Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Al-Mu’tamid: Terpecah-Belahnya Khilafah Abbasiyah

[ilustrasi] Perang Abbasiyah
Peperangan antara pasukan Dinasti Abbasiyah dengan kaum Zanj ini sangat tragis dan brutal. Dikabarkan total, menurut as-Shuli, ada sekitar 1,5 juta pasukan Muslim yang terbunuh selama pertempuran. 

Militer Turki menurunkan dan menaikkan khalifah semaunya mereka. Toh, sejelek-jeleknya mereka, mereka sendiri tidak berniat menumbangkan Dinasti Abbasiyah dan menggantinya dengan salah satu dari mereka. Namun, kondisi ini berbeda dengan sejumlah penguasa derah yang malah melepaskan diri dari kontrol pemerintahan pusat. Pada periode inilah Dinasti Abbasiyah mulai terpecah-belah menjadi sejumlah dinasti kecil. Kita simak bersama kelanjutan kisahnya.

Setelah menurunkan dan membunuh Khalifah al-Muhtadi, militer Turki mencari khalifah baru yang masih keluarga Abbasiyah.  Mereka mendatangi Abil Abbas Ahmad bin al-Mutawakkil yang tengah berada di dalam penjara. Dia dikenal dengan sebutan Ibn Fityan karena ibunya bernama Fityan.

Dikeluarkanlah Abul Abbas Ahmad dan kemudian diangkat menjadi Khalifah kelima belas Dinasti Abbasiyah pada 19 Juni 870 Masehi. Beliau adalah putra Al-Mutawakkil, Khalifah kesepuluh. Al-Mu’tamid ‘ala Allah adalah gelar yang beliau pilih. Sesaat setelah menjadi Khalifah, beliau membebaskan pula dari penjara saudaranya yang bernama Abu Ahmad Thalhah bin al-Mutawakkil.

Telah saya singgung sebelumnya bahwa di masa Khalifah al-Mu’tazz, Abu Ahmad Thalhah dimasukkan ke penjara setelah sebelumnya menjadi panglima pasukan yang mendukung al-Mu’tazz melawan pamannya, Khalifah al-Musta’in. Namun al-Mu’tazz khawatir dengan popularitas Abu Ahmad dan karena itu memasukkannya ke penjara tanpa ada kesalahan apa pun.

Di masa al-Mu’tamid, Abu Ahmad memiliki peranan yang luar biasa. Digelari dengan al-Muwaffaq, Abu Ahmad ini merupakan the real khalifah, sementara al-Mu’tamid hanya simbol belaka. Ini karena ketidakcakapan al-Mu’tamid. Imam Suyuthi mendeskripsikan al-Mu’tamid sebagai sosok yang gemar berfoya-foya. Tidak peduli pada nasib rakyat.

Al-Muwaffaq diberi kekuasaan wilayah Timur, yaitu Kufah, Yaman, Khurasan, dan lainnya. Sedangkan wilayah Barat (Syiria, Armenia, dan lainnya) diberikan kepada Ja’far yang diangkat sebagai putra mahkota dan diberi gelar al-Mufawwadh. Sudah menjadi kebiasaan Dinasti Abbasiyah untuk memberi gelar penguasa mereka dengan berbagai istilah yang menggambarkan seolah mereka adalah bayang-bayang kekuasaan Allah di muka bumi.

Al-Mufawwadh, sang putra mahkota, masih kecil sehingga praktis al-Muwaffaq yang berkuasa penuh. Khalifah al-Mu’tamid membuat keputusan bahwa kalau dia wafat yang naik menggantikan adalah putra mahkota, al-Mufawwadh. Tapi, kalau anaknya masih belum cukup umur, maka al-Muwaffaq yang akan naik takhta. Keputusan ini disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung Ibn Abi Syawarib, dan digantung pada dinding Ka’bah.

Dinasti Abbasiyah telah mengalami krisis panjang, dari mulai terbunuhnya Khalifah kesepuluh al-Mutawakkil hingga Khalifah keempat belas. Perang saudara dan perpecahan di kalangan militer dan juga pejabat pemerintahan membuat negara tidak sepenuhnya bisa mengontrol kondisi di berbagai daerah.

Keuangan negara juga berantakan akibat korupsi dan juga setoran yang berkurang dari berbagai daerah, yang satu per satu mulai mengambil sikap otonom dari pemerintahan pusat.

Di tengah kondisi seperti ini, di tahun 869 Masehi timbul pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak. Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Dinasti Abbasiyah dikacaukan oleh pemberontakan Zanj ini.

Ali bin Muhammad berhasil memobilisasi mereka kaum yang kalah secara ekonomi dan politik. Para budak Afrika yang diperlakukan dengan kejam, kelompok Khawarij yang terus dikejar mapun kelompok Syi’ah yang terus termarjinalkan. Ali bin Muhammad sendiri sebenarnya tidak jelas asal muasal nasabnya. Dia mengklaim sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib, namun banyak yang meragukannya.

Dia mengaku sebagai Syi’ah Zaydiyah, namun dia juga merangkul kelompok Khawarij. Di mimbar dia selalu berteriak takbir dan mengumandangkan jargon para Khawarij, “Tiada hukum kecuali hukum Allah”. La hukma illa lillah.
Rupanya gerakan Zanj ini meluas dan mendapat simpati dari berbagai kalangan yang sudah muak melihat situasi negara dan juga menemukan penyaluran emosi mereka akan kondisi mereka yang mengenaskan. Dari masa ke masa, kelompok seperti ini mudah sekali dimainkan emosinya lewat gemuruh takbir dan ungkapan menegakkan hukum Allah (syariat).

Peperangan antara pasukan Dinasti Abbasiyah dengan kaum Zanj ini sangat tragis dan brutal. Dikabarkan tiga ratus ribu pasukan Muslim terbunuh dalam sehari di Bashrah, dan total menurut as-Shuli ada sekitar 1,5 juta pasukan Muslim yang terbunuh selama pertempuran. Al-Muwaffaq bersama anaknya, Abul Abbas, turut memimpin pasukan menggempur Zanj.

Hingga akhirnya kepala pemberontak yang sangat kejam, Bahbudz, berhasil ditebas. Imam Suyuthi mencatat riwayat yang menjelaskan kesesatan Bahbudz dan juga perilaku amoral mereka di mana setiap satu orang pasukan Zanj menyetubuhi sepuluh wanita. Pertempuran ini berlangsung sekitar 14 tahun. Keberhasilan Al-Muwaffaq menaklukkan pemberontakan Zanj semakin membuat harum namanya di mata rakyat.

Sisi positif dari pertempuran ini adalah militer menjadi sibuk bertempur dan tidak sepenuhnya lagi ikut campur persoalan negara. Sisi negatifnya adalah, selain jumlah korban yang begitu besar, sejumlah provinsi mulai melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Mereka memanfaatkan konsentrasi pemerintah pusat menghadapi pemberontak Zanj.

Mesir dikuasai oleh Ahmad bin Thulun, Jenderal yang diangkat menjadi Gubernur dan malah membangun dinasti sendiri, yaitu Tuluniyah. Kekuasaanya meluas sampai ke Syiria. Ya’qub bin Laits menguasai wilayah Khurasan, Fars, dan wilayah Timur. Ya’qub membangun Dinasti Shafariyah. Tabaristan dikuasai kelompok Zaydiyah.

Terpecah-belahnya negara dimulai pada masa Khalifah al-Mu’tamid ini dan terus berlangsung beberapa waktu sampai tumbangnya Dinasti Abbasiyah. Kalau kita kompilasi keterangan sejumlah sejarawan, berikut ini beberapa wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti  Abbasiyah.

1.   Yang berbangsa Persia
a.   Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.   Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c.   Samaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
d.   Sajiyyah di Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M)
e.   Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447 H/932-1055 M)

2.   Yang Berbangsa Turki
a.   Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.   Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.   Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)
d.   Dinasti Saljuk (429-700 H/1037-1299 M)

3.   Yang Berbangsa Arab
a.   Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)
b.   Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900M)
c.   Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
d.   Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)

Pernah saya kisahkan sebelumnya bahwa al-Muwaffaq memiliki seorang anak yang merupakan jenderal perang yang hebat, yaitu Abul Abbas, yang kemudian diberi gelar al-Mu’tadhid. Entah kenapa al-Muwaffaq memenjarakan anaknya selama dua tahun di Baghdad.

Namun, di kalangan militer, nama Jenderal al-Mu’tadhid sangat terkenal karena dia ikut bertempur bersama Al-Muwaffaq melawan kaum Zanj. Ketika al-Muwaffaq sakit parah, Gubernur Baghdad meminta Khalifah al-Mu’tamid menjenguk saudaranya yang tengah sekarat, dengan harapan ini bisa mencegah bebasnya sang Jenderal al-Mu’tadhid dari sel penjara.

Sayangnya, rencana Gubernur Baghdad itu gagal total. Militer masih setia pada sang Jenderal, dan Khalifah al-Mu’tamid tidak punya pilihan selain mengangkat jenderal yang notabene keponakannya sebagai penguasa wilayah Barat menggantikan ayahnya yang pernah memenjarakannya.

Pengaruh sang Jenderal tidak berhenti sampai di situ. Khalifah sampai tega mencopot posisi putra mahkota dari anaknya sendiri, al-Mufawwadh, dan memberikan posisi tersebut kepada keponakannya, Jenderal al-Mu’tadhid. Imam Thabari mencatat bahwa surat pemberitahuan pergantian putra mahkota langsung dikirimkan ke provinsi dan wilayah, serta diumumkan selepas salat Jum’at beberapa hari kemudian.

Sang Jenderal yang kekuasaanya menjadi sangat luas mulai menangkapi para pejabat yang dulunya setia kepada ayahnya. Ingat, ayahnya sendiri yang menjebloskan dia ke penjara. Tidak menunggu lama, lima bulan kemudian, al-Mu’tadhid berkuasa menjadi khalifah, setelah pada 14 oktober 892 Khalifah al-Mu’tamid meninggal dunia.

Imam Thabari, yang berusia sekitar 50 tahun pada periode ini, melaporkan meninggalnya sang Khalifah itu dengan cukup mencurigakan. Malamnya sehabis minum-minum dan makan banyak, Khalifah yang berkuasa sekitar 22 tahun itu tidur dan kemudian meninggal. Nasib al-Mufawwad, mantan putra mahkota, juga tidak jelas setelah itu. Spekulasi beredar di kalangan sejarawan lain bahwa al-Mufawwad telah dibunuh, dan wafatnya Khalifah al-Mu’tamid karena diracun. Wa Allahu a’lam.

Walhasil, pada periode ini, kita mencatat bahwa Al-Mu’tamid yang menjadi khalifah, namun al-Muwaffaq yang menjalankan kekuasaan. Bahkan sang Khalifah seolah diasingkan dari istananya sendiri.  Al-Mu’tadhid yang bahu membahu berperang bersama ayahnya, al-Muwaffaq, melawan pemberontakan kaum Zanj, malah dimasukkan ke penjara oleh ayahnya. Selepas al-Muwaffaq wafat, bebaslah al-Mu’tadhid dan dia meguasai negara sampai Putra Mahkota al-Mufawwad pun dicopot oleh Khalifah al-Mu’tamid. Inilah peta percaturan politik pada masa itu.

Kita akan teruskan mengaji sejarah politik Islam pada kesempatan berikutnya dengan membahas periode kekuasaan Khalifah al-Mu’tadhid. Insya Allah.

NADIRSYAH HOSEN

Tidak ada komentar