Harut Marut atau Carut Marut?
buah nangka dimakan kera
karena tak suka buah kelapa
manusia itu pandai bicara
tidak tahu bisa berbuat apa
Malaikat memang diciptakan tanpa nafsu. Tapi, jika harus melihat manusia bergelimang dosa di muka bumi, malaikat rasanya tidak bisa tinggal diam.
Manun yang nonton bareng di pos ronda celangak-celinguk. “Run, kamu ndak khawatir, toh?”
“Khawatir apanya?”
“Tim kamu tuh. Memble. Empat kosong! Ndak bisa main sepak bola kali…”
“Ah, tenang saja. Nanti dibalas.”
“Dibalas gimana, toh? Lima gol? Masa iya?! Lha wong pemainnya kayak kuda lumping begitu, Cuma bisa angguk-angguk kepala. Larinya saja ndak becus, mending main lompat tali sama keponakanku di depan rumah saja.”
“Huss…”
“Huss kenapa?”
“Jangan begitu!”
“Jangan begitu kenapa? Ya, memang kesebelasan jagoan kamu loyo. Ndak bisa main sepak bola.”
“Kamu bisa?”
“Bisa!”
“Bisa apa?”
“Sepakbola!”
“Kayak Robinho?”
“Kayak Robinho!”
“Kayak Zidane?”
“Kayak Zidane! Tes deh, aku lebih jago daripada main kayak begitu!”
Haha… “Harut Marut kamu, Nun!”
“Run, gawat, Run!”
“Apanya yang gawat?”
“Lima-empat!”
“Apa sih, lima-empat lima-empat?”
“Yang semalam. Timku kalah lima-empat, Run. Alamak…”
Haha… Lalu senyap lagi. Televisi hanya penuh sesak oleh semut. Tidak ada yang lain.
Wallahua’lam bishshowab.
Jakarta, Februari 2006
[1] QS. Al Baqarah: 30
[2] QS. Al Baqarah: 32
[3] Dua malaikat yang turun ke bumi dengan dibekali sifat seperti manusia. Lihat QS. Al Baqarah: 102.
[4] Shihab, Quraish. Tafsir Al Mishbah. 2002. Jakarta. Lentera Hati.
karena tak suka buah kelapa
manusia itu pandai bicara
tidak tahu bisa berbuat apa
Malaikat memang diciptakan tanpa nafsu. Tapi, jika harus melihat manusia bergelimang dosa di muka bumi, malaikat rasanya tidak bisa tinggal diam.
Dulu, saat Adam diciptakan, malaikat bertanya-tanya, “Apakah Engkau akan menjadikan di muka bumi orang yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih dengan memujiMu dan menyucikanMu?”[1] Tuhan bergeming, sedangkan malaikat memang tak pernah bisa menandingi ilmu Tuhan. Malaikat menyerah dan berkata, “Maha suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui, kecuali apa yang Engkau ajarkan pada kami. Sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Mahabijaksana.”[2]
Selepas ribuan tahun, malaikat pun gerah. Rasanya, manusia tidak bisa lagi dipercaya untuk mengemban amanah khalifah di muka bumi. Mereka mengecam jabatan khalifah yang disematkan di punggung manusia dan menyampaikan uneg-unegnya kembali kepada Tuhan. Mungkin mereka merasa benar, manusia memang tidak cocok diturunkan ke bumi sebagai khalifah. Darah sudah banyak tumpah meruah.
Setelah berdiskusi, diutuslah Harut dan Marut[3] ke bumi sebagai ujian atas kekeliruan pendapat mereka. Tuhan tidak pernah keliru, malaikat hanya perlu pembuktian. Malaikat itu pun diberi bekal nafsu sebagaimana manusia. Dan nyatanya, mereka justru ikut tergelincir dalam gelimangan dosa. Konon, mereka takluk oleh rayuan wanita. Tidak beda dengan manusia.
Jarun hanya mengangguk-angguk saat gol keempat bersarang di gawang kesebelasan favoritnya. Ini sudah gol keempat tanpa balas. Dan itu berarti, tim kesayangannya harus berjibaku dengan lawannya dan waktu yang terus menyempit untuk menciptakan lima gol balasan.
Setelah berdiskusi, diutuslah Harut dan Marut[3] ke bumi sebagai ujian atas kekeliruan pendapat mereka. Tuhan tidak pernah keliru, malaikat hanya perlu pembuktian. Malaikat itu pun diberi bekal nafsu sebagaimana manusia. Dan nyatanya, mereka justru ikut tergelincir dalam gelimangan dosa. Konon, mereka takluk oleh rayuan wanita. Tidak beda dengan manusia.
Jarun hanya mengangguk-angguk saat gol keempat bersarang di gawang kesebelasan favoritnya. Ini sudah gol keempat tanpa balas. Dan itu berarti, tim kesayangannya harus berjibaku dengan lawannya dan waktu yang terus menyempit untuk menciptakan lima gol balasan.
Manun yang nonton bareng di pos ronda celangak-celinguk. “Run, kamu ndak khawatir, toh?”
“Khawatir apanya?”
“Tim kamu tuh. Memble. Empat kosong! Ndak bisa main sepak bola kali…”
“Ah, tenang saja. Nanti dibalas.”
“Dibalas gimana, toh? Lima gol? Masa iya?! Lha wong pemainnya kayak kuda lumping begitu, Cuma bisa angguk-angguk kepala. Larinya saja ndak becus, mending main lompat tali sama keponakanku di depan rumah saja.”
“Huss…”
“Huss kenapa?”
“Jangan begitu!”
“Jangan begitu kenapa? Ya, memang kesebelasan jagoan kamu loyo. Ndak bisa main sepak bola.”
“Kamu bisa?”
“Bisa!”
“Bisa apa?”
“Sepakbola!”
“Kayak Robinho?”
“Kayak Robinho!”
“Kayak Zidane?”
“Kayak Zidane! Tes deh, aku lebih jago daripada main kayak begitu!”
Haha… “Harut Marut kamu, Nun!”
Blek. Manun diam. Lalu senyap. Hanya suara jangkrik dan kodok yang bersahutan sampai adzan Shubuh. Televisi pun dibiarkan penuh semut. Antenanya dilepas sampai pagi. Tidak dimatikan supaya suaranya masih bisa menahan kantuk yang mendera sejak dini hari. Bzz…Bzz…
Kisah Harut Marut dipercaya oleh pakar sebagai kisah simbolik.[4] Manusia biasanya menduga dirinya lebih pandai dan lebih benar dari pihak lain yang sedang melaksanakan satu tugas dalam satu arena. Permainan sepakbola atau, bahkan, pemerintahan, dijadikan lahan komentar yang panjang dan tidak berujung. Pemain dianggap sering salah dan keliru oleh penonton dan komentator meski keduanya tidak pernah bisa membuktikan dirinya lebih jago dari para pemain sungguhan. Oposisi sering bertingkah sok heroik dengan menganggap pemerintah keliru menentukan kebijakan untuk rakyat. Tenyata, mereka toh tidak selalu benar.
Persilakan penonton bermain dan oposisi memegang pemerintahan barang sejenak saja. Mungkin akan menjadi lebih runyam dan awut-awutan. Carut marut! Karena kecepatan akselerasi mulut tidak diimbangi dengan daya pikir otak menggerakkan potensi kebajikan dalam segenap anggota badannya.
Sungguh, kompetensi tidak berbicara lewat kata. Kredibilitas tidak bertumpu pada kuatnya lidah mengacungkan kalimat-kalimat pembela. Kepercayaan pun tidak tumbuh dari kegemaran mulut bertingkah. Kompetensi, kredibilitas dan kepercayaan hanya akan bertutur lewat sikap dan konsistensi. Dalam segala kondisi.
Zaman memang berputar sedemikian rupa, namun sejarah seperti berujar dalam pengulangan catatan lama tentang dunia. Dari dulu sampai sekarang, manusia menjadi mahallul-khata’ wan-nisyan (tempatnya salah dan lupa). Dari dulu sampai sekarang pula, syaithan selalu mengambil posisi aduwwun-mubin (musuh yang nyata) bagi manusia. Sedangkan Tuhan tidak pernah mengangkat hawa nafsu dari dalam diri manusia, meski sesuci apapun tabiatnya. Siapa yang salah?
Menjadi komentator gerakan orang lain adalah kenikmatan tersendiri. Kata orang, semut di seberang lautan lebih menarik untuk diamati ketimbang melihat gajah di depan mata. Hanya beberapa otot yang harus digerakkan untuk bicara, jauh lebih sedikit daripada harus bergerak dengan sepenuh upaya demi memperbaiki diri sendiri.
Orang sibuk berkomentar demi kepentingan pribadi dan golongannya untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain. Orang rela menghabiskan waktu untuk berbincang di depan kamera televisi, di warung-warung kopi sampai pinggir jalanan hanya untuk merunut gosip-gosip yang berseliweran sepanjang hari. Dari politik, sampai tetek bengek urusan dapur tetangga. Salah siapa?
Toh manusia punya hawa nafsu. Tanpa nafsu, manusia tidak punya gairah. Tapi manusia pun dibekali akal sebagai rantai pengikat agar nafsu tidak jauh berkeliaran dan terjerumus ke jurang kenistaan.
Jika orang hanya mampu menjadi komentator-komentator tanpa mampu menunjukkan diri dan kredibilitasnya, rasanya Tuhan telah bercerita panjang dalam surat cintaNya. Harut Marut telah menjadi kisah yang abadi hingga akhir masa. Kisah yang memberi pegangan bahwa manusia tidak hanya dibekali otak dan nafsu, namun juga nurani dan keberanian untuk mengubah diri dan lingkungannya.
Tuhan telah menceritakan kebenaran lewat petuah kisah Harut Marut. Bukan sekadar harut Marut, bahkan. Tuhan juga bertutur dengan manis agar manusia yang dibebani amanah kekhalifahan tidak bertingkah lebih buruk lagi dengan menganggap dirinya sebagai yang terbaik dan terbenar. Karena keduanya hanya akan menyebabkan kondisi menjadi carut marut… dan lebih carut marut.
Jam enam pagi. Manun pergi ke pos ronda lagi. Bukan nonton sepakbola, tapi nonton berita olahraga.
Kisah Harut Marut dipercaya oleh pakar sebagai kisah simbolik.[4] Manusia biasanya menduga dirinya lebih pandai dan lebih benar dari pihak lain yang sedang melaksanakan satu tugas dalam satu arena. Permainan sepakbola atau, bahkan, pemerintahan, dijadikan lahan komentar yang panjang dan tidak berujung. Pemain dianggap sering salah dan keliru oleh penonton dan komentator meski keduanya tidak pernah bisa membuktikan dirinya lebih jago dari para pemain sungguhan. Oposisi sering bertingkah sok heroik dengan menganggap pemerintah keliru menentukan kebijakan untuk rakyat. Tenyata, mereka toh tidak selalu benar.
Persilakan penonton bermain dan oposisi memegang pemerintahan barang sejenak saja. Mungkin akan menjadi lebih runyam dan awut-awutan. Carut marut! Karena kecepatan akselerasi mulut tidak diimbangi dengan daya pikir otak menggerakkan potensi kebajikan dalam segenap anggota badannya.
Sungguh, kompetensi tidak berbicara lewat kata. Kredibilitas tidak bertumpu pada kuatnya lidah mengacungkan kalimat-kalimat pembela. Kepercayaan pun tidak tumbuh dari kegemaran mulut bertingkah. Kompetensi, kredibilitas dan kepercayaan hanya akan bertutur lewat sikap dan konsistensi. Dalam segala kondisi.
Zaman memang berputar sedemikian rupa, namun sejarah seperti berujar dalam pengulangan catatan lama tentang dunia. Dari dulu sampai sekarang, manusia menjadi mahallul-khata’ wan-nisyan (tempatnya salah dan lupa). Dari dulu sampai sekarang pula, syaithan selalu mengambil posisi aduwwun-mubin (musuh yang nyata) bagi manusia. Sedangkan Tuhan tidak pernah mengangkat hawa nafsu dari dalam diri manusia, meski sesuci apapun tabiatnya. Siapa yang salah?
Menjadi komentator gerakan orang lain adalah kenikmatan tersendiri. Kata orang, semut di seberang lautan lebih menarik untuk diamati ketimbang melihat gajah di depan mata. Hanya beberapa otot yang harus digerakkan untuk bicara, jauh lebih sedikit daripada harus bergerak dengan sepenuh upaya demi memperbaiki diri sendiri.
Orang sibuk berkomentar demi kepentingan pribadi dan golongannya untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain. Orang rela menghabiskan waktu untuk berbincang di depan kamera televisi, di warung-warung kopi sampai pinggir jalanan hanya untuk merunut gosip-gosip yang berseliweran sepanjang hari. Dari politik, sampai tetek bengek urusan dapur tetangga. Salah siapa?
Toh manusia punya hawa nafsu. Tanpa nafsu, manusia tidak punya gairah. Tapi manusia pun dibekali akal sebagai rantai pengikat agar nafsu tidak jauh berkeliaran dan terjerumus ke jurang kenistaan.
Jika orang hanya mampu menjadi komentator-komentator tanpa mampu menunjukkan diri dan kredibilitasnya, rasanya Tuhan telah bercerita panjang dalam surat cintaNya. Harut Marut telah menjadi kisah yang abadi hingga akhir masa. Kisah yang memberi pegangan bahwa manusia tidak hanya dibekali otak dan nafsu, namun juga nurani dan keberanian untuk mengubah diri dan lingkungannya.
Tuhan telah menceritakan kebenaran lewat petuah kisah Harut Marut. Bukan sekadar harut Marut, bahkan. Tuhan juga bertutur dengan manis agar manusia yang dibebani amanah kekhalifahan tidak bertingkah lebih buruk lagi dengan menganggap dirinya sebagai yang terbaik dan terbenar. Karena keduanya hanya akan menyebabkan kondisi menjadi carut marut… dan lebih carut marut.
Jam enam pagi. Manun pergi ke pos ronda lagi. Bukan nonton sepakbola, tapi nonton berita olahraga.
“Run, gawat, Run!”
“Apanya yang gawat?”
“Lima-empat!”
“Apa sih, lima-empat lima-empat?”
“Yang semalam. Timku kalah lima-empat, Run. Alamak…”
Haha… Lalu senyap lagi. Televisi hanya penuh sesak oleh semut. Tidak ada yang lain.
Wallahua’lam bishshowab.
Jakarta, Februari 2006
[1] QS. Al Baqarah: 30
[2] QS. Al Baqarah: 32
[3] Dua malaikat yang turun ke bumi dengan dibekali sifat seperti manusia. Lihat QS. Al Baqarah: 102.
[4] Shihab, Quraish. Tafsir Al Mishbah. 2002. Jakarta. Lentera Hati.
Best credit buat teman-teman yang ‘memaksa’ saya buka-buka kitab Tafsir lebih dalam lagi. Juga buat teman yang merasa kehilangan kepercayaan. Toh, kredibilitas hanya mampu dibuktikan lewat sikap dan konsistensi…
Sumber: http://farranasir.multiply.com/journal/item/82
Tidak ada komentar
Posting Komentar