Kapitalisme dan Penindasan Terhadap Perempuan : Kembali ke Marx - Martha A. Gimenez
Kapitalisme dan Penindasan Terhadap Perempuan : Kembali ke Marx
Martha A. Gimenez
APAKAH kajian feminisme di abad Milenium masih memeluk, menoleh atau sekadar melirik pada teori Marxis? Kajian feminisme di abad Milenium cenderung untuk membaca-ulang kanon (teori besar, metanaratif) masa lalu dengan pisau analisis interseksionalitas. Apa yang dimaksud interseksionalitas berangkat dari asumsi bahwa segala sesuatu berinterseksi dengan berbagai macam hal: contohnya konsep mengenai “perempuan” dan “laki-laki” merupakan interseksi dari seks, keetnisan, ras, kelas, gender, kenasionalan, keruangan (spaciality), waktu, bahasa, wacana, budaya, dan banyak macam lainnya. Konsep “perempuan” dan “laki-laki” pun dapat merupakan kategori sosiologis, ekonomis, politis maupun episteme, dan bahkan sebagai diskursus yang tercipta dalam ujaran maupun teks. Analisis interseksional itu tumbuh dalam era pascastrukturalis dan pasca modernis yang dewasa ini membangkitkan pembacaan-ulang para feminis terhadap kanon masa lalu dari posisi kontemporer.
Teori Marx sebagai kanon dalam genre filsafat modern tak luput dari pem- bacaan-ulang para feminis terutama sejak dekade 1970an-- ketika para feminis mencari penjelasan atas ketertindasan perempuan (pada awal abad 20 disebut women’s question). Pengguna teori Marx pada era 1970an dan awal dekade 1980an cukup meluas tak hanya dari kalangan feminis sosialis dan Marxis, melainkan juga dari feminisme radikal. Stevi Jackson1 mencatat, sejak gerakan perempuan muncul dalam perkembangan ge- rakan kiri radikal di sekitar masa itu, ada banyak feminis yang menoleh atau setidaknya bersimpati—dengan teori Marx dan Marxisme. Daya tarik Marxisme yang utama karena menawarkan analisa mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat serta tentang teori perubahan sosial (revolusi) yang menjanjikan kesetaraan. Karena itu, para feminis memperoleh landasan teoritisnya bahwa ketertindasan perempuan mempunyai asal-usul sosial, dan bukan sesuatu yang alamiah, pun bukan merupakan hubungan yang kebetulan antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, menurut Jackson, teori Marxis tidak mudah dalam mengakomodasi feminisme, sebab teori Marxis dikembangkan untuk menjelaskan relasi kelas dalam masyarakat kapitalis –terkhusus pada struktur basis yang berhubungan dengan relasi produksi yang mengeksploitasi tenaga buruh.
Teori Marx sebagai kanon dalam genre filsafat modern tak luput dari pembacaan-ulang para feminis –terutama sejak dekade 1970an-- ketika para feminis mencari penjelasan atas ketertindasan perempuan (pada awal abad 20 disebut women’s question). Pengguna teori Marx pada era 1970an dan awal dekade 1980an cukup meluas tak hanya dari kalangan feminis sosialis dan Marxis, melainkan juga dari feminisme radikal. Stevi Jackson1 mencatat, sejak gerakan perempuan muncul dalam perkembangan gerakan kiri radikal di sekitar masa itu, ada banyak feminis yang menoleh–atau setidaknya bersimpati—dengan teori Marx dan Marxisme.
Daya tarik Marxisme yang utama karena menawarkan analisa mengenai pe-nindasan sebagai sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat serta tentang teori perubahan sosial (revolusi) yang menjanjikan kesetaraan. Karena itu, para feminis memperoleh landasan teoritisnya bahwa ketertindasan perempuan mempunyai asal-usul sosial, dan bukan sesuatu yang alamiah, pun bukan merupakan hubungan yang kebetulan antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, menurut Jackson, teori Marxis tidak mudah dalam mengakomodasi feminisme, sebab teori Marxis dikembangkan untuk menjelaskan relasi kelas dalam masyarakat kapitalis terkhusus pada struktur basis yang berhubungan dengan relasi produksi yang mengeksploitasi tenaga buruh.
Tidak ada komentar
Posting Komentar