A.M. Fatwa : "A. Karim DP, Sakit Hati Dituduh Berbeda."
Gambar di atas menunjukkan kami bertiga begitu akrab berteman meskipun berbeda ideologi. Tampak Ki-Ka : Suherman, A. Karim DP, AM. Fatwa & Andi Moersalim berjalan turun dari KA Parahiyangan di Statsiun KA. Andir-Bandung, Jawa Barat saat akan menhadiri peringatan 40 hari wafatnya H. Mahbub Djunaidi (Tokoh NU dan Mantan Wartawan Duta Masyarakat).
Dalam KA yang sama sebenarnya masih ada beberapa tokoh lainnya seperti : Joesoef Ishak, Pramoedya Ananta Toer dan Bapak Hasyim Rachman. Ketiga nama terakhir ini merupakan mantan tapol dan mantan wartawan Harian Rakyat dan Bintang Timur.
Dalam usia yang ke 73 tahun Pak Karim (biasa saya memanggilnya) saat ini tergolek lemah di pembaringan. Usianya yang semakin tua merapuhkan kesehatannya. Hampir 2 tahun lebih saya tidak menemuinya. Melalui telepon, saya sering menanyakan perkembangan kesehatan Pak Karim kepada putrinya seorang PNS di RRI Jakarta.
Sebagai penghargaan dan penghormatan atas hubungan persahabatan antara saya, AM. Fatwa dan Pak Karim DP, berikut saya kutipkan secara utuh Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa A.M. Fatwa dalam Bidang Pendidikan Luar Sekolah yang disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Jakarta Pada tanggal 16 Juni 2009.
Selengkapnya beginilah : "Kepada A. Karim DP, mantan Tapol Orba (Tahanan Politik Orde Baru), mantan Ketua Umum PWI dan Pemimpin surat kabar Warta Bakti yang berjaya di masa Orde Lama dan menjadi tapol Orde Baru 11 tahun tanpa pengadilan. Sikap politiknya kekiri-kirian sehingga nyaris dianggap berpaham komunis, padahal rajin ibadah dan memang dia alumnus Muallimin Muhammdiyah Yogyakarta di masa revolusi. Sejatinya dia seorang kader PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bung Karnois.
Sama halnya Subandrio (mantan Waperdam I) dan Oemar Dhani (mantan KSAU) yang dalam pertukaran-pertukaran pikiran saya di penjara Cipinang yang merasa sangat sakit hati dituduh Komunis padahal kedua tokoh itu menurutnya semata hanya sebagai pembantu dan bawahan yang taat dan cinta Bung Karno.
Saat ini Karim DP sudah beberapa tahun sakit terbaring lemah di tempat tidur karena usia tua dan sekali-sekali saya sempatkan menjenguknya. Dia sangat setia membesuk saya di penjara terutama ketika di Cirebon dan Sukamiskin – Bandung. Dialah yang susah payah mengedit pledoi saya di Pengadilan menjadi sebuah buku yang menarik perhatian dan diterbitkan oleh Kompas dengan judul “Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili”. Pledoi saya setebal 1118 halaman itu mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pledoi terpanjang di dunia.
Meskipun A. Karim DP berasal satu daerah dengan saya dari Sulawesi Selatan tapi barulah saling kenal dari dekat karena sama-sama senasib sebagai tapol orde baru meskipun aliran politik kami berbeda. Seorang teman yunior saya Suherman yang waktu itu pegawai Arsip Nasional RI yang menghubungkan saya dengan A. Karim DP sehingga kami bertiga sering bepergian dan makan bersama.
Suherman adalah teman yang sungguh sangat berjasa menyelamatkan dokumen dan surat-surat saya dari penjara sehingga sebagiannya bisa diedit dan diterbitkan jadi buku. Suherman jugalah yang membawa saya bertamu ke rumah Pramoedya Ananta Toer di bulan puasa sebagai sesama bekas tapol, apapun perbedaan dan latar belakang namun cepat terjalin keakraban perasaan.
Sempat berdialog berjam-jam dengan Pramoedya Ananta Toer hingga pembicaraan mandeg saat bicara soal akhirat yang dianggapnya terlalu luks baginya untuk bertukar pikiran tentang akhirat. Istri Pramoedya Ananta Toer, yaitu Maemunah Thamrin (keponakan pejuang nasional Mohammad Husni Thamrin), lalu menyediakan saya kolak buka puasa dan sajadah untuk sholat Maghrib.
Sumber: pkpbkabupatentangerang.blogspot.co.id
Sumber: pkpbkabupatentangerang.blogspot.co.id
Tidak ada komentar
Posting Komentar