Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Radio Rimba Raya dan Kemerekaan Indonesia


Radio Rimba Raya (Desember 1948-1949) adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya di Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara Republik Indonesia Divisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Itulah berita singkat dari Radio Rimba Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga waktu itu.

Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.


Para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.

Sejak radio yang tak tentu rimbanya itu mengudara, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio itu. Lantas dari mana Belanda tahu? Itu cerita lain. Tapi yang penting, siapa pengelola di balik siaran radio itu?

Tak lain adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Aceh, pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa. Malang bagi Belanda. Hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi, mereka tak kunjung menemukan radio ‘siluman’ yang terus mengudara dan memberikan informasi dalam versi yang lain itu.

Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan radio itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.

“Jumlah korban di pihak Belanda kami besar-besarkan. Misalnya, yang tewas 20, kami siarkan 30, agar orang yang mau pergi berperang semakin banyak,” kata Yakobi kepada acehkita.

Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap. Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda). Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.

Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 kc/s melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara). Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.

Namun belakangan, namanya diubah menjadi Radio Rimba Raya. Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di pegunungan Takengon, Aceh Tengah, tepatnya di Barnibus, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama sebuah hutan yang nyaris tak berpenghuni.

Lokasi ini dipilih karena pegunungan Cot Gue sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Ceritanya begini, setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar. Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Rimba Raya curiga. Apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga tentara itu terpaksa menyulut api rokok ke tubuh pemuda berbaju kumal itu.

Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948. Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara, serta memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi. Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim. Melaui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.

Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.

Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya. Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syayudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.

“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi yang sedang menyiapkan buku tentang sejarah radio ini.

Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Husin Yusuf (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya. Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu. Tak hanya Kolonel Husin, Gubernur Militer Aceh Teungku Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.

Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh. Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.

Sebagai seorang pendukung Indonesia, Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.

Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 06.00 pagi.

Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Husin juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutyara yang belakangan bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka karena kecewa kepada Jakarta.

Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lee. “Jhon Lee-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio. ”Tentu saja tidak gratis. Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura.

Mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang. Pemancar itu ‘diselundupkan’ ke Aceh melalui pesisir Aceh Timur yang saat itu dikuasai Belanda. Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Yusuf yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.

Sukses dengan radio, para wartawan cum tentara ini pun menerbitkan buletin Berita Baru untuk menampung informasi yang semakin banyak. Beberapa hari setelah musyawarah dilakukan, datanglah barang-barang dari Bireuen seperti mesin stensil dan kertas koran. Buletin pun dicetak hingga 1.000 eksemplar perhari dan dijual ke Lhokseumawe, Takengon, dan Bireuen.

Buletin itu sendiri tak melulu menulis tentang perang dan politik, tetapi juga mengulas soal pertanian. Apalagi, lokasi yang disebut Rimba Raya di Takengon itu adalah kawasan yang banyak ditanami palawija yang digarap para serdadu yang sudah tidak ditempatkan di barisan depan lagi. Mereka dibantu seorang warga Jerman bernama Sef Meyer yang bertanggung jawab di bagian irigasi.

Akhirnya, pada bulan Maret 1949, dari pedalaman Aceh mengudara sebuah berita… “tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto telah menyerang dan menduduki kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.”

Berita itu sekaligus menepis semua propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa TNI sudah lumpuh dan yang tersisa hanya para ekstrimis yang bersembunyi di hutan-hutan. Berita ini dipancarkan luas ke seluruh dunia dan membuat Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengambil keputusan politik untuk mendorong agar Belanda mau merundingkan status politik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.

Konferensi Meja Bundar
Singkat cerita, setelah KMB, Belanda pun menarik pasukan-pasukan yang berada di seluruh kota besar di Indonesia. Para gerilyawan yang bersembunyi di hutan-hutan Aceh pun turun gunung. Sebagian tetap menjadi tentara, sebagian lagi menggantung senjata, termasuk Radio Rimba Raya.

Berhentinya siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan bahwa revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak 1947.

Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia. Tugu itu persis terletak 40 km dari kota Takengon. Monumen Radio Rimba Raya dibangun pada masa Bustanil Arifin menjabat sebagai Menteri Koperasi.

Monumen Radio Rimba Raya

Tidak ada komentar