Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Soedjinah Membela Sukarno Sampai Mati

Soedjinah

Tanggal 6 September 2007, seorang perempuan pejuang memenuhi panggilan sang pencipta. Semasa hidupnya, Ia berjuang untuk kemerdekaan negerinya, hak-hak perempuan, dan menentang segala bentuk penindasan terhadap rakyat.

Namun, karena fitnah keji Orde Baru, berita kematiannya tidak begitu diketahui orang banyak. Padahal, kalau sejarah ditulis dengan benar, perempuan ini seharusnya mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Nama perempuan itu adalah Soedjinah. Dia lahir di tahun 1929, dari keluarga Keraton Surakarta. Lantaran itu, Soedjinah mengenyam pendidikan di sekolah bergengsi jaman itu, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Biasanya, yang bisa sekolah di situ hanya anak bangsawan, tokoh terkemuka, dan pegawai negeri.

Tamat dari HIS Soedjinah lanjut ke MULO–setingkat SMP sekarang. Sayang, baru setahun di MULO, fasisme Jepang datang menyerbu Indonesia. Pendidikan Soedjinah terhenti sementara.

Pejuang Kemerdekaan

Tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pecahlah apa yang disebut ‘Revolusi Agustus’. Rakyat Indonesia, tua-muda, laki-laki maupun perempuan, menerjunkan diri dalam revolusi yang mulia itu.

Soedjinah salah satunya. Beberapa sumber menyebutkan, awalnya ia bergabung dengan Barisan Penolong. Ia bertugas sebagai kuri dan membantu Dapur Umum di tengah pertempuran.

Pada masa Agresi Militer kedua, Soedjinah ikut bergerilya bersama dengan Tentara Pelajar. Saat itu ia berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Peran ini bukan tanpa resiko. Jika ketahuan Belanda, nyawanya bisa terancam. Karena itu, Ia harus berjalan siang-malam menyusup ke pedesaan guna menghindari patroli militer Belanda.

Gerakan Perempuan

Tahun 1950, setelah perang kemerdekaan usai, Soedjinah sempat melanjutkan pendidikannya. Tahun 1952, ia berhasil menamatkan pendidikan SMA-nya di Jogjakarta. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Madah (UGM). Namun, karena beasiswanya berhenti di tengah jalan, pendidikan sarjana-nya pun tidak tuntas.

aktif di Pemuda Sosialis Indonesia (Pensindo). Belakangan organisasi ini melebur menjadi Pemuda Rakyat. Selain itu, ia juga bergabung dengan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Gerwis adalah organisasi perempuan yang didirikan tahun 1950. Tokoh pendirinya, antara lain, SK Trimurti, Tris Metty, Sri Panggihan (anggota PKI terkemuka sebelum peristiwa Madiun), Sri Kusnapsiah dan Umi Sardjono.

Selain berkecimpung dalam pembelaan hak-hak perempuan, Gerwis mengambil politik anti-imperialisme yang tegas. Mereka aktif menentang perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Bagi Gerwis, perjanjian yang ditandangani oleh Bung Hatta itu justru merestorasi kekuasaan modal asing di Indonesia.

Organisasi perempuan lain jarang bersuara soal itu. Hal itulah yang menarik minat Soedjinah. Seperti dituturkannya sendiri: “Gerwis sangat responsif terutama bagi kami yang ikut ambil bagian dalam perjuangan bersenjata di pedalaman. Kami menghendaki lebih banyak aksi daripada organisasi wanita lainnya. Banyak dari organisasi wanita kami anggap perkumpulan Nyonya-Nyonya saja” (Saskia E Wieringa: 2010).

Tahun 1954, Gerwis menyelenggarakan Kongres ke-II. Kongres itulah yang mengubah nama Gerwis menjadi Gerwani. Namun, perubahan nama itu bersifat ideologis. Gerwis dianggap sektaris; keanggotannya hanya ditujukan bagi wanita yang ‘sedar’. Soedjinah pun terus aktif di Gerwani.

Setelah berubah menjadi organisasi massa, Gerwani pun berkembang pesat. Mereka aktif dalam aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, membela hak-hak perempuan, dan memberikan pelatihan keterampilan dan berorganisasi bagi perempuan. Tak hanya itu, Gerwani juga aktif dalam kampanye pemberantasan buta huruf, mendirikan tempat penitipan anak, dan pendidikan anak. Dalam bulan April 1955, keanggotaan Gerwani mencapai 400.000 orang.

Tidak ada komentar