Roeslan Abdulgani, Api yang Tak Kunjung Padam
Roeslan Abdulgan |
Ia dikenal sebagai tokoh penting bagi terselenggaranya Konferensi Asia - Afrika di Bandung, 1955. Jiwa nasionalismenya tak lekang dimakan usia, laksana api yang tak kunjung padam. Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai.
Hari-hari terakhir Cak Roes, demikian Roeslan Abdulgani disapa, tidak berubah. Setiap pagi ia masih menyempatkan pergi ke kantornya di gedung BP-7 di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Di saat senggang, dia masih suka jalan-jalan, membaca, dan mendengarkan musik klasik. Ia juga masih melakukan suka mencatat intisari dari setiap buku yang dibacanya.
Namun, Tuhan jua yang menentukan kehendak-Nya. Cak Roes dipanggil keharibaan-Nya pada Rabu, 29 Juni 2005, pukul 10.20 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta. Jenazahnya kemudian disemayamkan di kediaman Jalan Diponegoro sebelum dimakamkan pada Kamis, (30/6) di TMP Kalibata.
Kepergian Cak Roes adalah kehilangan yang sangat besar bagi bangsa ini. Dalam usianya yang akan 91 tahun pada tanggal 24 November nanti, kondisi kesehatan Dr Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, dan tokoh yang menduduki berbagai posisi penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, memang sering mengalami gangguan.
Berkat olahjiwa yang dilakukannya secara intensif 20 tahun terakhir ini yang membuatnya panjang usia. Menurut pengakuan mantan Menteri Luar Negeri era Soekarno ini, olahjiwa membuatnya selalu ingat, "Kalau Tuhan memanjangkan usiamu, harus disadari, kekuatanmu akan dikurangi. Tapi tidak pikiran dan cita-citamu".
"Ibu saya selalu mengingatkan Surat Yassin Ayat 68 yang saya tafsirkan seperti itu," sambung Cak Roeslan.
Tubuh adalah gambaran paling nyata dari ketidakabadian. Semakin tua, kondisi fisik-biologis secara alamiah akan menurun. Akan tetapi, Sophocles yang menulis karya besarnya, Oedipus, ketika berusia lebih dari 80 tahun dan Goethe yang menyelesaikan Faust setelah berusia 80 tahun, setidaknya membuktikan bahwa usia tidak begitu saja melapukkan pikiran, semangat, dan cita-cita.
"Sebab usia adalah kesempatan itu sendiri; sebagaimana kemudaan, meski dalam busana lain. Tatkala senja berlalu, langit dipenuhi bintang yang tak terlihat di siang hari," begitu terjemahan bebas dari kutipan Henry Wadworth Longfellow yang ia pegang. "For age is opportunity no less/ Than youth itself, though in another dress. And as evening twilight fades away/ The sky is filled with stars, invisible by day…"
Pada Seminar Asia Afrika di Kairo, Mesir, 1985, ia mewakili Indonesia. Selain menyampaikan makalahnya, The Spirit of Bandung, Regional Association and International Organization, ia juga menyerahkan Deklarasi Peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Peringatan ini diselenggarakan beberapa hari sebelum seminar itu berlangsung.
Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai. Kendati dia sadari impian itu sulit terwujud. Mantan Sekjen KAA I ini pensiun dari pegawai negeri sejak 1972. Tampaknya dia berhasil menenggang apa yang disebutnya perasaan sepuh (tua), sepi (menyendiri), sepo (hambar), dan sepah (terbuang). Walaupun diakui bahwa dia pernah mengalami post-power syndrome -- sindrom purna-kuasa.
Tetapi, enam bulan menjalani pensiun, mantan Menlu RI (1956) ini diundang memberikan kuliah di Universitas Monash, Australia. Tiga bulan Cak Roes di sana. Kemudian ia ke Negeri Belanda, atas undangan Pangeran Bernhard, enam bulan mengadakan riset tentang arsip dan dokumentasi. Oleh markas Unesco di Paris, ia kemudian diminta menjadi konsultan di bidang komunikasi massa dan kebudayaan. Bekas Dubes RI di PBB ini menerima gelar doctor honoris causa dari Unpad, Unair, dan IAIN Sunan Kalijaga.
Semua kegiatannya dianggapnya telah memberi kepuasan intelektual. Namun, ia tetap merasa prihatin mengingat tenaga dan daya pikirnya mengalami proses menua. Ia berharap agar generasi muda sebagai penerus, belajar lebih baik lagi. Apalagi, menurut dia, menghadapi tantangan dunia yang kian berat.
Hidup ikhlas
Anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi orang penting. Toh, kenyataannya dia masih dipercaya memegang jabatan cukup penting. Antara lain sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-7), pada era Soeharto.
Pada masa remajanya, Cak Roes pernah ingin menjadi militer. Gagal, sebab di zaman Belanda akademi militer hanya terbuka bagi anak priyayi, ia lalu masuk sekolah guru. Dikeluarkan karena anggota Indonesia Muda, ia juga tiga kali ditangkap Belanda, lantaran ketahuan mengikuti dan meneruskan cita-cita ayahnya, Almarhum Haji Abdulgani, yang saat itu termasuk tokoh Sarekat Dagang Islam.
Trauma sewaktu tertembak Belanda tanggal 19 Desember tahun 1948 di Yogya sesekali masih dirasakannya. Lukanya parah. Operasinya berkali-kali. Luka-luka akibat tembakan itu meninggalkan cacat. Jari tangan kanannya hanya tiga, bentuknya tidak normal. Ingatan akan situasi perang kemerdekaan seperti film yang diputar berulang-ulang. Selain trauma, dia juga sering merasakan eforia. Eforia yang sering datang berkaitan dengan perasaan sukacita ketika Indonesia merdeka.
Lingkungan pergerakanlah yang membentuk pribadi bekas tokoh PNI ini sampai akhir hayatnya. Ia pernah menjadi Ketua IV DPP PNI, ketika ketua umumnya Almarhum Ali Sastroamidjojo. Pada 1960-an, di AD ia pernah diangkat sebagai jenderal berbintang empat, suatu “kepangkatan politis.
Cak Roes menjalani hidupnya dengan ikhlas, karena hidup ini sebenarnya sebuah lakon. “Kita nglakoni lakon kita masing-masing. Karena itu sehabis sholat saya selalu bertanya, mengapa Tuhan memberi saya umur panjang. Banyak yang lebih muda sudah lebih dulu pulang.”
Suatu hari, ia pernah bertanya kepada Presiden Corry Aquino, apakah ia pernah berpikir suatu saat akan menjadi Presiden Filipina. Cak Roes mengenal Ninoy Aquino, suami Corry di PBB. Jawaban Corry menurutnya sangat bagus. Katanya, “Pak Roeslan, Tuhan punya rencana atas semua manusia. Terpulang pada setiap orang bagaimana menemukan jawaban dari rencana Tuhan itu.”
Pengaruh orangtua dan guru
Ibunya, Siti Moerad, wafat tahun 1964 pada usia 90-an. Ibunya yang selalu mengatakan bahwa menjadi sepuh (tua) itu sepi karena tidak banyak yang mengunjungi lagi. Kalau sepi lalu sepa (hambar), dan setelah itu lalu jadi sepah (ampas). Cak Roes jangan sampai seperti itu. Jadi, sebagai orang yang sudah tua, Cak Roes pun tahu diri. Ia pun minggir sebelum dipinggirkan orang.
Cak Roes senang mengutip puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst yang menggambarkan tentang usia tua: “Mengapa engkau hanya bernyanyi untuk bunga-bunga di musim semi? Bukankah daun-daun yang jatuh pada musim gugur akan menjadi penyubur bagi bunga di musim semi?” Menurut Cak Roeslan, orang tua jangan dilupakan. Ia adalah pupuk bagi generasi berikutnya.
Ia juga selalu ingat ucapan gurunya, Jan Ligthard. Menurut gurunya itu, “jadikan anak-anakmu berjiwa semerah matahari terbit. Ia harus berani hidup, berani menghadapi tantangan karena hidup ini perjuangan. Ada pasang, ada surut. Jangan takut pada kesulitan.”
Cak Roes pun menambahi ucapan gurunya itu, bahwa matahari yang tenggelam juga tak kalah indah merahnya dari matahari terbit. Ia mengimbau agar generasi muda sebagai matahari terbit dan generasi tua sebagai matahari tenggelam, membuat dunia menjadi indah dengan berlomba berbuat kebaikan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan, karena semua ini ciptaan-Nya.
Ada satu kutipan favorit Cak Roes lainnya. Life can only be understood backward, but should be lived forward. Itu kata Kierkegaard. Hidup hanya bisa dimengerti kalau kita melihat ke belakang, melihat sejarah, tetapi harus dilakoni untuk masa depan. Jangan terbelenggu pada masa lalu. Sejarah harus membuat orang berpikir kreatif.
Ibunya juga selalu mengingatkan, hakikat hidup adalah memberi. Kalau minta ke Tuhan saja. Paring pangan marang kan kaliren, paring sandhang marang kang kawudan, paring teken marang kang kalunyon. (Memberi makan pada yang kelaparan, memberi baju pada yang telanjang, memberi tongkat pada yang berjalan di jalan yang licin). Kalunyon itu dalam arti luas. Selalu ingat pada Sang Pencipta. Kalau jalan jangan melihat ke atas saja, tetapi juga ke bawah supaya tidak tersandung. Kalau tiba di persimpangan, uluklah salam, assalamualaikum, tanya kepada-Nya, supaya tidak salah jalan.
Cak Roeslan sendiri adalah pengoleksi tongkat. Sedikitnya 200 tongkat tersimpan di ruang tamunya. Penghargaannya pada beragam agama tercermin pada koleksinya, memperlihatkan caranya beragama lebih menukik pada esensi. Tak sulit pula menangkap kesan bahwa ia seorang humanis.
Pengaruh ibunya memang sangat kuat dalam hidup Cak Roeslan. Ibunya adalah seorang guru ngaji, yang pandangan hidupnya lebih mencerminkan sinkretisme Jawa yang toleran dan memandang ritual agama sebagai kesadaran pribadi. Ketika Roeslan kecil bertanya kepada ibunya di mana sebetulnya Tuhan berada, ibunya tersenyum sambil berbisik, “Carilah di dalam sanubarimu. Karena itu, sing eling….”
Hubungan ibu dan anak itu sangat dekat, terutama setelah ia dilarang bertemu ayahnya karena sang ayah berniat menikah lagi. Ibunya adalah istri kedua ayahnya. Saudara-saudara pun Cak Roes banyak.
Ayahnya, Dulgani atau Abdulgani, adalah satu dari tiga orang kaya di Surabaya pada masa itu. Sebagai saudagar yang menjual keperluan sehari-hari – Bung Karno muda sering ngebon di toko ayahnya ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya – sang ayah juga memiliki tujuh mobil Fiat yang disewakan. Ayahnya meninggal ketika Roeslan duduk dibangku sekolah lanjutan pertama. Latar belakang inilah yang membuat Cak Roeslan berseberangan pendapat dengan Bung Karno dalam soal poligami.
Meski begitu, Roeslan sangat mencintai ayah-ibunya. Merekalah yang ngotot agar Roeslan ke sekolah pemerintah saat Roeslan berusia enam tahun. Roeslan menyelesaikan HBS-B, setara dengan SMA zaman Belanda, kursus tata buku A dan B serta kursus notariat.
Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh ketika sering diajak ayahnya berkeliling ke desa-desa untuk melihat nasib bangsanya. Sejak kecil ia sudah belajar memahami keberagaman. e-ti | rh
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tidak ada komentar
Posting Komentar