Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Muchdi bebas, lalu siapa yang bunuh Munir...???

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam sidangnya, Rabu (31/12) kemarin, membebaskan Muchdi Pr, mantan Deputi V Badan Intelijen Nasional (BIN) dari kasus pembunuhan Munir.

Majelis hakim yang dipimpin hakim Suharto menyatakan, Muchdi yang mantan Danjen Kopassus itu tidak terbukti memerintahkan Pollycarpus Budihari Priyanto (Polly) untuk membunuh Munir. Sebelumnya, salah satu Ketua DPP Partai Gerindra ini dituntut 15 tahun penjara oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejaksaan dan pihak Munir sendiri mempertanyakan putusan ini. Kedua pihak akan segera mengajukan kasasi.

Usai sidang terkhir tersebut wajah istri mendiang Munir, Suciwati tak bisa membohongi kesedihannya. Didampingi Usman Hamid dan seluruh kawan perjuangan Munir, mata Suciwati terlihat nanar.

"Ini memang menyakitkan," ujarnya keras menahan getir di halaman PN Jaksel.
Meski demikian, sebagai istri seorang pejuang, dia nampak tabah. Bersama ratusan kawan seperjuangan, tak henti-hentinya dia mengepalkan tangan kiri sebagai lambang perlawanan.

"Kita harus tetap melawan," ujarnya sambil lalu menuju mobilnya.


Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan mantan Deputi V BIN Muchdi Pr tidak menyuruh mantan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto untuk membunuh Munir. Jaksa tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kejahatan mantan Danjen Kopassus itu.

Menurut majelis hakim yang diketuai Suharto, adalah fakta bahwa mantan Dirut PT Garuda Indonesia Indra Setiawan memperoleh surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN M Asad. Surat yang dibuat pada Juli 2004 dan tanpa tanggal itu berisi permintaan agar Polly menjadi coorporate security Garuda. Surat itu sebelumnya diketik Polly di ruangan staf Muchdi dan dikoreksi oleh Budi Santoso.

"Isi surat tersebut tidak satu pun kalimat yang mengarah kepada terdakwa, sehingga surat tersebut bukanlah permufakatan jahat yang dilarang undang-undang," kata dia dalam persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jaksel, Rabu (31/12/2008).

Jaksa, kata Suharto, tidak dapat memperlihatkan surat yang sebagaimana dikatakan oleh Indra Setiawan hilang pada saat mobilnya dibobol maling. Meski pada akhirnya jaksa dapat menemukan kloningan surat bersifat rahasia dan berkops BIN itu di hardisk komputer staf Muchdi, namun hal itu sia-sia saja. Memang kloningan surat tersebut dapat dijadikan bukti hukum, namun Muchdi tidak berperan dalam pembuatannya.

"Meskipun keterangan saksi Budi Santoso dan M Asad di penyidikan dibacakan, hal tersebut tidak menguatkan pembuktian bahwa terdakwa sebagai penganjur pembunuhan Munir," kata Haswandi, hakim yang lainnya.

Mengenai data record 41 kali hubungan telepon antara telepon genggam milik Muchdi dan Polly, kata Haswandi, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa keduanyalah yang melakukan pembicaraan. Sebab HP milik Muchdi kadang dipakai oleh orang lain. Contohnya, ada kontak telepon antara nomor Polly dan nomor Muchdi, padahal Muchdi sedang berada di Malaysia.

"Saksi ahli Ruby mengatakan yang diberikan fasilitas oleh operator hanyalah komunikasi saja, sehingga tidak diketahui siapa bicara dengan siapa," imbuh Haswandi.

Muchdi dituduh telah memberikan uang senilai Rp 17 juta untuk operasi pembunuhan Munir pada 7 September 2004. Dalil ini, kata hakim, juga tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti yang cukup.

Satu-satunya keterangan mengenai penggunaan uang itu hanya diperoleh dari Budi Santoso, namun disangkal oleh Muchdi. Dan tidak ada staf Muchdi yang mendukung kesaksian Budi Santoso.

"JPU tidak dapat membuktikan dakwaannya bahwa terdakwa telah menganjurkan kepada Polly untuk Bunuh Munir. Unsur pasal 55 ayat 1 kedua tidak dapat dipenuhi. Sehingga unsur lain dari dakwaan pertama, yakni pasal 340 tentang pembunuhan berencana tidak perlu dipertimbangkan lagi. Sehingga terdakwa tidak perlu diyatakan secara sah dan meyakinkan telah membunuh sehingga harus dibebaskan," ujar Suharto.

Hakim juga berpendapat dakwaan kedua yang dibebankan kepada Muchdi, yakni menyuruh Polly membunuh Munir, tidak terbukti. Pada dakwaan kedua ini, Muchdi dianggap melanggar pasal 55 ayat 1 kesatu junto pasal 340 KUHP.

Sebaliknya, terdakwa kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Muchdi, mengancam akan menuntut balik Suciwati. ”Kalau pengadilan memvonis bebas, kami akan langsung menuntut balik Suciwati, karena gara-gara tudingan dia, klien kami jadi terseret,” kata kuasa Hukum Muchdi, Luthfi Hakim, sesaat sebelum persidangan, Rabu (31/12).

Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diketuai Cirus Sinaga, menilai jika putusannya tidak sesuai dengan tuntutan, pihaknya akan mengajukan banding. ”Kalau tidak sesuai kita akan melakukan upaya hukum banding,” tegasnya.

Namun, seusai putusan ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga mempertanyakan putusan ini. Merujuk pada putusan MA yang justru menegaskan pembunuhan Munir oleh Pollycarpus, putusan ini justru mementahkan apa yang sudah dibuka oleh MA. “Kita akan kasasi,” tegas Abdul Hakim Ritonga kepada SH, Rabu (31/12).

Selama persidangan semua alat bukti yang dikemukakan Jaksa, jelas menurutnya mendukung fakta perbuatan terdakwa sebagai orang yang sengaja membunuh Munir.

Muchdi sendiri didakwa Pasal 55 Ayat (1) kedua KUHP jo Pasal 340 KUHP: Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dulu menghilangkan nyawa orang lain dan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau ancaman dengan kekerasan atau memberi kesempatan dengan sarana atau materi.

Deputi Koordinator Human Rights Working Group Chairul Anam melihat ada empat unsur penyebab mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwopranjono divonis bebas Rabu kemarin (31/12). "Akibat dendam, surat, uang dan call data record," paparnya di di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Jakarta Kamis (1/1).

Aspek dendam, kata Anam dilihat ketika Hakim tidak mempertanyakan kenapa Muchdi mempunyai dendam terhadap Munir Said Thalib. "Dendam itu yang harus dibuktikan," keluhnya. Badan Intelijen sudah punya rencana terhadap Munir. Sejak 1998, ia melanjutkan Suciwati yang tengah mengandung saja pernah diintimidasi. Ini dibuktikan dari saksi anggota Komando Pasukan Khusus.

Jaksa mendakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono membunuh aktivis HAM Munir dengan motif dendam. Namun hakim menyatakan hal itu tidak terbukti.

Anggota majelis hakim Haswandi mengatakan, kalimat mendiang Munir yang diucapkan kepada istrinya, Suciwati, agar bersiap-siap menghadapi ancaman teror pasca dicopotnya Mucdi sebagai Danjen Koppasus, tidak menggambarkan adanya dendam dari terdakwa.

"Itu hanya menggambarkan perasaan khawatir saja, dan belum menggambarkan adanya dendam dari terdakwa," ujar Haswandi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (31/12/2008).

Haswandi mengatakan, benar keluarga Suciwati mendapatkan teror berupa kiriman ayam yang dipotong-potong. Akan tetapi baik Suciwati maupun pihak Kepolisian tidak mengetahui siapa pengirimnya.

"Sehingga perbuatan teror itu tidak mengarah ke perbuatan terdakwa," imbuh Haswandi.
Menurut Haswandi, seorang saksi bernama Fatma MR alias Ucok mengatakan bahwa dirinya pernah diperintahkan untuk meneror Munir. Namun, perintah itu juga bukan atas perintah Muchdi.

"Bukan atas perintah terdakwa, tapi perintah Pak Sentot," pungkas Haswandi.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Muchdi menghabis nyawa Munir dengan motif dendam. Hal itu berkaitan dengan pencopotan Muchdi sebagai Danjen Koppasus setelah terungkapnya kasus penculikan aktivis pada 1997-1998. Muchdi baru menduduki jabatan itu selama 52 hari.

Kejanggalan dari sisi surat,menurutnya terlihat dari tidak adanya penelusuran yang cukup tentang paspor Muchdi yang menyatakan dia di Malaysia. "Tiba-tiba hakim menulis, paspor itu sah adanya," imbuhnya. Selain itu Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir mempertanyakan surat berkop Garuda dengan alamat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan digunakan untuk mencabut Berita Acara Pemeriksaan Budi Santoso. "Deplu sendiri tidak pernah mengeluarkan surat itu," ungkap Anam.

Selain itu masalah surat terlihat pula pada surat hasil kloning dikeluarkan PT Garuda Indonesia atas permintaan Badan Intelijen Negara (BIN). Meski secara hukum sah sebagai bukti, tapi kata Anam Hakim justru mengambil fakta dari terdakwa yang tentu saja menolak.

Mengenai masalah uang, Pollycarpus sendiri pernah diberi uang Muchdi sebanyak 2 kali lewat Budi Santoso. Majelis Hakim berbicara, kata Anam kesaksian Budi Santoso tidak memiliki nilai. Hakim justru mengambil kesaksian Pollycarpus yang tidak pernah diberi. "Padahal pollycarpus dipidana karena peristiwa tersebut."

Adapun Call Data Record, Mejelis Hakim sendiri mementahkan pembicaraan yang diduga antara polly dan Muchdi karena tak ada saksi yang memperkuat perbincangan tersebut. Padahal, kata Anam Muchdi sendiri pernah mengakui kebenaran nomor telepon selulernya dan juga alamat rumahnya.

Mengenai data record 41 kali hubungan telepon antara telepon genggam milik Muchdi dan Polly, kata Haswandi, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa keduanyalah yang melakukan pembicaraan. Sebab HP milik Muchdi kadang dipakai oleh orang lain. Contohnya, ada kontak telepon antara nomor Polly dan nomor Muchdi, padahal Muchdi sedang berada di Malaysia.

"Saksi ahli Ruby mengatakan yang diberikan fasilitas oleh operator hanyalah komunikasi saja, sehingga tidak diketahui siapa bicara dengan siapa," imbuh Haswandi.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, putusan bebas yang dijatuhkan hakim pada terdakwa kasus pembunuhan Munir, Muchdi Pr, bukan berarti menutup pengungkapan kasus tersebut.

Dia menegaskan, kasus pengungkapan pelaku pembunuh Munir belum selesai. Putusan ini menyisakan tugas bagi negara untuk mengusut kembali aktor di balik tewasnya aktivis HAM tersebut.

Demikian dikatakan Ifdhal dalam jumpa pers di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/12). “Dengan dibebaskannya Muchdi, kasus ini tidak berarti selesai. Justru memberikan tugas pada negara untuk mengusut kembali, siapa yang membunuh Munir. Putusan pengadilan ini tidak selesai,” tegas Ifdhal.

Polri diharapkan bisa menelusuri kembali data-data dan bukti yang pernah dimilikinya saat melakukan penyelidikan kasus ini. Upaya pengungkapan kembali dengan menemukan bukti baru, menurut Ifdhal, tidak bisa dilakukan pada tingkat kasasi yang diajukan Kejaksaan Agung.

Hal itu memungkinkan, jika putusan kasasi dipandang belum memuaskan maka dilanjutkan ke peninjauan kembali (PK). Pada tingkat PK inilah, bukti baru bisa disodorkan.

“Kasasi hanya memeriksa dokumen yang sudah terkumpul di persidangan. Hakim kasasi akan menilai apakah hakim pengadilan tingkat pertama salah dalam menerapkan hukum,” ujarnya.

Respons cepat Presiden SBY atas keluarnya putusan ini, diharapkan bisa menjadi cambuk bagi Polri dan Kejaksaan Agung untuk kembali bekerja keras dengan tuntasnya pengungkapan kasus pembunuhan Munir.

Vonis bebas terhadap terdakwa kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir, Muchdi Pr, benar-benar mengejutkan para aktivis HAM. Putusan itu juga dinilai sebagai kado pahit bagi gerakan HAM di Indonesia.

"Ini betul-betul shocking. Hadiah paling pahit untuk gerakan HAM di Indonesia, khususnya Mbak Suci (Suciwati, Istri Munir-red) dan keluarga almarhum Munir," ujar anggota Komisi Hukum DPR RI Nursyahbani Katjasungkana lewat pesan singkat kepada detikcom, Rabu (31/12/2008).

Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) ini menilai putusan pengadilan telah mengabaikan suara hati nurani kemanusiaan.

"Pengadilan telah betul-betul tumpul hati nuraninya, dan terlalu kejam menentang rasa keadilan masyarakat," cetus Nursyahbani.

"Mestinya pengadilan itu memutus dengan terlebih dahulu membaca kepala keputusan yang berbunyi atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," sindir mantan Direktur LBH Jakarta ini.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinilai telah mengabaikan logika operasi intelijen dalam pertimbangan vonis bebas terdakwa pembunuhan aktivis HAM Munir, Muchdi Pr.

"Motif sebetulnya tidak perlu dibuktikan lagi. Secara umum majelis hakim mengabaikan logika operasi intelijen dalam memaknai fakta di persidangan," kata Direktur LBH Jakarta Asvinawati kepada detikcom di Jakarta, Rabu (31/12/2008).

Asvinawati juga menyatakan, dalam menilai bukti, hakim berat sebelah dengan mempercayai keterangan terpidana Pollycarpus.

Sementara Ketua YLBHI Patra M Zen berharap jaksa penuntut umum (JPU) segera mengajukan kasasi atas vonis bebas tersebut. Kasasi diharapkan bisa memunculkan kebenaran dan keadilan.

"Dalam proses peradilan itu, bukan hanya perkara dibebaskan atau dipidana, melainkan yang terpenting muncul kebenaran dan keadilan. Pihak JPU mesti benar-benar mempelajari lagi putusan ini," tandasnya.

Terdakwa kasus pembunuhan Munir, Muchdi Pr, divonis bebas salah satunya karena faktor lemahnya jaksa. Dalam dakwaannya, jaksa membatasi ruang lingkup kasus munir menjadi pembunuhan individual, bukan konspirasi.

"Faktor utamanya dari hakim, kedua jaksa. Karena sejak awal jaksa membatasi ruang lingkup atas kematian Munir," kata Koordinator Kontras Usman Hamid kepada wartawan di kantornya, Jl Borobudur, Menteng, Jakarta, Rabu (31/12/2008).

Dalam putusan PN Jakarta Pusat yang menyidangkan terdakwa Pollycarpus, lanjut Usman, disebutkan pembunuhan Munir merupakan konspirasi. "Tapi itu direduksi menjadi pembunuhan individual, padahal ada konspirasi dan keterlibatan orang-orang di lembaga negara," jelasnya.

Hal itu menyebabkan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan jaksa diarahkan ke personal. Faktor yang dikedepankan adalah persoalan dendam Muchdi terhadap Munir di masa lalu, khususnya terkait pengungkapan kasus penculikan para aktivis.

"Itu memang betul, tapi tidak mungkin sendiri, ada banyak orang yang terlibat," tandasnya.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis bebas terdakwa Muchdi Pr dalam kasus pembunuhan Munir terus menuai kecaman kalangan aktivis dan tokoh masyarakat.

Koordinator Kontras Usman Hamid menyatakan, vonis PN Jaksel itu mengindikasikan adanya penghinaan terhadap rasa keadilan. Sementara mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencurigai, bebasnya Muchdi membuktikan masih bercokolnya mafia peradilan dalam institusi peradilan tanah air.

Kecaman itu diungkapkan Gus Dur dan Usman Hamid saat berdiskusi di Jakarta, Sabtu (03/12).

Selain itu, Gus Dur mengatakan vonis bebas yang dijatuhkan terhadap Muchdi juga membuktikan pengaruh kekuatan-kekuatan orde baru dan TNI masih cukup kuat. Gus Dur sendiri pesimis bahwa pemanggilan jaksa Agung dan Kapolri oleh Presiden SBY akan berujung pada tuntasnya kasus pembunuhan Munir.

Sementara itu, menurut Usman Hamid putusan bebas terhadap Muchdi memperlihatkan adanya kesalahan hakim dalam menerapkan asas hukum acara pidana. Selain mengabaikan fakta-fakta persidangan, majelis hakim juga dinilai hanya mengedepankan rasa kebenaran pihak terdakwa dan pelaku, bukan pihak korban.

Untuk mengawal proses hukum lanjutan kasus Munir, Usman mengatakan pihaknya akan mengundang ahli dan pakar hukum untuk mempelajari seluruh berkas kasus Muchdi Pr dan mengumpulkan informasi pendukung dari kalangan masyarakat.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla meminta seluruh lapisan masyarakat untuk menghormati keputusan pengadilan yang membebaskan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR yang membebaskan terdakwa dalam kasus pembunuhan tokoh HAM, Munir.

"Kita harus menghormati, apa pun juga putusan pengadilan. Pemerintah tidak melakukan intervensi," kata Jusuf Kalla kepada pers di istana Tapaksiring, Rabu, ketika dimintai komentarnya tentang keputusan pengadilan, yang membebaskan terdakwa Mucdi PR dalam kasus pembunuhan Munir.

Kritikan pedas langsung dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon. Ia menuding, sikap ngotot Jaksa Agung Hendarman Supandji yang akan melakukan kasasi terhadap putusan bebas Muchdi Pr tak lain sebagai lahan 'jualan' Presiden SBY untuk menaikkan popularitasnya jelang perhelatan Pemilu 2009. Kasus Munir, dianggap Fadli Zon juga sebagai alat untuk menutupi kelemahan pemerintahan SBY-JK yang tidak mampu memberikan perekonomian yang lebih baik kepada rakyatnya.

"Saya mendapatkan banyak masukan dari para ahli hukum, bahwa seseorang yang sudah divonis bebas, maka tidak bisa dilakukan kasasi lagi. Pak Muchdi kan divonis bebas murni, jadi akan sulit untuk dilakukan kasasi. Bagi kami, putusan terhadap pak Muchdi sudah berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan yang ada dan cukup adil. Jadi, sikap Jaksa Agung yang ngotot ingin kasasi, tak akan mungkin berhasil," kata Fadli Zon dalam perbincangan khusus dengan Persda Network, Senin (5/1).

"Secara politik, kasus Munir ini memang terkesan untuk jualan dalam menghadapi Pemilu nanti. Kasus ini, terus dimainkan sengaja, untuk menutupi kegagalan pemerintahan ini dalam memperbaiki ekonomi, membuat rakyatnya bisa hidup baik. Seolah-olah, pemerintahan ini berhasil menegakkan hukum, padahal banyak masalah HAM yang sampai saat ini tak juga terselesaikan," tandas Fadli Zon.

Fadli Zon kemudian memberi saran kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk tidak menggunakan uang negara bila tetap ingin mengajukan kasasi atas vonis bebas Muchdi Pr. Fadli beralasan, uang negara akan terkuras hanya untuk mengajukan kasasi yang belum tentu akan berhasil.

"Lebih baik Jaksa Agung menggunakan dana pribadi saja untuk mengajukan kasasi. Para pakar hukum yang sudah saya mintai pendapatnya, masalah ini sangat sulit untuk bisa memenangkan kasasi. Jadi, rencana kasasi ini lebih pada nuansa politisnya, atau politik pencitraan saja. Apalagi Jaksa Agung bertanggung jawab kepada presiden. Harusnya, putusan ini dihargai. Kecuali kalau Jaksa Agung pakai uang pribadi, bolehlah," cetus Fadli Zon.

Fadli meyakini, rencana Jaksa Agung untuk melakukan kasasi, hanyalah didasari adanya tekanan dari pihak asing yang secara jelas. Apalagi, kata Fadli sebelumnya juga terungkap adanya tekanan dari parlemen Amerika Serikat terkait kasus ini.

"Bagi saya, pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap kasus-kasus hukum yang lain. Kalau kita lihat, kasus HAM lain, misalnya kasus Trisakti, kasus kerusuhan Mei, sampai sekarang tak jelas penyelesaiannya. Terkesan, pemerintah hanya melayani permintaan salah satu LSM," kata Fadli.

"Pak Muchdi punya hak untuk mendapatkan kepastian hukum, tidak dipermainkan oleh berbagai manuver politik, apalagi kasus ini dijadikan sebagai bagian dari politik pencitraan jelang Pemilu," tegasnya.

Sumber:
~ Sinarharapan.co.id
~ Tempo.co.id
~ Surya.co.id
~ Detiknews.com
Cak Munir

Tidak ada komentar