"Dua Indonesia"
Rakyat telah berpaling ke tokoh lintas agama karena aspirasi mereka tidak lagi tersalurkan melalui DPR, partai-partai—kecuali kelompok oposisi—atau para politisi. Daftar 18 kebohongan pemerintah plus data yang disiapkan badan pekerja akurat adanya.
Tolong dipahami tokoh lintas agama tidak memiliki kepentingan politik transaksional. Fungsi utamanya, seperti kata Buya Syafii Maarif, mengingatkan pemimpin/pejabat/politisi yang ”merasa benar walaupun berada di jalan yang sesat”.
Pesan sentral/esensial pernyataan-pernyataan tokoh lintas agama: kini terjadi pengingkaran UUD 1945 di bidang ideologi, sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.
Dua immediate problem yang mengingkari UUD 1945, yaitu Gayusgate dan Centurygate. Belum lagi masalah laten, seperti pemberantasan korupsi yang tebang pilih, rekening gendut jenderal-jenderal polisi, kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan intoleransi agama.
Pemerintah tersentak, tersinggung, reaktif, defensif, bahkan terkesan panik. Istana segera mengundang tokoh lintas agama, langkah awal untuk saling dialog yang, sayangnya, kurang cair, serba protokoler, dan tertutup.
Masuk akal sebagian masyarakat kecewa karena pola komunikasi Istana belum juga berubah. Sebagian menganggap barangkali pertemuan itu masih ada manfaatnya. Sebagian lagi tak peduli.
Idealnya, tokoh lintas agama mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dialog (bukan monolog) yang cair dan informal. Lebih ideal lagi dialog berlangsung terbuka dan disiarkan langsung agar rakyat dapat menyaksikan.
Kita perlu konsensus baru agar pemerintah berjalan selamat sampai tahun 2014. Di lain pihak, ada rasa khawatir akan terjadi gejolak politik yang hasil akhirnya bisa tidak terkirakan oleh siapa saja.
Sebagian kritik tokoh lintas agama menyebut ancaman kita memasuki periode negara gagal. Sejatinya negara dan bangsa belum gagal. Namun, para pemimpinlah yang gagal.
Kita memasuki proses pembusukan politik (political decay) yang diawali oleh legitimasi Pemilu/Pilpres 2009 yang disengketakan sampai ke Mahkamah Konstitusi. Setelah itu terjadi peristiwa sosial dan politik yang absurd, yaitu cicak vs buaya, Centurygate, rekening gendut, Gayus, serangan terhadap kebinekaan, dan seterusnya.
Kita menunggu-nunggu penyelesaian berbagai masalah. Namun, yang terjadi malah penantian sia-sia yang membuat masyarakat otomatis kehilangan harapan. Kita malah menyaksikan sinetron politik yang tidak lucu yang dimainkan oleh pemimpin dan politisi amatiran.
Pembusukan politik itulah yang menjadi ancaman karena sejatinya pembusukan politik akan dilanjutkan oleh proses delegitimasi pemegang kekuasaan, dan itu sudah terjadi di berbagai kalangan masyarakat yang makin hari makin dipusingkan oleh frustrasi sosial.
Memang sejak 2009 pemimpin, pejabat, dan politisi bangsa ini kehilangan akal sehat, hati nurani, dan budi pekerti. Kita tidak lagi menaungkan diri pada kebajikan-kebajikan (virtues) sebagai bangsa besar, seperti sikap patriotis, asas musyawarah mufakat, demokratis, dan religius.
Penguasa selalu merasa benar, padahal keliru. Mereka enggan berdialog, hanya kuat bermonolog untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan semata. Nyaris tidak ada deal politik transformatif yang mencerahkan. Semuanya bersifat transaksional belaka.
Mereka abai terhadap penderitaan rakyat. Pada saat pengemplangan pajak merugikan negara sampai triliunan rupiah, mereka bicara tentang rencana memajaki warung tegal.
Ketika Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara yang mengalami kelaparan pada tingkat yang gawat, DPR sudah menghabiskan uang konsultasi Rp 18 miliar untuk membangun gedung baru. Belum-belum sudah bicara Pemilu/Pilpres 2014 yang jelas politically incorrect and morally wrong.
Tampak jelas mulai muncul tabiat negara yang mengabaikan nasib rakyat miskin yang butuh pelayanan publik memadai, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, serta tempat tinggal yang nyaman. Pendek kata, mereka sudah kehilangan elan untuk mengemong rakyat.
Mungkin tepat sekali jikalau kata ”mafia” kini telah merasuki alam pikiran dan praksis kita. Ternyata pemegang kekuasaan di negeri ini bukan pemerintah, daulat juga bukan lagi milik rakyat. Kedua-duanya sudah dikuasai mafia.
Mafia adalah dunia bawah tanah yang gelap, sumpek, dan kurang waras.
Jika diibaratkan, mafioso tak lebih dari sekadar makhluk bernama ”Uruk-hai” di film The Lord of the Rings yang berasal dari bawah tanah yang gemar memangsa manusia biasa.
Jangan heran dalam kondisi berbahaya ini tokoh lintas agama turun tangan untuk mengambil alih peran memimpin bangsa. Mereka sama seperti mahasiswa pada 1998 yang menjadi the higher power yang menentukan apa yang akan terjadi ke depan.
Sudah tepat jika tokoh lintas agama mengintroduksi kata ”pengingkaran UUD 1945” yang dibalut erat dengan satu kata yang teramat penting: bohong. Kata itu benar adanya dan berkhasiat agar kita jangan terus saja meracau dan merana.
Kita sedang menjalani kisah tentang ”Dua Indonesia” karena elite yang memerintah (the ruling elite) telah menarik garis berseberangan dan nekat bertentangan dengan rakyatnya. Satu Indonesia yang bergelimang rekening-rekening miliaran rupiah versus satu Indonesia yang mau bekerja dan makan saja susah.
Satu Indonesia yang menutup telinga versus satu Indonesia yang berteriak nyaring menuntut hak-haknya. Satu Indonesia yang mempermainkan agama versus satu Indonesia yang merindukan kejayaan bendera dwiwarna.
Satu Indonesia yang bekerja mati-matian versus satu Indonesia yang enggan menyingsingkan lengan baju karena lebih doyan berwacana. Satu Indonesia yang sudah terlalu boros dengan tabungan politiknya versus satu Indonesia yang telanjur putus asa.
Sumber : Kompas.com
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar