Sejarah Ahmadiyah dan Konfliknya
Untuk kesekian kalinya persoalan Ahmadiyah menjadi perhatian publik karena beberapa kelompok Islam menuntut pembubaran aliran agama tersebut. Kembali kekerasan dilakukan terhadap kelompok ini, seperti yang terjadi pada Masjid Al-Furqon milik jemaah Ahmadiyah di Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang dibakar massa, Senin (28/4) pukul 01.00 WIB dini hari. Selain membakar Masjid Al-Furqon, massa juga merusak tiga bangunan madrasah serta membuat kocar-kacir ratusan warga jemaah Ahmadiyah (Tempo Interaktif, 28 April 2008). Setelah 80 tahun berada di Indonesia, mungkin 3-4 tahun belakangan ini menjadi tahun-tahun terberat para pengikut Ahmadiyah. Sejarah memperlihatkan bahwa sejak awal kedatangannya, aliran ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Namun tidak pernah perdebatan sebelumnya mengikutsertakan kekerasan, apalagi dalam intensitas seperti sekarang ini.
Awal Mula
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris. Dari latar belakang sejarah, munculnya Ahmadiyah mirip kelahiran Muhammadiyah (Dawam Rahardjo, islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850).
Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan dengan isu kedatangan Mesias atau Al asih.
Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, mengunjungi Jogja dan Solo untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Perdebatan mulai muncul dan tuduhan penyimpangan ajaran Islam untuk pertama kali diungkapkan. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, pada tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy'ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy'ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926 (Herman Beck, 2005).
Jika dilihat dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir. Walau tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah, faktanya sejak pernyataan ini dikeluarkan hubungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah menjadi putus.
Perkembangan Ahmadiyah tidak menjadi surut dengan adanya fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada tahun 1930, pemerintah kolonial memberikan pengakuan terhadap Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.
Di tahun yang sama, hubungan Ahmadiyah dengan Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto semakin menguat. Ketika Pemimpin SI, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930, kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Kemudian, ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, giliran pimpinan Ahmadiyah yang memberikan dukungan kepada Tjokroaminoto. Belakangan, hubungan antara kedua organisasi ini merenggang, namun bukan karena masalah keimanan melainkan perbedaan dalam memposisikan pemerintah kolonial. SI dengan tegas menentang pemerintah kolonial sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada kekuasaan Hindia Belanda.
Sejak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam.
Ancaman bagi Kebebasan Beragama dalam Alam Demokrasi
Selain mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial, Ahmadiyah juga telah berbadan hukum melalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 bahkan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. (Dawam Raharjo dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850)
Namun pengakuan dari negara ternyata tidak memiliki nilai di mata para penentang Ahmadiyah. Bayangkan, di atas pengakuan negara terhadap keberadaannya, Ahmadiyah terus mendapatkan serangan dan teror. Perusakan tempat ibadah, rumah pribadi, aset-aset organisasi bahkan penghilangan nyawa, adalah harga yang harus dibayar oleh pengikut Ahmadiyah, yang juga warga negara Indonesia, hanya karena ia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan yang lain.
Beberapa faktor bisa disebutkan sebagai penyebab bertambah parahnya konflik ini. Namun salah satu faktor yang paling penting adalah adanya fatwa MUI pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berada ”di luar” Islam. Fatwa ini kemudian diperkuat dengan fatwa baru hasil Munas VII MUI tahun 2005 yang mengharamkan Ahmadiyah. Sejak itu, kekerasan dan teror tak terbendung lagi.
Perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah juga ikut terpancing untuk ikut melarang Ahmadiyah. Dimulai dengan keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dilanjutkan dengan upaya untuk mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah.
Jika hal ini sampai terjadi, dalam konteks kebebasan beragama, pemerintah ini menyerupai otoriterisme Orde Baru. Bahkan lebih buruk dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ironinya, langkah pemerintah ini dilakukan setelah kita bersusah payah merebut dan membangun demokrasi.
.
IK-06
Sumber; http://www.p2d.org/index.php/kon/32-15-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html
1 komentar
Posting Komentar