Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Menghidupkan Kembali Citadelweg


GUBERNUR Jenderal Van den Bosch, bisa dikatakan sebagai arsitek pertahanan. Sistem pertahanan diberi nama sesuai dengan namanya, Defensielijn Van den Bosch. Nama Van den Bosch juga biasa dihubungkan dengan benteng. Di Batavia, defensielijn (garis pertahanan) itu terbentang dari belakang Stasiun Senen (Jalan Bungur Besar), memanjang dari ujung selatan ke utara. Di ujung utara, defensielijn membelah ke arah barat melintas Sawah Besar, Krekot, Gang Ketapang dan di Petojo garis pertahanan ini memanjang hingga Monas.

Defensielijn tak lantas berhenti di Monas. Garis pertahanan ini berlanjut ke Tanah Abang, masuk ke Kebon Sirih hingga jembatan Prapatan dan Kramat Bunder. Garis pertahanan nan panjang itu berhubungan dengan Benteng (Citadel) Frederik Hendrik yang dibangun di tengah-tengah Wilhelmina Park. Van den Bosch jugalah yang membangun Citadel Frederik itu pada 1834.

Di atas benteng ini dipasang lonceng besar. Pemilik lonceng ini, menurut buku Jakarta Tempo Doeloe, tak lain adalah toko arloji milik orang Belanda di Rijswijk (Jalan Veteran), Van Arken demikian nama toko itu. Siang dan malam tentara menjaga benteng ini. Tiap pukul 05.00 dan 20.00 bunyi meriam terdengar dari benteng ini. Bunyi meriam itu sebagai tanda bagi pihak tentara saja. Di atas reruntuhan Citadel Frederik itu kini berdiri Masjid Istiqlal.

Di sepanjang tahun 1950, Wilhelmina Park dalam kondisi telantar. Sepi, gelap, kotor. Tembok bekas benteng dibiarkan berlumut dengan rumput ilalang di mana-mana (akhirnya bekas benteng inipun dirobohkan). Setelah Bung Karno menetapkan lokasi untuk pembangunan masjid yaitu di Taman Wilhelmina atau persisnya di atas reruntuhan benteng, maka pada 1960 taman tersebut dibersihkan. Setahun kemudian, masjid yang kita kenal sebagai Masjid Istiqlal pun mulai dibangun.

Tak jauh dari Wilhelmina Park, serta benteng Frederik, terbentang dua jalan yang di abad 19 menjadi kawasan elit bagi penduduk Eropa, khususnya Belanda, yaitu Rijswijk (Jalan Veteran) dan Noordwijk (Jalan Juanda). Di sepanjang jalan ini bertumbuhan bisnis orang Eropa seperti bisnis hotel, restoran, toko kue, dll. Di ujung Jalan Veteran, di mana terdapat hotel legendaris, Hotel Sriwijaya yang sudah dimulai oleh CAW Cavadino pada 1863 sebagai restoran dan toko kue, terdapat jalan bercabang di mana jalan ini berada tak jauh dari taman. Nama jalan itu Citadelweg, sebuah jalan menuju benteng (citadel) Frederik Hendrik di Taman Wilhelmina.

Sepotong jalan yang kini berada di samping Masjid Istiqlal itu kini masih bertahan, namanya menjadi Jalan Veteran I. Di jalan ini pula, kedai es krim Italia “Ragusa” menorehkan sejarahnya di Batavia di sekitaran tahun 1930-an. Hingga kini, kedai itu masih ada di tempat yang sama, dengan kondisi yang tentunya sudah harus menyesuaikan perkembangan jalan.

Pada ahad lalu, sebuah perhelatan digelar di sepojok jalan ini. Perhelatan perdana yang sederhana namun diharapkan akan terus berkembang di masa depan sebagai salah satu atraksi wisata Jakarta. Adalah Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) yang menggelar acara Temu Pusaka 16-18 Oktober, mencetuskan untuk menghidupkan kembali jalan tersebut dengan sebuah event awal, Festival Jalan Veteran I. Di kemudian hari barangkali saja nama festival itu bisa jadi Festival Citadelweg, disambut baik oleh Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni.

Festival yang dimaksudkan sebagai penutup acara Temu Pusaka itu berisi sajian tari tradisional seperti tari topeng. Tahun depan, festival ini tentu akan dinantikan banyak pihak. Harapannya, pasti, festival ini akan berbeda dengan festival jalanan lainnya, seperti Festival Jalan Kemang atau Festival Jalan Jaksa. Pasalnya, Citadelweg punya kisah panjang yang jauh lebih menarik dengan seluruh kawasan di sekitarnya yang juga berjejal sejarah. Tambahan lagi, Jalan Veteran I juga punya nilai plus lain, si pemanis bernama “Ragusa”.

*Kompas.com


Tidak ada komentar