Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Proklamasi RI dan Radio Republik Indonesia

Oleh Drs. T. TJUARNA ADIKARYA

KONON, teks bersejarah itu ditulis Bung Karno sendiri, dengan tulisan tangan. Menggunakan kertas tulis bergaris biru, yang disobek dari notes. Teks itu kemudian diketik Sajuti Melik. Kemudian diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno, sedangkan teks tulisan tangan yang tertinggal ditemukan dan disimpan oleh B.M. Diah.

Atas usaha Sajuti Melik, disepakati bahwa yang menandatangani teks itu, Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB saat bulan Puasa, dari halaman Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, diumumkan Soekarno didampingi Hatta, didahului pidato singkat Bung Karno:
"Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita, bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu, ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional, tidak berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakikatnya tetap kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangannya sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekarang datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan tekad itu. Dengarlah proklamasi kami!

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun `45

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno-Hatta

Demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, negara Republik Indonesia, merdeka kekal dan abadi. Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!"

**

Untuk tersebarluasnya peristiwa bersejarah ini, para pegawai kantor Domei (sekarang LKBN Antara), menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan melalui radio. Mereka membentuk badan kerja sama dengan para pejuang di Sedenbu (Jawatan Penerangan), kantor Domei, dan radio. Nama badan kerja sama itu disingkat "Sendor". Organisasi inilah yang secara matang merencanakan perebutan dan pengambilalihan Bandung Hoso Kyoku dari Jepang.

Guna mendukung rencana tersebut, segera dibentuk organisasi penyiarannya. Secara musyawarah, menyetujui Sam Kawengkeh sebagai pimpinan umum, R.A. Darja sebagai pimpinan siaran, R. Herman Gandasomantri pimpinan tata usaha, dan Bambang Sumiskun sebagai pimpinan teknik. Organisasi ini pula yang bertugas meningkatkan kontak-kontak dengan para pejuang radio di Jakarta. Maksudnya untuk mempersiapkan call sign, tune pembukaan, dan lain-lainnya berkaitan dengan radio siaran.

Sendora berhasil dibentuk atas anjuran dan bimbingan tokoh politik, Oto Iskandardinata. Tokoh dengan julukan "Si Jalak Harupat" ini, sebulan sekali mengisi acara dan pidato di Bandung Hoso Kyoku. Beliau pulalah yang selalu membina semangat juang para pemuda yang bekerja di bidang komunikasi. Sekaligus selalu memberikan informasi tentang politik dalam dan luar negeri.

Selama masa persiapan, para pimpinan Sendora meningkatkan hubungan komunikasi dengan para pejuang. Termasuk dengan para pejuang radio siaran di Jakarta, terutama dalam kaitan rencana penyiaran proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rencana penyiaran peristiwa bersejarah itu, akan dilakukan pejuang radio melalui radio siaran bekas Hoso Kyoku yang berlokasi di Jalan Tegallega Timur 14 (sekarang Jalan Mohammad Toha) dengan menggunakan saluran modulasi milik jawatan PTT, yang pemancarnya berkekuatan 10 KW.

Namun, sampai tanggal 16 Agustus 1945, Jakarta Hoso Kyoku masih dijaga ketat bala tentara Jepang. Dengan demikian, tidak memungkinkan melakukan penyiaran melalui stasiun radio tersebut.

Sementara itu, di Bandung, pada saat yang sama terjadi peristiwa heroik yang dilakukan para pemuda pejuang radio, yang berhasil merebut dan mengambil alih studio dan pemancar Radio Bandung Hoso Kyoku, dari tangan Jepang.

Akhirnya, para pejuang radio di Jakarta memutuskan, agar tugas penyiaran proklamasi kemerdekaan itu, diambil alih Radio Bandung melalui saluran modulasi PTT dari Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Untuk itu, pimpinan Radio Bandung menugaskan dua orang teknisinya (Sukiyun dan Mislan) ke Jakarta, lengkap dengan peralatannya guna mempersiapkan rencana tersebut. Namun, usaha ini mengalami kegagalan akibat ketatnya penjagaan tentara Jepang dan diputusnya line telefon oleh tentara Jepang.

Atas musyawarah dan permintaan para pejuang di Bandung, akhirnya rekan-rekan pejuang radio di Jakarta, sepakat mengirim naskah proklamasi lewat kurir ke Bandung untuk segera disiarkan. Pada saat itu, Kepala Siaran Radio Jakarta, Muin, telah memiliki teks naskah proklamasi yang ditulis wartawan RRI saat hadir di Jln. Pegangsaan Timur 56 dan mengutus salah seorang kepercayaannya untuk mengirimkan salinan teks itu ke Radio Bandung. Pertanyaannya siapakah sang kurir tadi?

K.S. Kostaman, salah seorang wartawan RRI Bandung mengemukakan, bahwa kurir itu adalah Mohammad Adam, sahabat Adam Malik (mantan wapres RI) yang juga dikenal sebagai tokoh wartawan, yang pada saat detik-detik proklamasi, memimpin kantor berita Domei. Menjelang akhir hayatnya, Mohammad Adam bekerja pada kantor berita LKBN Antara di Bandung. Hal ini diungkap K.S. Kostaman dalam tulisan di buletin Kumandang terbitan RRI Bandung, edisi September 1987. Pemimpin umum/penanggung jawab penerbitan buletin saat itu adalah, Drs. H.R. Baskara (Kepala RRI Bandung).

Teks proklamasi diserahkan Moh. Adam kepada R.A. Darya langsung sebagai pimpinan siaran Radio Bandung, diterima pukul 17.00 WIB. Pada saat yang sama, RRI Jakarta berhasil mengudarakan teks proklamasi yang dibacakan Yusuf Ronodipuro dengan pemancar berkekuatan 1 KW saja sehingga jangkauannya terbatas dan tidak dapat diterima luar negeri.

Di Bandung, teks proklamasi dibacakan kembali oleh penyiar Radio Bandung. Kebetulan Radio Bandung memiliki pemancar khusus luar negeri, yaitu pemancar Gunung Malabar. Saat itu, pemancar ini yang terbesar kekuatannya di nusantara. Pemancar ini diresmikan 1923 untuk kepentingan Belanda juga hubungan dengan negara Eropa lainnya memiliki kekuatan 10 KW. Beberapa tahun kemudian hubungan komunikasi ini diperluas lagi sampai ke negara-negara Asia dan daratan Cina juga Jepang.

Radio Malabar ini pula yang kemudian mencatat sejarah bagi Republik Indonesia, yaitu menggaungkan teks proklamasi ke seluruh dunia. Sampai sekarang bekas bangunan Radio Malabar masih terlihat, berupa puing-puing setelah bangunannya dihancurkan tentara Jepang saat merebut Indonesia dari tangan Belanda.

Mengutip tulisan dalam buku 60 Tahun Radio Republik Indonesia terbitan 2005, dunia mendengar Indonesia merdeka dari Radio Bandung tanggal 17 Agustus 1945. Dunia digemparkan dengan pekik kemerdekaan yang berkumandang dari Radio Bandung, "Di sini Bandung, siaran radio Republik Indonesia".

Itulah suara penuh keyakinan dari R.A. Darya, dengan menyebutkan kalimat tersebut ia mengawali siaran Radio Bandung. Kalimat ini diilhami BBC London. Penyebutan Radio Republik Indonesia juga berdasarkan teks dari sambutan pidato Ir. Soekarno setelah membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dalam mengawali siarannya, para pejuang radio tidak berhasil menemukan lagu mars, yang ada hanya Kolonel Boogie sehingga lagu itulah yang diputar berulang-ulang sebagai ilustrasi musik menjelang dan mengakhiri pembacaan teks proklamasi oleh para penyiar Radio Bandung. Untuk tune-nya diputuskan menggunakan lagu kesenian Sunda yaitu Degung Ladrak dan Longser. Hal ini sesuai dengan pengakuan Imron Rosadi, pemuda pejuang Indonesia yang sedang berada di Bagdad Irak.

Sesungguhnya, para pemuda radio dan pejuang kemerdekaan di seluruh Indonesia juga luar negeri saat-saat menjelang kekalahan Jepang dari Sekutu sudah mendengar berita tentang dibomnya Hirosima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki sehari kemudian. Kehancuran dua kota besar di Jepang itu pulalah yang menyebabkan Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945 kepada Sekutu. Hal ini bocor ke telinga pejuang Indonesia, baik di dalam negeri maupun luar negeri karena banyak pemuda Indonesia memiliki radio meskipun sembunyi-sembunyi.

Hal ini pulalah yang menyebabkan peristiwa penculikan Rengasdengklok terhadap Ir. Soekarno. Adam Malik sebagai wartawan muda dan Mr. Ahmad Subarjo mendengar berita-berita kekalahan Jepang dari berita luar negeri sehingga ia beserta tokoh muda lainnya menginginkan Indonesia memproklamasikan diri. Setelah berdiskusi cukup alot, akhirnya disepakati esoknya tanggal 17 Agustus Ir. Soekarno dan Moh. Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan. Sore harinya rombongan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Malam itu pula konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno dan diketik ulang Sajuti Melik.

Sementara itu, saksi sejarah Imron Rosadi mengaku mendengar pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 dari Radio Bandung. Pada malam Jumat sekitar pukul 24.00 WIB sedang mengadakan salat malam di Jammi Mulla Hammadi dipimpin K.H. Usman Ayip, sementara doa oleh Imron Rosadi. Dalam doanya itu Imron Rosadi memohon agar Indonesia segera merdeka.

Menjelang tengah malam saat mencari-cari gelombang radio, Imron Rosadi mendengar suara Radio Bandung. Hal itu diyakininya karena Imron yang saat itu menjabat sebagai Perhimpunan Pemuda Indonesia di Bagdad Irak mendengar penyiarnya menyapa pendengar dengan "Di sini Bandung, siaran radio Republik Indonesia" yang diulang-ulang. Kemudian disusul dengan kalimat "proklamasi ..." dan seterusnya.

Mendengar siaran itu, H. Imron Rosadi meloncat kegirangan. Sambil berderai air mata ia berteriak, "Doa kita makbul, doa kita makbul". Apakah dengan demikian dapat dikatakan doa para pemuda Indonesia di Bagdad itu makbul adanya? Atau hanya kebetulan saja?

Akan tetapi kita harus yakin, bahwa doa mereka dikabulkan. Sebagaimana janji Allah Swt dalam firman-Nya, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu!"

Sementara itu, suasana Studio Radio Bandung di Jalan Tegallega Timur No. 14 saat dibacakannya teks proklamasi oleh para penyiar cukup menegangkan. Pemuda Sakti Alamsyah yang membacakan teks proklamasi pertama kali begitu bersemangat, mengulang-ulang kabar gembira ini, dilanjutkan penyiar-penyiar lainnya. Penyiaran ini juga didukung para teknisi Radio Bandung seperti Hasyim dan Sofyan Djunaedi.

Di luar studio, beberapa pemuda Radio Bandung sibuk berjaga dari kemungkinan serangan tentara Jepang. Mereka adalah Sam Amir, Herman Gandasomantri, Mohammad Salman, Odas Sumadilaga, Sukaesih, Abdul Rasid Razak, Memed Sudiono, Achdiyat, serta Brotokoesoemo.

Tepat pukul 19.00 WIB, berkumandanglah lagu kebangsaan "Indonesia Raya", disusul suara penyiar R.A. Darya yang penuh wibawa mengucapkan "Di sini Bandung, siaran radio Republik Indonesia", dilanjutkan suara Sakti Alamsyah yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Suara penyiar Sakti Alamsyah tersebut terpancar oleh siaran Radio Bandung melalui dua pemancar bekas Hoso Kyoku dan empat pemancar lainnya milik PTT pada gelombang pendek 124 meter, 109 meter, 19 meter, 31 meter, dan 41 meter. Siaran ini juga dipancarkan melalui pemancar-pemancar Palasari di Dayeuhkolot dan Malabar yang masing-masing berkekuatan 20 KW dan 100 KW. Pemancar milik Radio Bandung di Tegallega saat itu berkekuatan 1 KW dan yang di Ciumbuleuit kekuatannya 10 KW.

Tercatat tokoh-tokoh pejuang dari jawatan PTT yang ikut membantu pemuda Radio Bandung, di antaranya adalah Sudirjo, Soeharto, Sasudin, Rubinkain, dan Ir. Hok Tek Hong. Di Jakarta, pemuda Radio Jakarta yang telah mengambil alih Hoso Kyoku setempat pada 17 Agustus 1945. Selain Yusuf Ronodipuro yang membacakan teks proklamasi, juga beberapa penyiar lainnya. Di antaranya adalah Raden Tatang Sastrawiria yang telah menerjemahkan teks proklamasi dalam bahasa Sunda. Di Radio Bandung, teks proklamasi dalam bahasa Sunda ditulis R.A. Darya. Untuk bahasa lainnya, penulis belum mendapat informasi karena proklamasi kemudian dibacakan dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia.

Teks proklamasi itu menurutnya disiarkan melalui radio gelap di Jalan Thamrin Jakarta 17 Agustus 1945 sore.

Rd. Tatang kelahiran Tarogong Garut merupakan putra bungsu Sastrawiria dan Nyi Rd. Siti Resmana. Ia masih ingat, untuk bahasa Indonesia dibacakan Yusuf Ronodipuro. Selain itu, ia bersahabat dengan Adang Kadarusman, Mr. Oetoyo, Prof. Darajat, Baheramsyah, Bahrum Rangkuti, dan Mariam yang kemudian menjadi istrinya.

Selama Agustus para pejuang radio terus mengumandangkan proklamasi ke seluruh penjuru tanah air dan dunia. Bulan September beberapa radio di Jawa berkumpul di Jakarta untuk membentuk radio nasional, yang kelak dinamai Radio Republik Indonesia, tepatnya 11 September.

Sejak berdirinya RRI, para pejuang radio terus berupaya mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pahit dan manisnya perjuangan mempertahankan kedaulatan itu menjadi sejarah panjang RRI hingga saat ini.

Penulis sebagai bagian dari RRI berharap, sejarah ini tidak akan dilupakan generasi selanjutnya. Dan terpenting adalah tetap terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa, seperti diingatkan Allah Swt, "Dan janganlah kamu bercerai-berai, maka akan lemahlah kamu dan kehilangan kedaulatanmu --dan bersabarlah-- sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". (Q.S. Al-Anfal: 46).***

Penulis, mantan Kepala RRI Bandung.


Sumber: http://sukasejarah.org

1 komentar

Dita Wiryowidigdo mengatakan...

Terima kasih telah membagi pengetahuannya akan sejarah penting Indonesia dimana secara de jure dan de facto berkat siaran tersebut Indonesia diakui oleh dunia. Sayangnya setahu saya ini belum masuk ke buku-buku sejarah yang digunakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia.