Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Ruslan, Pelita Pendidikan di Binasari

                       KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ                                                                                                                                                                                                                        Ruslan Oloan Naibaho
Jangan sampai anak-anak tumbuh tanpa mengenal huruf-huruf! Jangan sampai mereka terus tertindas karena diselimuti kebodohan!

Kekhawatiran itulah yang mendorong Ruslan Oloan Naibaho untuk mendirikan sekolah Fathan Mubina di Dusun Binasari, Desa Pardomuan, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Dusun Binasari adalah kawasan yang didiami transmigran lokal dari Binjai, Padang Sidimpuan, dan Dalu-dalu, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.

Dusun yang diresmikan oleh Bupati Tapanuli Selatan Sualoon Siregar pada 22 Agustus 1998 itu jaraknya sekitar 53 kilometer dari Kota Padang Sidimpuan. Kondisi jalan menuju dusun itu rusak parah. Sebagian berupa jalan aspal yang berlubang di sana-sini.

Sekitar 20 kilometer menjelang dusun itu, jalan banyak dilapisi pasir dan tanah bekas longsoran banjir. Saat hujan turun, kondisi jalan tidak memungkinkan dilintasi kendaraan bermotor karena licin.

"Keterasingan" itu tidak melulu karena kondisi jalan yang demikian buruk. Sinyal telepon seluler sama sekali tidak mampir di kawasan ini.

Bahkan, penerangan listrik pun sepertinya masih barang mewah. Warga mengandalkan penerangan dari lampu minyak dan hanya satu mesin diesel listrik untuk menerangi tempat ibadah. Untuk keperluan air bersih, warga mengandalkan air dari anak Sungai Batang Gadis dan Batang Saleh. Mereka mencuci dan mandi di sungai.

Daerah tertinggal

Singkatnya, Dusun Binasari memenuhi kriteria sebagai daerah pedalaman dan tertinggal. Tentu saja itu membuat akses pendidikan sangat susah.

Sebelum 2001, jarak sekolah terdekat mencapai 15 kilometer dari rumah warga. Pada dua tahun pertama dusun itu dibangun, tak kurang dari 100 keluarga memilih kembali ke kampung halamannya karena sulitnya mengakses pendidikan. Mereka ingin anaknya bisa sekolah dan berpendidikan.

"Lebih baik kami kurang makan daripada anak-anak kami tidak sekolah," kata Ruslan, menirukan alasan warga meninggalkan Binasari.

Itu alasan yang masuk akal. Ruslan, yang kini menjadi pengusaha ekspor hasil bumi itu, trenyuh dan terdorong untuk membantu warga. Dia kemudian menyampaikan kesulitan warga Binasari kepada keluarganya yang memiliki perusahaan di Batam. Dia berhasil meyakinkan mereka dan mengumpulkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) guna membangun sekolah.

Penyuka air putih hangat itu lantas membentuk dan menjadi Ketua Yayasan Fathan Mubina. Yayasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Sekolah Dasar Swasta (SDS) Fathan Mubina pada 2001.

Yayasan ini membangun sekolah dan menyediakan peralatan sekolah, seperti buku, bangku, dan alat tulis. Ruslan pun bertanggung jawab atas operasional sekolah, termasuk gaji enam guru yang mengajar di tempat ini.

Bangunan sekolah seluas 10 meter x 50 meter yang berdinding kayu dan beratap seng itu berdiri di atas lahan seluas 7,5 hektar pemberian warga setempat. Lahan itu sejatinya milik Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan yang diserahkan kepada warga untuk dikelola sebagai lahan pertanian rakyat.

Yayasan Fathan Mubina juga mendapat lahan 300 hektar dari warga untuk dijadikan kebun yang hasilnya nanti diproyeksikan bagi pengembangan sekolah. Dalam akta yayasan bahkan disebutkan, Yayasan Fathan Mubina akan membangun perguruan tinggi di Binasari di atas lahan itu.

Sekolah gratis

SD Fathan Mubina menerapkan konsep sekolah gratis. Orangtua siswa sama sekali bebas dari biaya sekolah.

"Kami maunya memberi seragam dan sepatu gratis, tetapi belum sanggup," ujar Ruslan.

Karena itu, para guru memaklumi jika siswanya masuk sekolah dengan bersandal jepit atau seragamnya hanya celana merah dan baju coklat muda. Ada juga siswa yang setiap hari memakai baju seragam merah putih yang itu-itu saja karena hanya seragam itulah yang dia miliki.

Sekolah menampung anak-anak yang sama sekali belum pernah bersekolah ataupun mereka yang putus sekolah setelah diajak orangtuanya pindah ke Dusun Binasari. Awalnya hanya 30-an siswa SD, tapi sekarang berkembang menjadi 123 siswa yang terdiri dari 87 siswa SDS dan 36 siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fathan Mubina.

Sebenarnya, sekolah yang hanya memiliki tiga ruang kelas itu tak memadai untuk menampung siswa yang ada. Ruslan bersama para pengajar harus menyiasatinya. Siswa SD kelas I sampai VI belajar pada pagi hari dengan menggunakan satu ruang untuk dua kelas. Adapun siswa MTs masuk setelah shalat dzuhur, tengah hari.

Meski fasilitas sekolah tergolong terbatas dan sederhana, siswa Fathan Mubina bersemangat dalam belajar. Pada 2004, salah satu siswa SD Fathan Mubina menyabet juara III dengan nilai terbaik se-Kecamatan Siais (sebelum Binasari masuk ke Kecamatan Angkola Selatan).

"Semangat itulah yang kami jaga," ucap Ruslan.

Konflik lahan

Belakangan ini dia resah. Sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit "berkonflik" dengan warga Binasari, berebut lahan. Perusahaan itu memperluas hak guna usaha (HGU)-nya dan mengklaim, lahan yang selama ini dikelola warga adalah lahan yang masuk dalam HGU perusahaan. Artinya, warga harus menyingkir.

Dampaknya, antara lain, 300 hektar lahan Fathan Mubina ”direbut” perusahaan itu dan tak ada lagi hasil perkebunan yang bisa digunakan untuk mengembangkan sekolah. Lahan milik Fathan Mubina dan ratusan hektar lahan yang biasa dikelola warga itu telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan.

Konflik itu juga berimbas pada semakin berkurangnya jumlah warga, yang awalnya 567 keluarga menjadi 98 keluarga. Mereka memilih kembali ke kampung halamannya setelah tak lagi memiliki lahan untuk berkebun atau bertani.

Ruslan khawatir, jika jumlah warga Binasari terus berkurang, jumlah siswa Fathan Mubina juga bakal menyusut dan akhirnya terpaksa tutup. Bersama dengan warga yang tersisa, Ruslan berupaya melawan untuk mempertahankan hak mereka.

Saking vokalnya dia menyuarakan hak warga Binasari, Ruslan pun kerap dituding sebagai provokator. "Saya sedih jika sekolah kami harus tutup karena kalah oleh kerakusan PT (perusahaan perkebunan kelapa sawit). Semoga saja pemerintah bisa melihat masalah ini secara jernih. Kami butuh dukungan untuk menyelamatkan generasi mendatang," ungkap Ruslan.

Riwayat Hidup

Ruslan Oloan Naibaho

• Lahir: Padang Sidimpuan, Sumatera Utara, 27 Agustus 1958

• Istri: Sangkor Lubis (49)

• Anak: - Ismail Hasurungan Naibaho (17) - Lasna Khadijah Naibaho (15) - Yazid Mazogi Naibaho (11)

• Pendidikan: - SDN Padang Sidimpuan (lulus 1966), SMPN Padang Sidimpuan (1969), SMAN Padang Sidimpuan (1972)

Tidak ada komentar