Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Rahasia Rumah Si Pitung

Rumah Si Pitung
Rumah panggung warna coklat itu berdiri di atas tanah 2.000 meter persegi. Museum Nasional memberi nama bangunan itu Rumah Si Pitung, untuk mengenang pendekar Betawi Si Pitung, sejak tahun 1972. Tetapi, warga sekitar menyebut rumah itu milik Haji Saipuddin.

Saat menginjakkan kaki di rumah itu, terdapat empat buah kursi dan 1 meja serta replika orang Betawi dengan mengenakan peci, dan sabuk. Rumah Si Pitung hanya memiliki sebuah kamar tidur.

"Semuanya hanya replika, hanya beberapa bagian rumah yang masih asli. Beberapa bulan lalu bangunan rumah telah direnovasi," kata salah seorang warga, Ilham (42), di Kampung Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (4/3/2011).

Ada larangan
'tidak boleh disentuh' yang dipasang di setiap barang yang menghiasi rumah Si Pitung. Ada kaca, foto yang agak usang bergambar perkawinan orang Betawi, meja, dan tempat tidur.

"Si Pitung memang aslinya dari Rawa Belong, bukan lahir di Marunda. Pitung dulunya pernah merampok di sini," ujar Ilham.

Bangunan lain yang berdiri di lahan itu adalah musola dan bangunan untuk jajanan kuliner.

"Ramai tiap akhir pekan di sini. Sebelum direnovasi, ketika ada rob air laut naik sampai pekarangan dan sekarang jarang karena tergantung hujannya deras apa tidak," ujarnya.

Untuk meramaikan rumah Si Pitung, warga Kampung Marunda sering mengadakan pengajian bersama di halaman rumah. Rumah Si Pitung terletak di belakang Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) dan berdekatan dengan Rumah Susun Marunda. Kendaraan roda empat
tidak bisa masuk ke dalam, hanya kendaraan roda dua yang bisa ke sana melalui jempatan kayu yang di bawahnya mengalir Kali Marunda.

Ilham menceritakan, Rumah Si Pitung yang menjadi cagar budaya DKI Jakarta namanya merupakan pemberian dari Museum Nasional pada tahun 1972. Warga Marunda sejak dahulu mengenal Rumah Si Pitung merupakan rumah dari Haji Saipudin, korban perampokan Pitung.

"Sejak saat kecil, kita tahunya itu adalah milik Haji Saipuddin dan bukan milik Si Pitung," kata Ilham.

Tidak ada keturunan Si Pitung di Kampung Marunda. Bahkan, silsilah Haji Saipuddin sudah tidak terlacak lagi oleh warga setempat.

"Keluarganya dan keturunan Haji Saipuddin tidak jelas lagi sekarang. Dulunya rumah ini ditempati oleh warga setempat," jelasnya.

Ilham menambahkan, tidak ada warga Kampung Marunda yang mengetahui alasan rumah milik Haji Saipuddin beralih nama menjadi Rumah Si Pitung. Setelah diambil oleh Museum Nasional, barulah ketahuan terdapat rumah Si Pitung di Marunda.

"Dulunya rumah ini tinggi, bahkan jika numbuk padi dengan menggunakan bambu, maka bambu itu tidak sampai terbentur dinding kayu dasar rumah," kata dia.

Kontroversi soal rumah Si Pitung ini juga dituangkan dalam tulisan karya Ridwan Saidi yang berjudul 'Si Pitung Perampok atau Pemberontak?'

"Apa yang dikenal sebagai rumah Si Pitung yang berlokasi di Marunda sesungguhnya rumah Saipuddin, seorang bandar ikan," tulis Ridwan.

Sebuah surat kabar Hinda Olanda tahun 1892 memberitakan sosok yang dikenal sebagai Si Pitung. Polisi Belanda kala itu menggeledah sebuah rumah yang diduga sebagai rumah Pitung dan menemukan uang gulden (mata uang Belanda). Uang tersebut juga diyakini merupakan uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipuddin, seorang Bugis dari
Marunda, Jakarta Utara.

Bagi Belanda saat itu, harga untuk nyawa Pitung senilai 400 gulden. Harga yang besar untuk seorang anak yang lahir di lingkungan Betawi, Rawa Belong.

Masih dalam pemberitaan koran Hindia Olanda pada tahun 1893, Pitung menemui ajalnya saat terjadi baku tembak dengan seorang opsir Belanda yang bernama Hinne. Dua butir peluru yang bersarang di tubuh Pitung membuat 'Robin Hood Betawi' tersebut tewas.

(fiq/aan) 


Sumber: .detiknews.com

Tidak ada komentar