Surga? Hawking Tersenyum Simpul
Stephen Hawking (springsummerautumnwinter.wordpress.com) |
Oleh A.A. Ariwibowo
Ada dua dongeng yang terlarang didengarkan anak-anak sebelum mereka berangkat tidur. Dongeng pertama, Tuhan tidak berperan dalam penciptaan alam semesta. Dongeng kedua, Surga hanya isapan jempol belaka.
Post Scriptum, buat para ibu muda bahwa jangan lupa menyebut kata tuhan dan surga dengan huruf besar. Dan jangan beri buah hati dongeng bertajuk "God is Dead" yang ngetop tahun enampuluhan.
Jauhi sedapat mungkin mengobral mulut di warung keselamatan dari tokoh seperti Feuerbach, Karl Marx dan Nietzsche. Ketiganya "subversif" karena mengkritik agama sebagai sumber kemerosotan manusia sebagai manusia.
Agama (surga) dipandang sebagai musuh manusia dalam mengaktualkan dirinya. Meskipun, ada pepatah, dekaplah kritik jika ingin bersikap kritis dalam melakoni hidup bertuhan dan bersurga.
Kini, ada satu lagi, sosok yang perlu "dijauhi" para ibu agar anak-anaknya tidak tertular virus anti-surga.
Dialah Stephen William Hawking yang lahir di Oxford, Britania Raya, pada 8 Januari 1942. Profesor Lucasian dalam bidang matematika di Universitas Cambridge itu, dikenal akan sumbangsihnya di bidang fisika kuantum, terutama karena teori-teorinya mengenai teori kosmologi, gravitasi kuantum, lubang hitam.
Meskipun mengalami tetraplegia (kelumpuhan) karena sklerosis lateral amiotrofik, ia melesat sebagai seorang selebritis akademik dan terpateri sebagai teoretikus fisika yang termasyhur di dunia. Dua tesisnya mengenai surga dan Tuhan menghebohkan meski tidak sampai menggetarkan.
"Saya menganggap otak seperti komputer yang akan berhenti bekerja ketika komponennya rusak. Tidak ada kehidupan setelah mati ataupun surga bagi komputer rusak itu. Semua itu cuma dongeng bagi orang-orang yang takut akan kegelapan," urai Hawking dalam wawancara dengan The Guardian, Senin (16/5/2011). Konsep surga hanyalah pepesan kosong.
Pada September 2010, The Telegraph melaporkan, "Stephen Hawking telah menyatakan bahwa Tuhan bukan pencipta alam semesta".
Hawking menulis dalam bukunya, The Grand Design, bahwa "Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada `sesuatu` dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakan alam semesta."
Dalam bukunya yang terbit pada 1988, A Brief History of Time, Hawking menyatakan kepercayaannya akan adanya campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam semesta.
"Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap maka itu akan menjadi kemenangan besar dari nalar manusia. Untuk itu, kita harus mengetahui pikiran Tuhan," tulis Hawking, pada saat itu.
Bagaimana menyikapi Hawking? Apakah sains melahirkan ateisme? Baik sains (kosmologi, fisika) maupun agama menggunakan kaidah "atau-atau": atau digunakan untuk bersepakat dengan klaim agama, atau berseberangan dengan klaim agama.
Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya "hipotesis Tuhan" untuk menjelaskan cara kerja alam semesta, kini terus mengemuka.
"Upaya membuktikan Tuhan secara ilmiah adalah sia-sia belaka, demikian juga sebaliknya dengan klaim teologis untuk menolak hasil-hasil sains. Dua jalan ini sama-sama memaksakan cara bernalar ke kawasan yang berada di luar otoritasnya. Meskipun, tidak lantas sains dan agama bertentangan," kata staf pengajar STF Drijarkara, Karlina Supelli.
Dengan dijejali dan disesaki sains, manusia tidak perlu merujuk ke segalam macam bentuk takhayul (baca: agama dan surga) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain "apakah hidup memang bermakna, mengapa manusia ada, apa dan siapa manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, jangan berlagak sebagai pedagang dari toserba keselamatan.
"Kita kerap memanggil Tuhan (dan surga) ketika kita kebingungan menghadapi celah-celah yang belum dapat dijelaskan oleh sains," kata Karlina juga.
Kebenaran sains dan kebenaran agama hendaknya tidak dicampuradukkan, karena masing-masing punya ruang lingkup keberlakuannya sendiri. Kebenaran agama berada di luar jangkauan rasio. Ada tidaknya Tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Ketika berbicara dalam tema Tuhan dalam batas-batas Rasio melulu, pengajar epistemologi STF Drijarkara, J. Sudarminta menyatakan, penegasan tentang adanya Tuhan perlu berdasarkan argumen-argumen moral.
"Kemutlakan dan keberlakuan hukum moral mengandaikan kebebasan si pelaku tindakan. Ini secara logis mengandaikan adanya Tuhan sebagai penjamin bahwa mereka yang bersikap setia mengikuti suara hatinya akan boleh berharap bahagia," katanya.
Setia dan bahagia? Penulis Russia, Fyodor Dostoevsky dengan novelnya The Brothers Karamazov memanggungkan "hawking-hawking" kecil.
Tokoh-tokoh seperti Raskolnikov, Ivan Karamazov dan kardinal mengamini bahwa manusia dalam hidupnya sanggup untuk berdiri sendiri dan tidak memerlukan campur tangan Tuhan. Baik Ivan maupun Kardinal menolak agama dan menjauhi Tuhan.
Kardinal pun berkata, "Kami telah mengoreksi pekerjaanmu dan menemukan kelemahan manusia dalam mukjizat dan misteri."
Dan Raskolnikov melihat penderitaan dan kesengsaraan manusia kemudian dia bertindak konkret. Sementara, Hakwing? Dia melontarkan senyum simpul ketika mengajukan kritisisme seputar Surga dan Tuhan. Hawking tidak sedang mendongeng!
Sumber :kompas.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar