Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Kartini dalam Arus Perkembangan Telekomunikasi


KETIKA penemuan besar dalam teknologi komunikasi berupa telegraf ditemukan pada 1838, tanah Hindia Belanda pun berkesempatan mencicipi teknologi tersebut pada 1856. Kota yang mendapat kesempatan pertama merasakan teknologi tersebut adalah Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Di jalur kedua kota inilah dipasang saluran telegraf pertama dengan pohon randu sebagai tiang telegraf. Pekerjaan itu kelar pada 23 Oktober 1856 - nyaris 153 tahun yang lalu.

Sukses dengan jalur telegraf Batavia-Buitenzorg, dua tahun kemudian saluran baru pun dibuka antara Jakarta dan Surabaya dengan cabang di Semarang- Ambarawa. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I menyebutkan, pada tahun 1859 panjang saluran telegraf sudah mencapai 2.700 km dengan 28 kantor telegraf. Tiang-tiang telegraf pun dibangun di sepanjang rel kereta api.

Sementara itu, pada 1875 perusahaan swasta Belanda mulai memasang kawat telepon antara Tanjung Priok dan Gambir. Pada 16 Oktober 1884 jaringan telepon lokal itu resmi digunakan sedangkan Semarang dan Surabaya menyusul pada 1886.

Pemerintah Belanda menentukan konsensi kepada perusahaan swasta penyedia jasa telepon selama 25 tahun. Di tahun 1897 Intercommunaal Telefoon Maatschappij - sebuah perusahaan swasta - mendapat konsensi untuk menyediakan layanan telepon jarak jauh (interlokal). Jaringan telepon interlokal itu meliputi Batavia-Semarang (dimulai 16 November 1896), Batavia-Surabaya (7 Desember 1896), Batavia-Buitenzorg (17 Mei 1898), Buitenzorg--Soekaboemi (12 Juni 1898), dan Bandoeng-Soekaboemi (15 Juli 1898).

Dari sebuah data tentang perkembangan jaringan telepon di Hindia Belanda terlihat, memasuki abad 20 jalur telepon mulai terpasang di jalur Batavia, Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Selain itu juga di jalur Semarang dan Surakarta.

Begitu bersemangatnya warga Hindia Belanda pada teknologi yang memudahkan komunikasi, sampai-sampai Kartini si "Habis Gelap Terbitlah Terang" menulis demikian, "Hindia Timur - sekurang-kurangnya begitulah tampaknya - sedang mau menjadi bagian dari dunia modern. Sebagaimana telah kita lihat ada banyak benda modern di Hindia Belanda pada waktu itu, dan juga, sudah setengah abad berpengalaman dalam komunikasi dengan kabel."

Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land mencatat, "pada pergantian abad ketika Kartini menulis suratnya, setengah juta panggilan jarak jauh telah dilakukan setiap tahun di seluruh Jawa." Di tahun 1900, antara lain, sudah ada 925 pelanggan telepon di Batavia, 371 di Semarang, 568 di Surabaya, 123 di Yogyakarta, dan 43 di kota kelahiran Kartini, Jepara.

Kartini, lahir pada 1879 dan putri seorang bupati di Jawa, Jepara, beberapa kali menyebutkan kabel dan telepon dalam surat-surat kepada teman-temannya. Kartini, yang lahir tak lama sebelum peresmian jalur telepon pertama Tangjung Priok - Gambir, menyebutkan teknologi komunikasi itu sebagai ungkapan rasa senang. Seperti kepada Henri van Kol, rekannya yang juga anggota perlemen Belanda, "rasanya seolah-olah ada kabel telepon tak terlihat antara sini dengan Lali Djiwa dan kembali lagi." "Sini" dalam di sini, maksudnya adalah istana ayahnya dan Lali Djiwa adalah rumah van Kol di Prinsenhage, Belanda (rumah van Kol setelah selesai bertugas di Hindia Belanda).

Kini, lebih dari seabad kemudian - jika saja Kartini bisa menikmati - rasanya ia tak akan mampu melepaskan diri dari laptop atau PC -nya. Kecintaan dan rasa kangen pada sahabat-sahabatnya di Belanda bisa segera ia tuliskan dalam sebentuk surat elektronik yang tak perlu waktu lama untuk tiba di alamat si penerima. Surat-suratnya dalam Door Duisternis Tot Licht - Habis Gelap Terbitlah Terang - juga tak perlu lama menanti untuk diterbitkan.

*Kompas.com

4 komentar

cerita para blogger mengatakan...

ada kebaikan yang di tinggalkan kartini
namun, ada juga sisi gelap yang tertinggal (pendapat saya aja lo...)
dengan emansipasi yang di kobarkan kartini, kini banyak anak-anak yang nggak begitu terurus karena emansipasi wanita yang bekerja keluar rumah.
pagi ketika dia berangkat kerja, anak-anak belum bangun,ketika dia pulang kerja anak-anaknya sudah pada tidur.
salah siapa itu ??

secangkir teh dan sekerat roti mengatakan...

salam hangat!

opiniherry mengatakan...

@ cerita para blogger: gak ada yg salah dgn emansipasi. Yang salah itu westernisasi & kapitalisme.

"pagi ketika dia berangkat kerja, anak-anak belum bangun,ketika dia pulang kerja anak-anaknya sudah pada tidur" ===> Ini karena negara tidak lagi mampu (dan mau) menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. Hidup serba susah. Semua serba mahal. Sandang, pangan, papan & pendidikan jadi sulit dijangkau. Sehingga bukan cuma laki-laki, perempuanpun harus ikut membanting tulang demi keluarga. Walau hasilnya masih juga pas-pasan.

Coba bayangkan jika kekayaan alam yg sekarang banyak dikuasai asing bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Coba bayangkan jika korupsi tidak merajalela seperti sekarang.
Niscaya BBM murah, sembako murah & pendidikan bisa gratis beneran (bukan gratis yg sekarang lho)

Jika tuntutan hidup berkurang, para perempuan bisa lebih fokus di dalam keluarga. Tapi jangan diartikan sebagai domestifikasi perempuan yaaa...

Solusinya, sistem kerakyatan yang berdasarkan akar budaya sendiri. Bukan kapitalisme & budaya western centris...

Salam...

opiniherry mengatakan...

@ secangkir teh & sekerat roti: Salam hangat juga...terima kasih sudah berkunjung...