pernah dibangun di sepanjang Molenvliet.
Sementara itu, Scott Merrillees memaparkan tempat-tempat peristirahatan (hotel) dan tempat-tempat penting yang tumbuh di sepanjang Molenvliet. Selain Gang Ketapang, di mana terdapat pabrik gas pertama di Batavia, Harmonie, dan Hotel des Indes, Merrillees juga mencatat keberadaan Hotel Ernst di ujung Molenvliet Oost (Jalan Hayam Wuruk) dan Noordwijk (Jalan Juanda). Sebelum menjadi hotel, bangunan itu adalah milik PA van de Parra, yang kemudian menjadi gubernur jenderal (1761-1775). Di tahun 1890 berubah nama tempat itu menjadi Hotel Wisse hingga bangunan ini dihancurkan pada 1920.
Toko pakaian pria "Bazar" di Jalan Gajah Mada, Marine Hotel di ujung Molenvliet West (kini di samping Gedung Bank Tabungan Negara), dan pusat belanja Eigen Hulp juga mewarnai Molenvliet. Sayangnya, semua kini sudah tak berbekas.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
Sumber : Kompas.com
Melaju di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk dari arah Harmoni terus ke utara, seperti napak tilas sejarah perkembangan Jakarta. Di sepanjang Molenvliet berceceran kisah sejarah di kala Jakarta masih bernama Batavia. Keberadaan Batavia atau Jakarta kini tak lepas dari peran penting warga Tionghoa.
Adalah Phoa Beng Gam atau Phoa Bing Gam, kapitan kedua setelah Souw Beng Kong. Batavia pada paruh abad ke-17 adalah rawa-rawa, sarang malaria hingga penduduk banyak menderita penyakit. Untuk mengeringkan rawa itu setiap sore, bersama sekretarisnya, ia dan petani Tionghoa berkeliling pergi membuat peta. Dari peta itu kemudian pada 1648 ia membangun kanal dari harmoni hingga Gajah Mada dan berbelok ke Jalan Labu, sebelah Lindeteves, di mana ada pabrik mesiu.
Dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia disebutkan, kanal buatan itu membelah Jalan Molenvliet Oost (Jalan Gajah Mada) dan Molenvliet West (Jalan Hayam Wuruk). Jadilah kanal itu diberi nama Kanal Molenvliet sebagai penangkal banjir.
Pemerintah Belanda, VOC, kala itu baru turun tangan membantu penggalian kanal dari Harmoni ke Pejompongan membelah Jalan Noordwijk (Jalan Juanda) dan Jalan Rijkswijk (Jalan Veteran) pada 1661 dan pada saat itulah nama Molenvliet mulai digunakan. Kanal itu dihubungkan dengan Sungai Ciliwung di Pintu Air, Desa Cemara, dekat Masjid Istiqlal. Kanal ini mengalir melewati Pasar Baru Selatan, Gunung Sahari menuju Ancol.
Sumber pertama buku ini, majalah Pantja Warna tahun 1951, menunjukkan, selain sebagai pencegah banjir, kanal juga itu berfungsi sebagai alat transportasi angkutan kayu dan bata, gula, dan lainnya dari pedalaman ke Pasar Ikan. Atas jasanya, Beng Gam pun mendapat tanah luas di Tenabang atau Tanah Abang.
Molenvliet (Jalan Penggilingan) juga menyisakan banyak bangunan bersejarah yang hingga kini masih berdiri. Gedung yang kini bernama Gedung Arsip adalah rumah milik Reiner de Klerk, menjadi gubernur jenderal pada 1777-1780, yang dibangun pada 1760. Rumah ini, menurut Adolf Heuken, menjadi satu-satunya rumah yang masih tersisa dari begitu banyak buitenverblijven atau rumah luar kota—sekitar abad ke-18, kawasan ini merupakan kawasan elite sebelum berganti ke Weltevreden—yang pernah dibangun di sepanjang Molenvliet.
Sementara itu, Scott Merrillees memaparkan tempat-tempat peristirahatan (hotel) dan tempat-tempat penting yang tumbuh di sepanjang Molenvliet. Selain Gang Ketapang, di mana terdapat pabrik gas pertama di Batavia, Harmonie, dan Hotel des Indes, Merrillees juga mencatat keberadaan Hotel Ernst di ujung Molenvliet Oost (Jalan Hayam Wuruk) dan Noordwijk (Jalan Juanda). Sebelum menjadi hotel, bangunan itu adalah milik PA van de Parra, yang kemudian menjadi gubernur jenderal (1761-1775). Di tahun 1890 berubah nama tempat itu menjadi Hotel Wisse hingga bangunan ini dihancurkan pada 1920.
Toko pakaian pria "Bazar" di Jalan Gajah Mada, Marine Hotel di ujung Molenvliet West (kini di samping Gedung Bank Tabungan Negara), dan pusat belanja Eigen Hulp juga mewarnai Molenvliet. Sayangnya, semua kini sudah tak berbekas.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
Sumber : Kompas.com
1 komentar
Ngk slah tuch boycott product usa, lah ini khan anda pakai product usa Blogger/blogspot.com bodoh sekali anda ternyata (honda79_buton@yahoo.co.id)
Posting Komentar