Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila (ke-2)


Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka” maka sekarang yang bicarakan tentang hal dasar.

Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophisce grondslag, atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanscahuung”, filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”. Yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan “Tenoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tenoo Koodoo Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Sovyet – Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shock the world”, “Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet- Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu dicobakan di “generala-repetitie-kan”.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?


Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doctor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung”nya telah diikhtiarkan tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh doctor Sun Yat Sen. Weltanschauung itu, baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah, San Min Chu-I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?

Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakana lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara. Janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakana kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Rena syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu” perlu orang-orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le, desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah “Eine Nation ist eine aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenchap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “I’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT, membuat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benuar Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia adalah “golbreker” atau pengadang gelombang lautan Pacific adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.

Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah-air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah-air kita!

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Jogja pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Jogja pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.

Pendek kata, bahasa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi, Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adlah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu-satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jerman ialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar, dan Orissa, tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu, kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrooesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan national staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hassanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.

Tuan Lim Koem Hian: Bukan begitu! Ada sambungannya lagi.

Tuan Soekarno: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak da bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “mensch heid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya: Jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, — ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.


Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu, Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, — masuk ke lobang kabur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara, Tetapi… tetapi… menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia Uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu!

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsan saya adalah peri kemanusiaan”. “My nationalism is humanity”.

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutshland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa minulyo, berambut jagung dan bermata biru “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulya serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. –(Bersambung)

Sumber: rosodaras.wordpress.com

Tidak ada komentar