Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Sukarno Kecil “Mabok Bima”

Penulis biografi pertama Bung Karno yang terbit tahun 1933, Im Yang Tjoe, dalam bukunya “Soekarno Sebagi Manusia”, benar-benar berusaha keras merekonstruksi masa kecil Bung Karno. Meski tidak menyebut tonggak-tonggak waktu, tanggal, bulan, tahun, tetapi bagi pembaca, kiranya tidak terlalu menyulitkan.

Seperti misalnya, ketika Im Yang Tjoe menulis ihwal kakeknya, Raden Hardjodikromo yang menyekolahkan Sukarno saat usia 6 tahun, spontan kita bisa mahfum, bahwa peristiwa itu terjadi tahun 1907, mengingat Bung Karno lahir tahun 1901. Adalah sekolah desa di Tulungagung, tempat Sukarno kecil untuk pertama kali “memakan-bangku-sekolah”.

Im Yang Tjoe melukiskan hari-hari pertama sebagai murid, Sukarno adalah murid yang bodoh lagi bengal. Apa soal? Soal sebenarnya, menurut hemat penulis, bukan karena otak Sukarno tidak encer. Lebih karena Sukarno lagi “mabok-bima”…. Ya, hari-hari bersama Wagiman, selalu diisi kisah-kisah heroik tokoh Bima dalam epos Mahabharata.

Siapa Wagiman? Wagiman adalah seorang perangkat desa yang miskin harta tetapi kaya hati. Ia menjadi sahabat Sukarno kecil. Pulang sekolah, Sukarno akan mencari Wagiman. Kalau tidak dijumpainya di rumah, Sukarno akan menyusulnya ke sawah. Jika keduanya sudah bertemu, obrolan mereka umumnya wayang. Dari sekian banyak tokoh wayang, Sukarno paling tertarik dengan tokoh Bima, sang penegak Pandawa.

Meski begitu, sesekali, Sukarno melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang “terlalu-tua” untuk bocah seusianya. Misalnya, pertanyaan, “Mengapa engkau begitu miskin?” Dengan penuturan versi Wagiman, Sukarno kemudian bisa merekonsruksinya menjadi sebuah pelajaran berharga tentang betapa penjajahan tak lebih dari pemelaratan rakyat.

Tentu saja, topik-topik filosofi wayang, ilmu politik, ilmu tata-negara, tidak didapatnya di bangku sekolah desa tempat ia bersekolah. Bukan karena cabang-cabang ilmu tidak ada, melainkan, materi itu memang bukan materi pelajaran bagi siswa sekolah dasar tingkat dewa. Di negeri jajahan pula. Terhadap murid-murid inlander pula. Bisa jadi, ini yang membuat Sukarno menjadi murid yang malas untuk menyimak pelajaran di sekolah. Ia lebih senang menggambar wayang, sambil imajinasinya mengembara kemana-mana.

Mungkin saja, ia sedang berimajinasi menjadi seorang Bima yang kemudian dengan gagah-berani menghapus keangkara-murkaan di atas bumi. Mungkin saja ia sedang membayangkan menjelma menjadi Bima, kemudian memakmurkan orang-orang miskin di negaranya. Bisa jadi, ia sedang berkhayal menjadi seorang Bima menjadi panglima bagi tegaknya kebenaran dan keadilan di jagat-raya. Ah, entahlah.

Yang pasti, ketika guru menyuruh murid-murid menirukan gerakan menulis huruf demi huruf, Sukarno malah menggambar profil wayang Bima yang gagah, dengan gelung sinupiturang, lengkap dengan kuku pancanakanya. Ya, Sukarno bukannya memperhatikan pelajaran guru, melainkan menggambar wayang Bima! 
(roso daras)
Sumber: rosodaras

Tidak ada komentar