Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Robohnya Atap Makam Istri Proklamator

DOK. KOMPAS/ISTIMEWA
Inggit Ganarsih
BANDUNG — Inggit Garnasih memang bukan satu-satunya istri Presiden Sukarno (Bung Karno tak sudi namanya ditulis sebagai Soekarno karena sangat Belanda).

Namun, Inggit berpengaruh besar bagi Sukarno sejak pemuda dari Blitar di Jawa Timur itu kuliah di Bandung dan indekos di rumah Inggit yang saat itu masih berstatus istri Haji Sanusi.

Inggit lantas menjanda, dan dinikahi Sukarno sebagai istri kedua. Istri pertamanya adalah Utari binti Haji Umar Said Cokroaminoto, bapak kos sekaligus guru politik Sukarno di Kampung Peneleh, Surabaya.

Lazim diketahui, Inggit Garnasih adalah perempuan tangguh yang mendampingi Sukarno pada masa-masa paling sulit dari kehidupan Sukarno selama 20 tahun.

Sebut saja sejak Sukarno dikurung di Penjara Banceuy, Sukamiskin, hingga bersedia mengikutinya ketika dibuang ke Pulau Ende, bahkan sampai Bengkulu.

Namun, justru di Bengkulu pula, Sukarno mulai gandrung kepada Fatmawati. Gadis putri tokoh Muhammadiyah lokal itu dinikahi Sukarno tahun 1943, tetapi kemudian menggugat cerai tahun 1954 karena Sukarno giliran jatuh hati pada janda bernama Hartini.

Lain Bengkulu, lain pula Bandung. Di Bengkulu, pemerintah setempat menaruh hormat pada Fatmawati dengan memuliakan namanya sebagai nama bandar udara.

Adapun di Bandung, orang ramai seolah sudah melupakan Inggit. Meninggal tahun 1984 atau 14 tahun setelah Sukarno meninggal, Inggit dimakamkam di Pemakaman Umum Porib, Caringin, Kota Bandung.

Makam di daerah Bandung Selatan ini tampak tidak layak bagi Inggit jika melihat jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa Indonesia.

Penutup makam nyaris roboh karena ada dua tiang yang sudah tidak berdiri tegak dan miring terlihat menahan beban. Bahkan tembok tiang sudah retak-retak.

Tak hanya itu, eternit penutup makam pun terlihat bocor. Air hujan menetes ke ruang makam. Properti makam seperti batu nisan, lantai makam, serta foto-foto Inggit dan Sukarno tampak lusuh termakan waktu. Begitu juga dengan warna cat tiang kayu mulai lusuh.

"Waduh, kalau tidak diperbaiki, ini pasti roboh. Tetapi, bagaimana mau memperbaiki, tidak ada yang menyumbang baik itu dari pemerintah maupun dari pribadi-pribadi," ungkap penjaga makam, Oneng Rohiman.

Oneng mengeluhkan kurangnya kepedulian dari masyarakat Indonesia, terkait makam Inggit Garnasih. Padahal kalau melihat jasa-jasanya, kata Oneng, sangat besar.

Dijelaskan Oneng, dalam hal pembayaran listrik saja, dirinya harus mengeluarkan secara pribadi sebesar Rp 50.000 per bulannya. Tidak pernah ada yang menyumbang apalagi digratiskan oleh pemerintah.

"Soal listrik harusnya digratiskan atau dibayar pemerintah kota. Namun, tidak apa-apa, saya masih bisa membayar karena saya tahu perjuangan Ibu Inggit," kata Oneng.

Oneng juga mengeluhkan para politikus nasionalis yang sering kali hanya memanfaatkan nama Inggit Garnasih untuk kepentingannya.

"Coba saja ketika zaman pemilihan legislatif, banyak yang kemari untuk berziarah dan diliput oleh wartawan. Tetapi, ketika mereka sudah jadi anggota dewan, apalagi yang Dewan di Jakarta, sekarang ini tidak terlihat," kata Oneng.

Dikatakan Oneng, dirinya juga sangat heran ketika banyak kepala daerah ataupun wakil kepala daerah yang berasal dari kalangan nasionalis sangat kurang peduli terhadap makam Bu Inggit. Padahal, bantuan yang dibutuhkan untuk keadaan makam tidak seberapa.

Oneng menceritakan, hanya ada dua kepala daerah yang menurutnya peduli pada makam Inggit Garnasih, yakni almarhum Ateng Wahyudi dan Nu'man Abdul Hakim.

Ateng Wahyudi saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung berhasil membangun kompleks makam. Saat itu, kata Oneng, Ateng menambahkan bangunan agar makam tertutup.

Adapun Nu'man Abdul Hakim saat menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat merenovasi kompleks makam. Bahkan, dia membangun fasilitas air wudu untuk para tamu yang akan menunaikan shalat di kompleks makam Inggit.

Disinggung mengenai jumlah penziarah, kata Oneng, masih belum menurun. Namun, yang ziarah ke makam Inggit banyaknya para pejuang dan anak-anak pejuang, baik itu dari Bandung, Jakarta, Bengkulu, Blitar, maupun Surabaya.

"Kalau momen politik banyak. Tetapi kalau hari-hari biasa, paling dua sampai tiga orang per minggu. Kalau keluarganya cukup sering," kata Oneng.

Oneng dan dua penjaga makam Inggit kini hanya berharap ada kepedulian dari masyarakat terhadap makam Inggit. "Ya, sekarang saya hanya ingin ada kepedulian," kata Oneng. (SOB)

Sumber; kompas.com

Tidak ada komentar