Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Bismar Siregar SH, Cermin Kebeningan Nurani Hakim

 Bismar Siregar
Ibarat kaca, mantan hakim agung Bismar Siregar SH, menjadi cermin kebeningan hati nurani bagi para hakim. Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara (1984), ini selalu mengandalkan hati nurani setiap kali mengambil keputusan. Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang, hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.


Tatkala menjadi hakim aktif, Bismar Siregar, seringkali melakukan terobosan hukum dalam menegakkan keadilan. Sebagai seorang hakim, dia tidak mau diintervensi oleh siapa pun termasuk atasannya (Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung). Dia juga tidak mau pasrah bilamana belum ada undang-undang yang mengatur sesuatu perkara yang sedang diadili. Demi tegaknya keadilan, baginya, hakim adalah undang-undang.

Untuk itu, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya sendiri. Dia tidak ingin membohongi hati nuraninya ketika memutuskan suatu perkara. Setiap kali membuka berkas perkara atau memimpin sidang pengadilan, nurani keadilan selalu terbayang dibenaknya. Karena itu, kebanyakan teman menganggapnya sebagai hakim yang aneh, penuh kontroversi. Padahal duduk soalnya sederhana saja, Bismar tidak mau disuap, tidak bisa dibeli.

Benar apa yang ditulis Prof Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Undip, “Bismar tidak kontroversial. Ia lurus-lurus saja. Setiap memutus perkara ia selalu bertanya kepada hati nuraninya."

Bismar selalu berdialog dengan hati nuraninya: “Salahkah orang ini? Jahatkah dia? Bagaimana hukumannya, berat atau ringan?” Sesudah hati nuraninya memutuskan, maka ia mencari pasal-pasal hukum sebagai dasarnya.

“Bismar” lain di kejaksaaan adalah mendiang Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Kedua pendekar hukum itu, menurut Satjipto, model sosok penegak hukum yang berani melawan arus. Keberanian yang mereka tegakkan sangat dibutuhkan untuk melawan arus kebobrokan, pengaruh kapitalisme dan liberalisme hukum. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Namun mereka sama-sama memberi contoh keberanian, terserah kepada rekan-rekannya, mau meneladani atau tidak.

Bismar gemar menulis. Apa saja yang dirasakan dan dipikirkannya, tak pernah lupa ia catat. Banyak tulisannya yang dipublikasikan, baik dalam bentuk makalah ilmiah, ceramah, artikel populer, maupun buku. Tetapi masih banyak lagi buah pikiran dan gagasannya yang belum sempat dipublikasi.

Naskahnya menumpuk, sangat sayang untuk dibuang.

Naskah-naskah yang tercecer ini dirangkai kembali di dalam bukunya: Dari Bismar untuk Bismar. Buku itu merangkum artikel-artikel pendek tentang berbagai topik, merupakan refleksi dirinya atas kejadian atau persoalan yang muncul atau sedang menjadi pembicaraan publik saat ia menuliskannya. Artikel-artikel itu terangkum secara kronologis sesuai tanggal, bulan atau tahun penulisannya.

Tidak seperti kebanyakan pria Batak, Bismar bertutur kata lembut, tetapi vonisnya bisa menggelegar. Ketika memangku Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara, Bismar pernah suatu kali, menambah vonis pengadilan tingkat pertama sampai 10 kali lipat. Ini dilakukannya pada perkara Cut Mariana dan Bachtiar Tahir. Kedua terdakwa dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan karena tuduhan memperdagangkan 161 kilogram ganja kering. Namun Pengadilan Tinggi menambah hukuman mereka, masing-masing 15 dan 10 tahun penjara.

Masih ada contoh lain. Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan menjadi tiga tahun. Perkara ini diputuskan oleh PN Tanjungbalai, tetapi diubah oleh Pengadilan Tinggi Sumut.

Bismar, sarjana hukum UI kelahiran Sipirok, Sumut, 15 September 1928, itu bersikap keras sejak awal. Ketika mengadili seorang tokoh BTI/PKI, Mei 1965, Bismar berani melawan tekanan PKI. Sebab Bismar beranggapan, hakim itu wakil Tuhan di dunia.

Memang ayah Bismar, pensiunan kepala sekolah rakyat, menginginkan putra kelimanya (dari 13 anak) menjadi hakim yang baik. Bismar sempat menjadi jaksa di Palembang, hanya dua tahun, beralih menjadi hakim yang membawanya bertugas di Pangkal Pinang, Pontianak, Bandung, Medan dan Jakarta. Karirnya naik jadi hakim agung, Juni 1984.

Perjalanan Karir
Setelah menyandang gelar sarjana hukum UI, Bismar memulai karir sebagai jaksa di Kantor Kejaksaan Negeri Palembang (1957). Setelah bertugas dua tahun di Palembang, Bismar pindah ke Kejaksaan Negeri Ujung Pandang yang dipimpin oleh AA Baramuli yang kemudian menjadi pengusaha dan politisi. Baru setahun bertugas di Ujung Pandang, Bismar kemudian dipindahkan lagi ke Kejaksaan Negeri Ambon (1960).

Dua tahun kemudian (1962) Bismar berubah haluan, meniti karir sebagai hakim, pertama kali bertugas di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang (1962), kemudian dipindahkan ke PN Pontianak (1962-1968). Bismar mulai merenung bahwa di dalam meraih jabatan tidak boleh ngoyo.

Kisahnya begini: sebenarnya, Bismar dirancang menjadi Ketua PN Pangkal Pinang. Tetapi ketua pengadilan yang akan digantikannya belum mau pensiun, meminta dinas aktifnya diperpanjang setahun lagi. Maka, mau tidak mau Bismar menerima posisi sebagai hakim biasa. Baru saja bertugas di Pangkal Pinang, Ketua PN Pontianak meninggal dunia. Posisi yang ditinggalkannya diisi oleh Bismar. “Saya tidak tahu, mungkin ini kehendak Tuhan,” kata Bismar kepada Tokoh Indonesia.

Waktu itu usia Bismar baru 34 tahun, sebuah jabatan relatif tinggi bagi seorang hakim yang berusia semuda itu. Menilik pengalaman-nya, Bismar beranggapan, para hakim senior jangan melecehkan mereka yang muda dengan dalih masih ingusan. Kalau mampu menjalankan tugasnya dengan baik, berikan mereka kesempatan.

Menjadi hakim agung di Mahka-mah Agung (1984-1995) merupakan puncak karir Bismar sebagai pende-kar hukum. Kemudian Bismar menikmati hari-hari pensiunnya, sejak 1 Desember 1995. mti/crs-sh-ad-ar

Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Pekerjaan Utama:
Hakim Agung (1984-2000) - Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat (1981-1982) & Sumatera Utara (1982-1984)

Nama:
Bismar Siregar

Lahir:
Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928

Agama:
Islam

Isteri:
Yunainen F. Damanik

Anak:
Tujuh orang

Cucu:
11 orang (Juni 2006)

Ayah:
Aminuddin Raja Baringin Siregar

Ibu:
Siti Fatimah

Pendidikan:
-HIS, Sipirok (tidak selesai)
-SMP, Sipirok (tidak selesai 1942)
-SMA, Bandung (1952)
-FH UI, Jakarta (1956)
-National College of the State Judiciary, Reno, AS (1973)
-American Academy of Judicial Education, Tescaloosa, AS (1973)
-Academy of American and International Law, Dallas, AS (1980)

Karir:
-Jaksa di Kejari Palembang (1957-1959)
-Jaksa di Kejari Makassar/Ambon (1959-1961)
-Hakim di Pengadilan Negeri Pangkalpinang (1961-1962)
-Hakim di Pengadilan Negeri Pontianak (1962-1968)
-Panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971)
-Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur (1971-1980)
-Hakim Tinggi Jawa Barat, Bandung (1981-1982)
-Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Medan (1982-1984)
-Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (1984 - 1 Desember 1995)

Alamat Rumah:
Jalan Cilandak I No 25 A, Jakarta 12430 Telp: 7657416

Tidak ada komentar