Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Masih ingat Marsinah...?

Dua orang kerabatnya sedang berdoa di makam Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur. (Foto: Samsul Hadi/detik.com)

Tak terasa 16 tahun sudah berlalu sejak Marsinah ditemukan tewas di sebuah gubuk di pinggir sawah di Desa Jegong, Nganjuk, Jawa Timur, 8 Mei 1993. Selama itu juga keluarga Marsinah menunggu jawaban, "Siapakah sebenarnya yang membunuh Marsinah?."
Enam belas tahun telah lewat. Mungkin banyak dari kita yang sudah melupakannya. Kita memang dikenal punya penyakit lupa massal. Atau mungkin sekarang soal ini sudah tidak lagi dianggap penting. Mungkin saat ini lebih penting menjawab, "Mana yang lebih baik diantara yang terburuk?"

Tapi tidak dengan para keluarga Marsinah. Begitu pula mestinya kita yang mengaku peduli pada keadilan dan kemanusiaan. Tak peduli apakah anda seorang Pancasilais, komunis, neolib, fasis, sekularis, khilafers, utopis atau apapun...

Refresh

Marsinah adalah salah seorang buruh PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam menggalang aksi unjuk rasa buruh di tempatnya bekerja. Bersama buruh PT. CPS lainnya Marsinah berunjuk rasa pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993 untuk menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Dasar dari tuntutan itu adalah surat edaran Gubernur KDH TK I Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Dalam kedua aksi unjuk rasa tersebut Marsinah antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah juga adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang dipanggil pihak Kodim terkait aksi unjuk rasa mereka.

Keberadaan Marsinah mulai diketahui hilang sejak sekitar pukul 10 malam. Tiga hari berikutnya, 8 Mei 1993, barulah Mayat Marsinah ditemukan dalam keadaan penuh tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah mati karena tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Selaput daranya robek dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Sekitar dua liter darah keluar dari tubuhnya yang disiksa dan dijarah. Marsinah, diduga keras dibunuh di Markas Kodim Surabaya, Jawa Timur, oleh aparat militer. Sebelum kemudian dibuang di Desa Jegong, Nganjuk.

Hingga kini belum ada satupun pelaku yang dihukum atas kasus pembunuhan keji dan biadab ini. Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim yang dibentuk untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Terkait penangkapan ini, pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Terbukti, walau sempat dijatuhi vonis bersalah di tingkat pengadilan negeri, para tersangka kemudian dibebaskan oleh Mahkamah agung di tingkat kasasi.

Salah satu tersangka adalah Suwono. Satpam PT CPS ini bekas anggota Korps Marinir, pasukan elite TNI Angkatan Laut. Ia yang paling berat menerima siksaan. Seorang petugas berseragam hijau dari Den Intel Kodam V/Brawijaya berteriak-teriak, seolah-olah senang menemukan Suwono, "Ini yang dari Marinir, ini yang dari Marinir!" Suwono lalu dijebloskan ke sebuah ruangan, di sana ia jadi bulan-bulanan sekitar sepuluh anggota Den Intel Kodam V/Brawijaya. Setiap jawaban yang tidak memuaskan para petugas dari kesatuan TNI Angkatan Darat itu, Suwono menerima pukulan yang makin lama makin keras.

Suwono selama diculik di Den Intel hanya boleh tidur dengan celana dalam, tanpa alas tidur, selalu diganggu saat tidur dengan lemparan kaleng dan dikencingi petugas. Seringkali ia disuruh berdiri, mengangkat sebelah kakinya sekian lama hingga ada perintah untuk selesai. Suwono juga ditelanjangi dan disetrum dan ditendang kelaminnya. Suwono tak tahan setruman, mulutnya juga disumpal petugas dengan celana dalamnya sendiri Petugas yang menyetrum dan memukul Suwono, sebagian ia kenali sebagai SKM, WAR dari Bakorstranasda Jatim dan SLM dari Polda Jatim.

Enam belas tahun berlalu dan para pelaku masih berkeliaran bebas. Kasus Marsinah bukannya tidak berusaha diungkap. Tahun 1994, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM). KASUM adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KASUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KASUM melakukan berbagai aktifitas untuk mendorong perubahan and menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam V/Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap Marsinah.

Komnas HAM juga sejak tahun 1994 telah membentuk Tim Pencari Fakta yang terdiri dari Ali Said, SH, Marzuki Darusman,SH, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Drs. Bambang W. Soeharto, Prof. Dr. Muladi, SH, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Prof. Dr. Soetandyo Wignyosoebroto, MPA, Clementino Dos Reis Amaral, H.R. Djoko Soegianto, SH dan Soegiri, SH.

Bahkan tak kurang ILO (Organisasi Buruh Internasional) telah mencatat kasus Marsinah ini dan mengenalnya sebagai kasus 1713. Namun tetap saja pelaku pembunuh berikut dalangnya belum dapat ganjaran hukum semestinya. Entah sampai kapan Mbah Puirah (91), nenek yang membesarkan Marsinah, harus menunggu keadilan itu datang.

Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tetapi kita tahu mengapa ia dibunuh...

Tidak ada komentar