Think before you speak. Read before you think

Breaking News

SIKLUS POLITIK REPUBLIK INDONESIA: AKANKAH SEJARAH TERULANG?

Oleh: Samodra Wibawa
swibawa@gmx.de

Dosen Fisipol UGM, mahasiswa S-3 bidang administrasi negara di Speyer, Jerman.
22 Juni 2001

Tidak dipungkiri bahwa situasi demokratis yang kita nikmati sejak Mei 1998 terasa terlalu cepat datangnya bak banjir yang tidak terduga-duga. Terlalu cepat, karena demokrasi itu terbuka justeru ketika ekonomi kita ambruk. Dengan perut lapar, kebebasan menjadi lahan yang subur bagi mereka yang kuat untuk menggilas mereka yang lemah. Apalagi jika kebebasan itu menggelinding tanpa rambu-rambu, ditambah dengan lumpuhnya petugas penjaga rambu-rambu tersebut. Bagi mereka yang kalah di dalam kebebasan itu, sepertinya tidak ada jalan lain untuk menjaga periuknya selain bertindak kriminal. Kalau tidak, mereka akan bersikap anarkhis: merusak barang-barang publik. Hilang rasa tanggungjawab, tidak takut pada konsekuensi hukumnya yang memang tidak bisa ditegakkan.
*
Situasi anarkhis yang dihasilkan oleh sistem politik demokratis itulah yang dulu juga
dikhawatirkan oleh sebagian pendiri RI. Pada sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjelang Agustus 1945 berlangsung perdebatan hangat tentang sistem politik. Perdebatan ini menghasilkan dua kubu, yakni kubu yang pro demokrasi kekeluargaan dan kubu pro demokrasi liberal (nama tidak perlu disebut di sini, kita hanya membahas ide).

Kubu demokrasi liberal menghendaki berlangsungnya kehidupan politik yang bebas, dimana setiap individu memiliki hak dan dilindungi haknya untuk mengekspresikan pendapat dan berkumpul --termasuk mendirikan organisasi atau partai (ini merupakan bagian dari hak asasi manusia). Selain itu pada level negara harus diciptakan suatu sistem sedemikian rupa, sehingga kekuasaan tidak terkumpul di satu tangan melainkan tersebar ke beberapa instansi dan masing-masing dapat mengontrol yang lain (pembagian atau penyebaran kekuasaan, trias politika --legislatif, eksekutif, judikatif).

Gagasan seperti ini oleh kubu penentangnya dianggap dapat mengarah ke liberalisme, dimana yang kuat mencaplok yang lemah. Lebih dari itu gagasan tersebut selain dinilai cocok dengan kapitalisme yang telah menghasilkan imperialisme (yang kita tentang mati-matian) juga dianggap berasal dari Amerika, yang notabene musuh Jepang (di bawah perlindungan merekalah PPKI bersidang). Menerima demokrasi liberal, oleh karena itu, berarti mengesahkan imperialisme di satu pihak dan akan terkesan tidak bersahabat dengan pemerintah Jepang di pihak lain. Karena alasan psikologis-historis dan politis-taktis inilah para anggota PPKI berkompromi merumuskan suatu sistem politik yang disebut sebagai demokrasi dengan semangat kekeluargaan.

Mengikuti sidang PPKI pada tahun 1945 itu,(1) penulis menilai bahwa ide demokrasi
kekeluargaan sebenarnya bukanlah penolakan terhadap ide demokrasi liberal(sebagaimana
dia dibayangkan), melainkan penambahan atasnya untuk menutup kekurangan dari demokrasi liberal itu. Demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi (liberal) yang tidak menjurus pada penguasaan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Demokrasi kekeluargaan adalah kebebasan minus ketimpangan sosial, kebebasan plus keadilan, liberalisme plus perlindungan terhadap yang tidak berkesempatan.

Rumusan "akhir" dari kompromi ini tercermin dalam UUD dalam pasal-pasalnya tentang
struktur negara dan sistem ekonomi. (Kata "akhir" harus diberi tanda petik, karena para peserta sidang PPKI berpendapat bahwa UUD yang disusun di tengah berkecamuknya Perang Dunia II itu bersifat sementara saja dan akan disempurnakan jika keadaan normal.) Negara tidak disusun dengan prinsip trias politika "murni" melainkan plus "stabilitas" dan, dibandingkan struktur negara lain di dunia, relatif aneh atau complicated. Secara formal gagasan ini terwujud setidaknya dalam tiga hal. Pertama, presiden adalah kepala pemerintahan (eksekutif) sekaligus kepala negara (seperti raja dalam sistem monarkhie, misalnya Inggris, atau seperti presiden dalam sistem republik parlementer, misalnya Jerman).

Sebagai kepala negara, presiden berada di atas semua instansi kekuasaan. Dan karena posisi ini dirangkap oleh eksekutif, maka presiden selaku eksekutif mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dan bahkan nyaris tak dapat dikonrol oleh legislatif maupun judikatif. Presiden bahkan adalah orang yang mengangkat pejabat judikatif --instansi yang harus mengontrolnya.

Ke-dua, DPR sebagai legislatif hanya bisa "menasihati" presiden, tetapi tidak bisa
menjatuhkannya. Fungsi pengontrolan (dan konsekuensinya pemberian sangsi) dilakukan oleh MPR, yang berisi anggota DPR plus wakil-wakil berbagai golongan masyarakat.

Ke-tiga, fungsi legislatif tidak dijalankan oleh DPR sendirian, melainkan bersama-sama dengan presiden (dalam kapasitanya sebagai kepala negara?).

Jadi tiga fungsi terkumpul di tangan presiden sekaligus: kepala negara (ibarat raja), kepala pemerintahan (eksekutif) dan pembuat undang-undang (legislatif). Ketentuan formal seperti ini secara praktis akan menghasilkan sistem politik yang sangat didominasi oleh presiden. Akibatnya memang dapat positif: terciptanya stabilitas politik, sehingga pemerintah (eksekutif) dapat menjalankan undang-undang yang disusun olehnya sendiri bersama-sama dengan DPR dengan tenang dan nyaman. Demokrasi kekeluargaan dibayangkan dapat menciptakan langgam hidup yang tenang dan memuaskan semua pihak, di mana negara dikelola secara bijaksana oleh seorang "bapak" yang baik hati, adil dan penuh pengertian terhadap nasib "anak-anak"nya. (Mungkin terpengaruh oleh bangun-pikiran semacam ini, Megawati dulu ketika berpidato setelah pemilu 1999 menyebut dirinya "ibu" dan massa PDIP "anak-anak".) Dengan itu diharapkan tidak terjadi cakar-cakaran di antara berbagai organisasi politik dalam memperebutkan kekuasaan negara. (Bahkan perebutan itu sendiri tidak akan terjadi, karena pembagian dan pengalihan kekuasaan berlangsung secara adil dan diterima
semua pihak.) Bayangan yang sangat optimistis seperti ini melekat erat dalam benak kubu pro demokrasi kekeluargaan. Bahkan, untuk lebih menjamin kestabilan politik, dikemukakan gagasan untuk menyatukan seluruh kekuatan politik ke dalam apa yang disebut staatspartij (partai negara).

Ide kekeluargaan itu pada akhirnya memang terserap dalam UUD yang disahkan oleh PPKI
sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945. Namun euphorie kemerdekaan yang gegapgempita pada waktu itu menolak dengan sendirinya gagasan tersebut. Staatspartij hanya berumur beberapa hari. Komite Nasional Indonesia (KNI) memegang fungsi legislatif dan eksekutif sekaligus, presiden "hanya" menjadi hiasan sebagai ketua sidang. Ini tidak saja berlangsung di level negara melainkan juga di level propinsi dan kabupaten, dimana KNID menjadi pemerintah, berada gubernur dan bupati. Partai politik hidup dengan bebas, sistem pemerintahan bersifat parlementer dan bukannya presidensiil. Pendeknya, demokrasi liberal tampil secara nyata dalam praktik politik, dia mengalahkan keinginan kubu demokrasi kekeluargaan. Ini artinya: sejak hari pertama disahkan, UUD telah "dilanggar" oleh para pembuatnya sendiri. (Penyebutan ini tentu mengagetkan banyak pembaca, karena selama ini penilaian seperti ini nyaris tidak pernah dinyatakan secara terbuka kepada publik.) Namun demokrasi liberal memang menghasilkan dampak sebagaimana yang dikhawatirkan oleh kubu demokrasi kekeluargaan, yakni pemerintahan yang tidak stabil alias sering
berganti. Akibatnya ketika program belum berjalan sepenuhnya, pemerintah yang baru sudah naik panggung. Runyamnya, suasana seperti itu ditambah dengan buruknya ekonomi akibat perang. Ketika perusahaan-perusahaan Hindia Belanda yang hampir semuanya berorientasi ekspor diambilalih oleh negara ("dinasionalisasikan"), pemerintah tidak mampu mempertahankan jaringan bisnis internasionalnya sehingga bangkrut. Terpaksalah pemerintah melakukan rasionalisasi (pengetatan anggaran), termasuk di antaranya reorganisasi militer yang berdampak meletusnya pemberontakan di beberapa tempat. Rupanya demokrasi di tengah kemiskinan adalah tidak cocok. Gampangnya: karena tidak ada yang dibagi, maka demokrasi terwujud sebagai rebutan sumberdaya (ekonomi dan lalu politik) secara keras dan bahkan fisik. Demokrasi telah menghasilkan anarkhie.
*
Dalam situasi seperti itulah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada bulan Juli 1959, didukung oleh militer dan pastilah juga oleh rakyat yang kekurangan. DPR yang sedang "menyempurnakan" UUD dan dianggap terlalu ribut dibubarkan, UUD 1945 diberlakukan kembali. Mereka berharap bahwa dengan menerapkan sistem kenegaraan seperti disebut dalam UUD 1945 itu situasi politik akan tenang, pemerintah dapat leluasa bekerja mensejahterakan rakyat. Jadilah presiden sebagai figur sentral dalam kehidupan negara, dan ini diteruskan secara sempurna oleh penggantinya (lebih tepat: penerusnya), Soeharto atau Orde Baru. Demokrasi liberal telah "kalah", digantikan demokrasi kekeluargaan.

Ketika selama 1959-65 demokrasi kekeluargaan diterjemahkan sebagai "demokrasi terpimpin", dia diterjemahkan sebagai "demokrasi yang bertanggungjawab" selama 1966-
1998. Per istilah, demokrasi terpimpin mengesankan bahwa rakyat masih bodoh, berbuat
semaunya sendiri, sehingga perlu diarahkan dan dibimbing; sedangkan demokrasi yang
bertanggungjawab mengandaikan bahwa rakyat hendaklah tahu diri tentang apa yang
sewajarnya dan tidak sewajarnya dalam mengejar tujuan mereka. Sekalipun berbeda dalam
kesan, pada praktiknya dia menampilkan sesuatu yang sama: pemerintah (presiden)
menentukan apa yang harus, yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh rakyat.

Kebebasan mengemukakan pendapat (pers, media massa) dan berkumpul (berorganisasi dan berpartai)tidak dijamin. Demokrasi kekeluargaan akhirnya terwujud sebagai tirani, otokrasi atau dictatorship. Berbeda dengan masa 1950-an, dimana demokrasi liberal berlangsung dalam kemiskinan di satu pihak dan dalam tahap awal kemerdekaan sehingga kelompok-kelompok politik yang begitu banyak belum sempat mengkristal di pihak lain (yang berakibat sistem politik tidak mampu membentuk pemerintah yang kuat), masa demokrasi kekeluargaan 1970-an hingga 1990-an ditandai dengan ekonomi yang "makmur" karena kita kebanjiran investasi (dan utang) asing plus rejeki minyak. Demokrasi kekeluargaan terkesan berhasil membuktikan bahwa dirinya "benar" dan telah membawa Indonesia ke kemakmuran (kita dijuluki sebagai salah satu "macan Asia".) Namun orang lupa (setidaknya hingga pertengahan 1998)mempersoalkan, kenapa demokrasi kekeluargaan pada 1959-65 tidak menghasilkan kemakmuran yang sama. Orang lupa bahwa kemakmuran yang disuguhkan oleh Orba merupakan akibat dari garis politiknya yang pro Amerika (kapitalis-liberalis), sementara Soekarno pro China-Soviet (komunis-sosialis) dengan kecenderungan menutup diri ("berdikari").

Jika dengan sistem politik yang sama tidak dihasilkan kualitas ekonomi yang sama pula, maka secara metodologis dapat dikatakan bahwa sistem politik tidak berpengaruh terhadap kualitas ekonomi. Dalam hal ini tesis sebagian peserta sidang PPKI dahulu, bahwa dalam penyelenggaraan negara bukan sistem atau hukum atau aturannya yang penting, melainkan semangat atau sikap dari para penyelenggara negara, adalah benar. Jadi, bukan demokrasi kekeluargaanlah yang membawa Indonesia ke kesejahteraan (yang ternyata penuh utang), melainkan keterkaitannya dengan sistem ekonomi global. Bahkan sistem ekonomi Orba dinilai sebagai sistem ekonomi kapitalis-liberal, tapi plus kong-kalingkong dan minus rambu-rambu yang mencegah monopoli. Artinya, ketika di satu pihak pemerintah mengklaim dirinya mempraktikan demokrasi kekeluargaan "secara murni dan konsekuen" pada aras politik, di pihak lain dia menerapkan demokrasi liberal pada aras ekonomi secara sangat liberal, sehingga mereka yang kuat tidak saja menguasai ekonomi melainkan bahkan menguasai negara itu sendiri dan seterusnya menjadikannya sebagai alat untuk mengeduk keuntungan ekonomis secara tak terbatas.
Dalam praktik demokrasi kekeluargaan selama Orba tersebut (yang ide-idenya justru
ditransfer dari Orla yang selalu dikecamnya) kita dapat menemukan paradoks sebagai berikut:

Diandaikan bahwa demokrasi liberal akan menghasilkan instabilitas dan ini bukan suasana yang kondusif untuk pembangunan (baca: aktivitas pemerintah untuk mensejahterakan rakyat). Oleh karena itu demokrasi harus dikendalikan: pers dan perkumpulan diawasi. Ini terwujud dengan: pembreidelan media massa yang menentang kebijakan pemerintah, penyingkiran mereka yang oposan, penyederhanaan partai partai politik (dari puluhan menjadi sepuluh, lalu tiga buah), dan pengontrolan organisasi-organisasi massa secara sangat ketat (menghasilkan apa yang disebut korporatisme negara).

Didukung oleh militer yang solid, kebijakan ini memang menghasilkan politik yang luar biasa tenangnya. Pemerintah dapat melancarkan berbagai program pembangunan secara "sukses", dari TRI (tebu rakyat intensifikasi), KB (keluarga berencana) hingga pembangunan waduk, dari imunisasi, transmigrasi hingga "loncatan katak" membuat pesawat terbang. Tetapi stabilitas yang tidak membuka pintu kontrol bagi pemerintah itu menghasilkan birokrasi yang korup, nepotis dan bahkan menindas rakyat. Akibatnya tujuan-tujuan pembangunan menjadi terselewengkan. Praktik pembangunan dikritik sebagai terlalu bias kepada yang kaya daripada yang miskin, ke pengusaha besar daripada kecil, ke wilayah kota daripada desa, ke Jawa daripada luar Jawa, dst. Pendeknya: stabilitas politik yang dibayangkan akan menjamin efektivitas kerja birokrasi pemerintah pada gilirannya ternyata mendorong birokrasi untuk
korupsi, sehingga terjadi bias pembangunan. Akibatnya adalah nyata: setelah satu "jangka panjang" (25 tahun) pembangunan dan dipuji oleh Bank Dunia sebagai negara sukses, kita masih memiliki banyak desa miskin (lihat program IDT --Inpres Desa Tertinggal-- yang terkenal itu) dan sejak awal 1990-an telah terjadi banyak protes massa karena kesewenang-wenangan mesin birokrasi pemerintah.
*
Sekarang demokrasi kekeluargan yang menjurus ke kediktatoran itu telah kita koreksi. Kita kembali mempraktikkan sistem demokrasi liberal seperti tahun 1950-an, dimana kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin oleh negara. Berbeda dengan 1950-an yang menerapkan sistem parlementer, demokrasi liberal kita saat ini menerapkan sistem presidensial sesuai dengan UUD 1945. Artinya: dengan UUD yang sama dapat tercipta dua kondisi riil yang berbeda (Orla dan Orba demokrasi kekeluargaan, "Orde Reformasi" dengan demokrasi liberal)! Ini membuktikan sekali lagi kebenaran tesis para pendiri RI: yang penting adalah semangat penyelenggaraan, bukan undang-undangnya.

Sayangnya demokrasi liberal kita saat ini berlangsung di atas kualitas ekonomi yang mirip dengan 1950-an: terpuruk, kacau tidak menentu. Apakah "logika sejarah" akan terwujud lagi: kebebasan politik akan menghasilkan suasana anarkhis, akan disusul dekrit dan berakhir dengan duduknya seorang diktator yang diharapkan dapat meredakan suasana politik, lalu birokrasinya aktif memproduksi kesejahteraan tetapi kemudian korup dan pemerintah diktator itu akan terdongkel? Lalu demorkasi liberal lagi -- anarkhi lagi -- diktator lagi -- korup lagi -- didongkel lagi -- liberal lagi -- dst.? Tidak bisakah kita menciptakan suatu tatanan yang demokratis, tetapi kemudian kita menjaganya secara "beradab" dan berkelanjutan, untuk membawa masyarakat kita ke perkembangan-maju yang tak akan pernah jatuh lagi? Tidak bisakah kita menghindar dari jatuh ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya? (Kepada siapa pertanyaan ini ditujukan?)


(1) Notulennya dapat dilihat dalam Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia [PPKI], edisi ke-2, cet. 4, Jakarta 1993.

Tidak ada komentar