Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Waterlooplain (Lapangan Banteng) dan Monumen Jenderal Michiels

Waterlooplain dan Monumen Jenderal Michiels (Foto IST)
Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, diabadikan dari Pasar Baru pada awal abad ke-20. Kala itu, lapangan ini bernama "Waterlooplain" untuk mengenang kekalahan Kaisar Napoleon Bonaparte di medan Waterloo, Belgia, pada 1815. Paling kiri, tampak Monumen Michiels yang letaknya berdekatan dengan Katedral, tempat peribadatan penganut Katolik. 

Monumen Michiels didirikan untuk mengabadikan Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, pemimpin ekspedisi militer Belanda ke Bali dan tewas di tangan pejuang-pejuang Bali pada 23 Mei 1849. Lokasi monumen di persimpangan Willems Laan (kini Jalan Perwira) berdekatan dengan Departemen Agama dan Masjid Istiqlal. Monumen ini dihancurkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Di halaman muka Departemen Keuangan yang berhadapan dengan Lapangan Banteng, semula dibangun untuk istana. Di sini, terdapat patung Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, pendiri Kota Batavia.

Patung yang dibangun pada 1819 untuk memperingati 200 tahun usia Batavia itu, dihancurkan hampir dalam waktu bersamaan, yaitu 7 Maret 1943. Sejumlah patung dan monumen Belanda juga dihancurkan bala tentara Dai Nippon. Jenderal Michiels dimakamkan di Taman Prasasti di Kerkhof Laan (kini Jalan Tanah Abang I), Jakarta Pusat.

Lapangan Singa Bersalin Nama Menjadi Lapangan Banteng

Yang terlihat di foto adalah bagian timur dari Lapangan Banteng. Tampak sebuah bendi--kendaraan umum kala itu--dengan santainya melintas di Jalan Perwira yang di kiri-kanannya dipenuhi pepohonan rimbun. Melalui foto, kita dapat merasakan bagaimana nikmatnya berjalan-jalan dan berolahraga di lapangan yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. 

Gubernur jenderal yang membangun jalan raya dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur) ini juga membangun sebuah istana mewah dan megah, yang kini menjadi Departemen Keuangan di Jalan Lapangan Banteng Timur. White House yang kini menjadi kantor menko ekonomi dan menteri keuangan baru selesai 20 tahun kemudian.

Monument Michielsen
Kembali pada Monumem Michiels yang didirikan pada 1828. Di puncaknya, terdapat patung seekor singa. Hingga dalam waktu cukup lama, ia dinamakan Lapangan Singa. Setelah kedaulatan, diganti menjadi Lapangan Banteng.

"Kita adalah bangsa banteng, bukan bangsa tempe." Kata-kata itu sering diucapkan Bung Karno saat konfrontasi dengan dunia Barat.

Mencari Jodoh di Lapangan Banteng

Sampai 1970-an, di sekitar Lapangan Banteng, terdapat banyak kompleks militer. Misalnya, Markas Kodam V/Jaya yang kini menjadi bagian dari Masjid Istiqlal.

Di belakang Hotel Borobudur, terdapat Batalion 10 yang kemudian ditempati oleh pasukan marinir. Letaknya berhadapan dengan RSPAD Gatot Subroto. Perumahan militer juga terdapat di Jalan Siliwangi, berdekatan dengan Depkeu yang kini menjadi Atrium Senen.

Pada abad ke-19 di Lapangan Banteng, tiap Ahad sore, diadakan parade militer. Acara tersebut merupakan kesempatan bagi para sejoli untuk saling bertemu.

Si gadis yang datang dengan kereta kuda berdandan seelok mungkin dengan gaya wanita borjuis, meniru keadaan di negaranya. Sementara, sang pemuda datang dengan menunggang kuda.

Di bagian kiri Depkeu, dahulu terdapat tempat hiburan dan dansa-dansi untuk para perwira yang bernama Klub Concordia. Klub bergengsi di samping Harmoni ini dibangun pada masa Gubernur Jenderal Van den Bosch (September 1833).

Lapangan Banteng pernah menjadi sangat kotor dan banyak premannya ketika menjadi terminal pada masa gubernur Ali Sadikin. Setelah terminal dipindah ke Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Lapangan Banteng menjadi hijau royo-royo karena menjadi tempat pameran flora.

(Alwi Shahab)

Sumber: republika

Tidak ada komentar