Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Bahan Bakar Alternatif

Antre Minyak Tanah
Antrean minyak tanah sepertinya sudah menjadi pemandangan umum di Indonesia belakangan ini. Anjuran pemerintah untuk melakukan konversi ke gas tampaknya belum diikuti sepenuhnya oleh masyarakat.

Penggunaan premium juga akan dibatasi hanya untuk kendaraan tertentu. Mobil pribadi diarahkan untuk menggunakan pertamax atau pertamax plus.

Kenapa ini terjadi? Ini merupakan dampak dari melonjaknya harga minyak dunia yang berakibat pada membengkaknya subsidi BBM di dalam negeri. Untuk menguranggi beban subsidi maka pemerintah membuat kebijakan seperti tersebut di atas.

Namun efeknya bagi rakyat sangat merugikan, apalagi rakyat kecil yang memang sudah susah. BBM adalah kebutuhan vital. Setiap kenaikan harga BBM pasti akan diikuti oleh kenaikan harga lainnya. Jangankan naik betulan, sekedar isu saja langsung berimbas naiknya harga sembako. Maklum banyak spekulan yang mencari kesempatan di tengah kesempitan.

Sementera pendapatan masyarakat tidak juga beranjak naik.

Saatnya pemerintah benar-benar serius menggarap potensi energi alternatif, yang ternyata begitu banyak tersedia di negara kita.


======================
======================

Dicari: Raja Minyak Nabati
DONNY ARDYANTO


Source: www.p2d.org


KENAIKAN HARGA minyak yang mencapai USD90/barel kembali memaksa masyarakat dunia untuk berpaling ke energi alternatif. Efek samping bagi lingkungan, sifatnya sebagai sumber energi yang tidak terbarukan (non-renewable), serta harganya yang terus menanjak dan fluktuatif dari penggunaan bahan bakar minyak (yang bersumber dari fosil, seperti minyak bumi dan batubara), telah mendorong manusia untuk mencari sumber energi baru yang lebih sustainable.

Salah satu sumber energi alternatif yang saat ini menjadi perhatian banyak negara adalah BBM Nabati(biofuel). BBM Nabati merupakan bahanbakar minyak yang berasal dari produk pertanian atau nabati, seperti
tebu dan jagung untuk bioetanol, serta CPO (Crude Palm Oil), minyak kelapa dan minyak kedelai untuk biodiesel.

Brazil merupakan salah satu negara yang dianggap paling sukses dalam melakukan alih energi dari fossil fuel ke BBM Nabati. Penggunaan etanol yang dibuat dari tebu sebagai bahan bakar kendaraan bermotor di Brazil sudah meluas. Mobil-mobil ramah lingkungan yang menggunakan bahan bakar etanol menguasai 70 persen penjualan mobil di Brazil. Dan saat ini, sepertiga dari bahan bakar di Brazil menggunakan BBM Nabati.

Dari segi harga, bahan bakar nabati ini relatif lebih murah dibandingkan minyak bumi. Brazil, selain menjadi penghasil BBM Nabati terbesar di dunia, juga berhasil memproduksi etanol dengan harga paling murah di dunia, yaitu USD 26/barel. Amerika mengeluarkan USD 59 ketika memproduksi ethanol per barel. Negara-negara lain pada
umumnya juga membutuhkan biaya tidak lebih dari USD 60/barel.

Di Indonesia, Tim Khusus yang dibentuk melalui Instruksi Presiden untuk mengelola pengembangan BBM Nabati malah belum memperlihatkan langkah-langkah kongkrit (lihat artikel “Jalan Berliku Pengembangan BBM Nabati”). Harus diakui bahwa di samping adanya problem di
tingkat implementasi kebijakan serta political will yang setengah hati, energi BBM Nabati juga menuai banyak kritik. Pertama, BBM Nabati tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Baru-baru ini Paul Crutzen, peraih Nobel Kimia tahun 1995, mempublikasikan temuannya yang menyatakan bahwa beberapa BBM Nabati, termasuk bioetanol dari jagung, menghasilkan Dinitro Oksida (N2O) yang setara atau lebih dari fossil fuel dalam pengaruhnya bagi pemanasan global. Di samping itu, dalam kasus Brazil muncul kritik mengenai adanya penebangan hutan yang masif bagi perluasan
lahan bagi tanaman penghasil BBM Nabati.

Kedua, kebijakan BBM Nabati dengan memberikan insentif bagi sektor pertanian dan perkebunan bisa mempengaruhi produksi pangan. Apabila tidak dikelola dengan baik, petani dan pemilik lahan akan lebih
memilih menanam dan menjual tanaman untuk BBM Nabati dibandingkan untuk kebutuhan pangan. Hal ini akan mengganggu ketahanan pangan kita dan bisa menimbulkan inflasi.

Ketiga, Indonesia masih punya banyak pilihan sumber energi alternatif selain BBM Nabati. Oleh karena itu pengembangan energi alternatif seperti energi panas matahari,
angin, gelombang laut, panas bumi serta air, lebih layak untuk didahulukan. Termasuk juga pengembangan energi nuklir sebagai sumber energi strategis bagi Indonesia.

Kebutuhan akan energi alternatif merupakan sesuatu yang mendesak bagi kita. Dengan demikian harus dilihat bahwa kebijakan untuk pengembangan BBM Nabati tetap merupakan sebuah kebijakan yang rasional, karena bagaimanapun juga bila dibandingkan dengan minyak bumi, BBM Nabati relatif ramah lingkungan, dapat membuka lapangan kerja baru sektor pertanian dan perkebunan di pedesaan, bersumber dari bahan baku domestik yang
cocok dengan iklim tropis Indonesia, serta dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap minyak bumi yang berimplikasi pada ketahanan energi strategis nasional.

Oleh karena itu, dalam program pengembangan energi alternatif ini, pemerintah juga harus secara serius memperhatikan pilihan lain sebagai sumber energi. Pengembangan BBM Nabati juga harus dibarengi dengan pengembangan sumber energi alternatif lainnya.

Secara geografis, wilayah Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa serta memiliki wilayah laut yang luas, memiliki potensi yang sangat besar bagi energi alternatif yang berkelanjutan. Sinar matahari sepanjang tahun bisa dinikmati, gelombang laut
yang sangat besar di beberapa tempat, angin yang selalu berhembus dan sungai yang selalu mengalir, merupakan potensi energi yang tidak ada habisnya dan siap diekploitasi.

Energi nuklir juga merupakan energi alternatif yang sangat strategis
sehingga harus dikembangkan di Indonesia dengan segera. Sama halnya dengan sumber energi yang lain, aspek kesiapan dan keselamatan dalam pengembangan teknologi nuklir
sangat ditentukan oleh kemampuan alih teknologinya. Dan di tataran strategis, penguasaan terhadap teknologi nuklir ini akan meningkatkan posisi Indonesia dalam geopolitik internasional.

Pengembangan tehnologi alternatif apapun, termasuk BBM Nabati yang sudah dimulai sekarang, harus memiliki perencanaan dan cetak biru (blueprint) yang jelas. Segala aspek yang kemudian dianggap sebagai efek negatif dari pengembangan energi alternatif ini harus sudah diprediksi dan diantisipasi jauh sebelumnya.

Penggunaan lahan, baik untuk pertanian, perkebunan maupun hutan konservasi alam, musti dikelola dengan baik. Pengalaman Brazil memberi kita pelajaran, bahwa ekspansi modal yang terlalu besar dalam pengembangan lahan untuk BBM Nabati berpotensi pula pada perusakan alam. Untuk itu, kelemahan selama ini dalam melakukan kontrol terhadap hutan kita harus segera diperbaiki.

Kemampuan alih tehnologi dan pengembangannya dalam proses produksi BBM Nabati juga sangat berpengaruh bagi kelestarian lingkungan. Tanaman tebu bisa ditempatkan sebagai sumber BBM Nabati utama karena terbukti jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan jagung, di samping tingkat efisiensi energinya yang juga jauh lebih tinggi.

Kebijakan pemberian insentif bagi petani juga merupakan faktor penting dalam pengembangan energi BBM Nabati ini. Meskipun demikian, insentif juga harus tetap diberikan kepada sektor pertanian tanaman pangan.

Dengan kebutuhan konsumsi minyak yang mencapai 70 juta kilo liter per tahun, dan kemampuan produksi minyak nasional yang terus menurun hingga 942.000 barel per hari (0,1105 juta kilo liter per hari), maka pengembangan BBM Nabati harus dimulai dari sekarang. Brazil sudah menuai kesuksesan dalam alih energi setelah memulainya tahun 1970-an. Dengan sumber daya alam Indonesia, tentunya kita harus bisa lebih cepat dari itu.

Menurut Menteri Negara Riset dan Teknologi, dengan kekayaan alamIndonesia, kita memiliki 60 macam tanaman yang bisa didayagunakan sebagai BBM Nabati. Dan saat ini, di Indonesia ada 40 juta hektar tanah tidak produktif, yang jika seperempatnya saja digunakan untuk tanaman BBM Nabati, maka akan dapat memenuhi 40 persen kebutuhan BBM dalam negeri. Jika itu semua dioptimalkan, maka tahun 2010 Indonesia bisa memproduksi 720.000 kilo liter BBM Nabati per tahun, dan tahun 2025 bisa mencapai 4,7 juta kilo liter per tahun! Andai saja itu semua bukan sekedar mimpi, maka bukan hanya problem pengangguran dan kemiskinan di pedesaan yang bisa diselesaikan. Perekonomian Indonesia akan membaik secara drastis dan kita juga akan hidup di lingkungan dengan udara yang bersih. Dan bukan tidak mungkin, petani Indonesia akan menjadi raja minyak baru: Raja Minyak Nabati.


3 komentar

Anonim mengatakan...

banyak benar tugas negara kita ya, belum masalah2 lain yang sampai sekarang belum terselesaikan, heran kok nggak ngeri ya yang mau nyalon presiden ?

Anonim mengatakan...

Pusing...saya nggak sanggup kalo disuruh jadi PRESIDEN....hehehe

Anonim mengatakan...

Lho memang siapa bilang presiden mikirin masalah 2x yg belum terselesaikan itu?