Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Idulfitri

SUDAH menjadi tradisi saat menyambut Lebaran, kita saling bermaaf-maafan dengan teman-teman dan kerabat. Pesan singkat lewat telepon seluler pun menjadi salah satu sarana yang murah meriah untuk bermaaf-maafan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan setelah usai berpuasa di bulan Ramadan, kita (umat Islam) kembali dilahirkan suci dari dosa.

Banyak sekali pesan singkat yang saya terima membuat saya terharu karena berisi kalimat yang indah penuh doa. Namun, kadangkala saya pun tertawa membaca pesan singkat yang berisi pantun atau kalimat-kalimat jenaka.

Terlepas dari isi pesan singkatnya, ada satu hal yang masih mengganjal dalam hati, yaitu
cara penulisan kata Idulfitri. Dua tahun lalu, saya dan Adian Saputra (pada tulisan yang berbeda) pernah membuat tulisan tentang hal ini di rubrik Laras Bahasa. Namun, sepertinya isi tulisan tersebut belum banyak diaplikasikan masyarakat pada umumnya.

Masih banyak instansi maupun perorangan yang tidak mau mengubah kebiasaan yang salah tersebut. Hal itu mungkin disebabkan karena masyarakat telah terbiasa menuliskan kata Idulfitri secara terpisah dan akan merasa aneh (karena di luar kelaziman) bila digabung cara menuliskannya.

Di samping itu, tidak sedikit pula orang yang menuliskan kata tersebut dengan Iedul Fitri atau Idhul Fithri. Terlebih lagi dengan munculnya “bahasa gaul” dan “bahasa alay”. Cara penulisan selamat Idulfitri pun semakin beragam dan unik sehingga terkadang tidak mudah untuk dimengerti. Mengapa tidak mudah dimengerti? Tentu saja tidak mudah dimengerti karena ciri bahasa alay adalah campuran huruf, angka, dan simbol serta adanya bentuk-bentuk penyingkatan yang tidak memiliki aturan yang pasti.

Kembali kepada kata Idulfitri, sesungguhnya kata tersebut berasal dari dua kata bahasa Arab, yakni id dan alfitri yang artinya kembali dan suci. Menurut artikel yang pernah saya baca (karya Abdul Gaffar Ruskhan), id merupakan sebuah unsur terikat yang tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus disandarkan pada kata lain yang menyertainya. Jadi, penulisan kata Idulfitri yang sesuai dengan kaidah adalah Idulfitri, bukan Idul Fitri. Hal ini juga sejalan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penulisan Idulfitri di dalam literatur tersebut juga digabung.

Saat Idulfitri biasanya tidak akan puas bila tidak dibarengi dengan bersilaturahmi pada sanak saudara. Sudah menjadi tradisi, saat Lebaran tiba kita akan mengunjungi rumah orang tua, kakek-nenek, paman-bibi, kakak-adik, maupun tetangga. Berkaitan dengan kata silaturahmi, banyak orang yang tidak memahami apa arti sesungguhnya arti kata silaturahmi itu. Oleh sebab itu, akan sedikit saya jelaskan di bawah ini.

Menurut artikel yang ditulis Asep Juanda, kata silaturahmi merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu dari kata shilah/shilat(un) yang berarti sambungan dan rohmu (rahmi)/rohim (rahim) yang berarti rahim (peranakan)/persaudaraan, atau kasih sayang. Kata (ar)rahmu apabila digabungkan menjadi frasa dengan kata shilatu(un) akan membentuk kata shilaturrohmi yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi silaturahmi. Jadi dapat kita mengerti bahwa silaturahmi berarti menyambungkan rahim atau persaudaraan, atau menyambungkan kasih sayang.

Dalam KBBI, kata silaturahmi berarti tali persahabatan (persaudaraan) dan bersilaturahmi berarti mengikat tali persahabatan (persaudaraan). Dengan demikian, bersilaturahmi berarti kita akan mengikat tali persaudaraan, tali kekerabatan, persahabatan, ataupun menyambungkan kasih sayang.

Semoga di Idulfitri esok lusa, kita dapat mengikat dan mempererat tali persaudaraan, persahabatan, ataupun menyambungkan kasih sayang yang sempat terputus, baik oleh jarak maupun waktu.

Selamat merayakan Idulfitri dan bersilaturahmi, mohon maaf lahir dan batin.

Ratih Rahayu, Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Lampung Post, 24 Agu 2011
Sumber: rubrikbahasa.wordpress.com

Tidak ada komentar