Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Anak Agung Bagus Sutedja, Korban Kebiadaban Politik Orde Baru

Anak Agung Bagus Sutedja
Gubernur Bali Pertama, Anak Agung Bagus Sutedja


Putra raja terakhir Jembrana ini dikenal sebagai pendukung setia Bung Karno . Sejak tahun 1950, beliau diangkat sebagai pimpinan daerah Bali ketika daerah itu masih menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil. Saat itulah ia sering menemani Bung Karno ketika sang proklamator berkunjung ke IstanaTampaksiring bersama keluarganya.

Kesetiaannya pada ‘sang putra fajar’ itulah yang membuatnya  memperoleh amanat untuk mengemban jabatan Gubernur  Provinsi Bali, ketika Bali menjadi Provinsi otonom yang terpisah dari Sunda Kecil di tahun 1958. Karena andil Bung Karno pula lah Bali bisa menjelma menjadi sebuah Provinsi. Disamping itu, Bung Karno juga turut berjasa dalam mengesahkan agama Hindu yang dianut mayoritas warga Bali sebagai agama yang diakui oleh negara.

Tak heran hingga kini Provinsi Bali dikenal sebagai basis kaum Soekarnois. Dan Anak Agung Bagus  Sutedja-lah yang pertama kali diberikan amanat oleh Bung Karno memimpin Bali. Namun, loyalitasnya pada Bung Karno itu juga yang mengantarkannya pada sebuah tragedi, yang tetap diselubungi kabut misteri hingga kini.

Pemimpin Muda

Sutedja mengawali karir dalam birokrasi pemerintahan Bali dikala daerah tersebut sedang mengalami transisi  sistem politik dari era aristokrasi-kerajaan menuju integrasi dengan  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  pasca proklamasi dan revolusi  kemerdekaan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Bali selaku lembaga legislatif  terbentuk di awal tahun 1950-an. DPRDS ini menggantikan  dewan  Paruman Agung yang merepresentasikan  persekutuan delapan kerajaan di Bali.

Sementara di ranah eksekutif, sebuah lembaga Pemerintahan Daerah dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah Bali sebagai bagian dari Provinsi Sunda Kecil.  Pada saat itulah Bung Karno menunjuk Sutedja  yang ketika itu sedang meniti karir sebagai pegawai negeri sipil dengan usia relatif muda (27 tahun) sebagai pimpinan lembaga eksekutif di Bali.

Sejak 1958, Bali memperoleh status provinsi otonom. Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) Daerah Tingkat I (Dati I) Bali dibentuk sebagai lembaga representasi rakyat tingkat provinsi. Pemilihan gubernur  pun diselenggarakan oleh DPR-GR Bali guna memilih kepala daerah Bali yang telah menjelma menjadi Provinsi.  Namun, ajang pemilihan gubernur inilah yang menjadi awal dari pertikaian politik berkepanjangan di Bali antara dua kubu yang sebenarnya sama-sama berafiliasi pada partainya Bung Karno, Partai Nasional Indonesia (PNI).

Kedua kubu itu adalah I Nyoman Mantik dan Anak Agung Bagus Sutedja. Pilihan Bung Karno sendiri tetap jatuh pada Sutedja, dikarenakan faktor kedekatan politik dan kemampuan Sutedja menjalankan tugas pemerintahan yang sesuai dengan kebijakan pemerintahan pusat  selama Sutedja menjadi kepala daerah Bali sepanjang tahun 1950-an. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno melantik Anak Agung Bagus Sutedja sebagai Gubernur Bali.

Perseteruan politik antar dua kubu terjadi baik di internal PNI maupun dalam konstelasi politik Bali. Kebijakan politik Sutedja  sejatinya menginginkan persatuan semua kekuatan politik di Bali dengan tidak memihak pada satupun partai politik (termasuk PNI) serta menjaga ‘keseimbangan’ diantara seluruh elemen. Dalam hal ini, ia serupa dengan kebijakan yang dijalankan panutan politiknya ditingkat pusat, Bung Karno.

Alhasil, Sutedja tidak terlalu akrab dengan kekuatan mainstream di PNI. Hal ini dimanfaatkan oleh kubu Mantik yang berhasil menguasai jaringan internal PNI, terutama kalangan elite nya. Karena itu, PNI ‘mainstream’ di Bali mulai melakukan ‘perlawanan’ politik terhadap berbagai kebijakan Sutedja.

Konflik politik ini semakin ‘seru’ tatkala kompetisi antar berbagai kekuatan politik di tingkat pusat juga mewarnai dinamika politik di Bali. Polarisasi antara kekuatan ‘kiri’ yang terdiri dari kelompok Soekarnois (PNI Kiri) dan  Komunis (PKI) dengan kubu ‘kanan’ yang direpresentasikan militer (TNI-AD), PNI Konservatif, Islamis serta sos-dem juga ‘menular’ ke wilayah Bali. Setelah kehilangan dukungan dari kalangan elite PNI, Sutedja pun meraih dukungan politik dari PKI Bali yang anggotanya kebanyakan buruh tani dan warga Tionghoa. Konstituen PKI ini juga kebanyakan berasal dari  kasta waisya (pedagang) dan sudra (kaum miskin).

Sedangkan kubu Mantik didukung oleh PNI mainstream di Bali yang kebanyakan konservatif dan berasal dari kalangan ningrat atau ‘ksatria’ serta kaum Islam di Bali yang sebagian besar berafiliasi pada NU. Pasca Oktober 1965, kubu Mantik inilah yang bersinergi dengan militer (RPKAD) untuk mengorganisir milisi Tameng guna membunuhi para anggota dan simpatisan PKI di Bali.

Bara konflik tersebut benar-benar meledak setelah Jakarta diguncang tragedi Gestok yang menewaskan beberapa orang Jenderal TNI-AD. Bali pun turut diguncang pembantaian mengerikan dengan korban tewas  puluhan ribu orang yang dianggap anggota PKI. Soe Hok Gie memperkirakan korban yang tewas akibat pembantaian Bali tersebut  menurut prediksi yang paling konservatif saja sebanyak 80.000 jiwa (Bentang,  1995).

Situasi yang makin memanas itu berdampak pada keluarga Sutedja. Puri Agung Negara di Jembrana milik keluarga besar Sutedja  tak luput dari amuk massa ‘anti-komunis’. Sutedja dan keluarganya digolongkan sebagai pendukung PKI, padahal realitasnya Sutedja adalah seorang Soekarnois dan  tak pernah menjadi anggota PKI. Meskipun  memang salah satu anggota keluarga besar Sutedja ada yang menjadi pengurus PKI Bali.

Amuk massa yang berbuah perusakan dan pembakaran  di Puri Agung Negara menimbulkan luka mendalam dalam jiwa tiap anggota keluarga Sutedja. Betapa tidak,  aksi massa itu juga menewaskan belasan anggota keluarga Puri Agung Jembrana. Akibatnya, Bung Karno memerintahkan Sutedja sekeluarga untuk hijrah sementara ke Jakarta di bulan Desember 1965.

Korban Penculikan Politik

Sutedja dan keluarga akhirnya tinggal di kawasan Senayan Jakarta guna menghindari amuk massa di Bali. Namun, seiring dengan kekuasaan  Bung Karno yang kian dikebiri oleh kelompok Soeharto, makin terancam jugalah keselamatan Sutedja di Jakarta. Tanggal 29 Juli 1966, Sutedja ‘dijemput’ oleh beberapa orang berseragam militer dari markas Staf Komando Garnisun (SKOGAR) dan diperintahkan datang  ke markas SKOGAR. Sutedja pun  memenuhi panggilan ini.

Namun, tak pernah ada kabar lagi dari Sutedja pada pihak keluarga semenjak kepergian Sutedja di hari itu. Keluarga pun mendatangi markas SKOGAR untuk mencari tahu nasib Sutedja. Jawaban pihak SKOGAR cukup mengejutkan : tak pernah ada perintah penjemputan atau pemanggilan terhadap Sutedja.

Pencarian keluarga  tidak berhenti hingga disitu. Tetapi, situasi politik yang kian memarjinalkan kelompok Soekarnois sudah  tidak kondusif lagi  bagi  upaya keluarga Sutedja untuk mencari jawaban atas nasib sang putra Jembrana tersebut. Sejak saat itu hingga puluhan tahun kemudian,  nasib Sutedja tetap diliputi ketidakjelasan.

Hilangnya Sutedja menimbulkan beragam spekulasi. Ada  beberapa pihak menyatakan, Sutedja tewas akibat penculikan politik. Disisi lain, ada juga  sebagian pihak yang mengatakan  bahwa Sutedja  pergi ke luar negeri  pasca kejatuhan Bung Karno. Namun, keberadaan Sutedja tidak pernah terlacak di negara manapun seperti halnya kaum exile lainnya dari Indonesia yang menjadi pelarian politik setelah Soeharto berkuasa. Sehingga, kebanyakan pihak meyakini hipotesis pertama lah yang terjadi pada diri Sutedja. Pihak keluarga  sendiri  meyakini bahwa Sutedja telah wafat dengan mengadakan prosesi adat ‘pelepon’ untuk ‘mengantar’  arwah  Sutedja menuju alam kebadian di tahun 2006.

Tragedi yang menimpa Sutedja merupakan cerminan dari kebiadaban politik rezim Orde Baru yang masih belum terungkap jelas hingga kini, seiring dengan masih ‘kabur’ nya kasus  pembantaian  dan pengebirian hak sipil ribuan bahkan jutaan simpatisan kiri di awal berdirinya Orde Baru. ‘Raib’ nya Sutedja juga menjadi bukti bahwasanya metode penculikan politik yang marak dilakukan di akhir era Orde Baru tahun 1997/98 ternyata telah dilakukan dengan  ‘sempurna’ bahkan sebelum Soeharto secara de-jure disahkan sebagai Presiden.  Sutedja  dan ribuan warga Bali lainnya juga  menjadi ‘tumbal’ ekspansi modal internasional yang masif  pasca berkuasanya Orde Baru dengan bertopengkan ‘pembangunan’ serta  ‘eksotisme  pariwisata’  di Bali.

Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang

Tidak ada komentar