Tan Malaka, Pejuang yang Misterius
Tan Malaka, Pahlawan Nasional |
Tan Malaka dianggap sebagai sosok yang misterius karena kerap menggunakan nama samaran dan kemunculannya yang tanpa bisa diduga. Seperti saat penangkapan yang dilakukan Jepang terhadap beberapa tokoh yang dianggap anti Jepang. Salah satu tokoh yang ditangkap adalah BM Diah, seorang wartawan pemimpin harian Merdeka. Tan Malaka yang kala itu menggunakan nama samaran Husin mendatangi istri BM Diah guna menanyakan kebenaran kabar penangkapan suaminya. Belakangan istri BM Diah baru mengetahui bahwa pria yang mengaku bernama Husin itu adalah Tan Malaka.
Pemilik nama asli Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka ini lahir di Pandan Gading, Sumatera Barat, 19 Februari 1896. Pendidikan formal yang ditempuhnya adalah Europese Kweekschool di Harleem, Belanda. Setelah itu, ia mengambil kursus calon kepala sekolah di Europese Hoofdakte Cursus. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di negeri kincir angin tersebut, ia pun kembali ke Tanah Air.
Setibanya dari Belanda, ia menjadi pengajar di Deli, Sumatera Timur. Meski tak lagi bermukim di Belanda, ia masih tetap menjalin komunikasi melalui surat dengan rekan-rekannya di sana. Selain itu, ia juga produktif dalam menuangkan pemikirannya lewat tulisan. Ia banyak menulis artikel yang dimuat dalam surat kabar berbahasa Belanda terbitan Semarang milik aliran Bolshevick yaitu Het Vrije Woord yang berarti Kata yang Bebas.
Selain artikel, ia juga menulis brosur bertajuk “Soviet atau Parlemen” yang berisikan pandangannya mengenai kedua bentuk pemerintahan tersebut dan dimuat dalam majalah Soeara Ra’jat. Pemikirannya juga dituangkan dalam sejumlah buku seperti: Dari Penjara ke Penjara, Komunisme di Jawa (1922), Kuli Kontrak (1923), Naar de Republiek (1925). Buku berjudul Madilog yang merupakan akronim dari materialisme, dialektika, logika, juga lahir dari tangan dinginnya antara tahun 1942 dan 1943. Madilog menampilkan cara berpikir baru untuk melawan cara berpikir lama yang dipengaruhi oleh takhayul atau mistik yang menyebabkan orang menyerah pada keadaan atau menyerah pada alam.
Pada tahun 1922 terjadi pemogokan besar-besaran yang dilakukan para buruh pegadaian. Aksi massal tersebut dipimpin oleh seorang anggota Sarekat Islam, Suryopranoto yang kemudian mendapat julukan dari Belanda sebagai Raja Pemogokan (Stakingkoning). Akibat dari peristiwa tersebut, sebagai salah seorang anggota partai politik, Tan Malaka pun terkena getahnya. Ia ditangkap kemudian diasingkan ke Belanda. Meskipun tengah menjalani masa pengasingan bukan berarti hal tersebut menghentikan kiprahnya di dunia politik. Hal ini dibuktikan ketika ia mewakili partainya dalam Komintern Uni Soviet.
Setelah menjalani masa pengasingan di Belanda, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1942. Kepulangannya ke Tanah Air berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang. Sebagai seorang anak bangsa yang peduli pada nasib kaumnya, ia pun tak tinggal diam. Ia turut berjuang melakukan perlawanan dengan terlibat dalam gerakan bawah tanah. Ia juga menyambangi presiden pertama RI, Soekarno. Dalam dua kali pertemuannya dengan sang proklamator itu, Tan Malaka berhasil membuat Bung Karno terkesan dengan strategi revolusioner, terutama penekanannya pada mobilisasi umum dan persatuan nasional. Bung Karno pun menyatakan keinginannya agar strategi Tan Malaka itu dijadikan pedoman perjuangan bila ia dan Bung Hatta ditangkap oleh tentara Inggris.
Bersama Mr. Subardjo, ia membujuk presiden Soekarno supaya menandatangani semacam “testamen” atau surat wasiat yang menyebutkan bahwa Tan Malaka sebagai ahli waris politiknya. Namun, Hatta campur tangan dengan meminta agar nama-nama seperti Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Wongsonegoro ditambahkan pada daftar nama-nama orang yang akan melanjutkan kepemimpinan perjuangan kemerdekaan.
Dalam perkembangan selanjutnya testamen tersebut seakan kehilangan relevansi politiknya. Hal tersebut dikarenakan semakin vokalnya para anggota KNIP sebagai badan perwakilan rakyat serta keengganan pihak Inggris untuk menangkap Soekarno dan Hatta.
Di samping itu, nama Tan Malaka juga ikut dirugikan dengan disebarkannya testamen tersebut. Pada tahun 1946, ia ditangkap dengan tuduhan menggerakkan rakyat menentang persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia. Rupanya itu bukan tuduhan terakhir yang ditujukan padanya. Tak lama berselang, ia kembali dituduh terlibat dalam peristiwa kudeta terhadap pemerintah pada tanggal 3 Juli 1946. Akan tetapi pengadilan berhasil membuktikan bahwa dirinya tak bersalah karena tidak terlibat dalam peristiwa tersebut. Setelah menjalani persidangan, Tan Malaka pun dibebaskan dari segala tuntutan.
Kegiatan politik Tan Malaka semakin berlanjut dengan keanggotaannya di KNI (Komite Nasional Indonesia). Dalam komite tersebut ia menentang adanya FDR (Front Demokrasi Rakyat) pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin yang di kemudian hari memimpin pemberontakan PKI di Madiun. Meskipun sama-sama anggota partai tetapi berbeda aliran, Tan Malaka memandang dirinya sebagai seorang ideolog serta lambang revolusi, bukan sebagai seorang politikus yang aktif bekerja dalam kabinet. Karena perbedaan tersebut, ia kemudian memilih jalan sendiri dengan mendirikan Partai Murba.
Keterlibatan pejuang yang sering dipandang misterius itu berakhir ketika kekalutan keadaan politik Indonesia yang masih muda pada tahun 1949. Ia ditangkap pasukan gerilya pro-RI dan ditembak mati tanpa diketahui kuburnya. e-ti
Sumber: TokohIndonesia.com (Ensklopedi Tokoh Indonesia)
Nama:
Tan Malaka
Nama lengkap:
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka
Gelar kepahlawanan:
Pahlawan Nasional
Lahir:
Pandan Gading, Sumatera Barat, 19 Februari 1896
Meninggal:
Tahun 1949
Pendidikan:
Europese Kweekschool di Harleem, Belanda
Europese Hoofdakte Cursus (kursus kepala sekolah)
Pekerjaan:
Anggota KNI (Komite Nasional Indonesia)
Karya tulis:
-Soviet atau Parlemen (brosur)
-Dari Penjara ke Penjara, Komunisme di Jawa (1922)
-Kuli Kontrak (1923)
-Naar de Republiek (1925)
-Madilog (materialisme, dialektika, logika)
Perjuangan:
Melakukan perlawanan dengan terlibat dalam gerakan bawah tanah
Sumber:
Buku Jejak-Jejak Pahlawan penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007
Tidak ada komentar
Posting Komentar