Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Tiga Faktor Penyebab Peristiwa G30S 1965

Tulisan A.Karim D.P, mantan wartawan senior dan Ketua PWI tentang Gestok. 

pengantar saya: tulisan lama ini saya siarkan ulang, mengingat gelombang aksi anti-komunis digalakkan kembali akhir-akhir ini. Ini kelihatan dari seruan Ketua DPR-RI Marzuki Alie untuk mewaspadai ‘kebangkitan kembali komunisme’, dan acara seminar internasional tentang Peristiwa G30S 1965 di Goethe Inst. Jakarta hari ini terancam didemo ‘pemuda Islam’ dan dan pelarangan oleh pihak kepolisian. 
hersri 

A. Karim DP 
Tiga Faktor Penyebab Peristiwa G30S 1965

Kejadian terpenting di tanah air kita dewasa ini ialah terpilihnya Gus Dur dan Mbak Mega menjadi presiden dan wakil presiden RI yang baru, yang menandai tumbangnya rezim otoriter yang memasung rakyat selama 34 tahun. Saya mengucapkan selamat! 
Sekarang, apa yang kita harapkan dari Gus Dur dan Mbak Mega? Ialah dikembalikannya kedaulatan ke tangan rakyat, dan diberdayakan untuk mengakhiri ketertindasannya selama 34 tahun. 
Kemudian, dalam hubungannya dengan sarasehan kita hari ini, perkenankanlah saya mengingatkan tentang status sosial politik Bung Karno, ayahandanya Mbak Mega, yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu. Mengutip keterangan seorang kawan saya yang sarjana hukum, Bung Karno sampai saat itu sesungguhnya masih dalam status sebagai tapol Belanda. Alasannya, masih menurut kawan saya itu, karena beliau ditinggalkan begitu saja di Padang oleh serdadu-serdadu Belanda yang mengawalnya dari Bengkulu (tempat pembuangannya yang terakhir), tanpa diberi Surat Pembebasan atau diberitahukan bahwa beliau sekarang dibebaskan. Itu berarti, bahwa Bung Karno telah membebaskan dirinya sendiri sebagai tawanan pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, sesudah Hindia Belanda takluk kepada Jepang, pemerintah militer Jepang pun tidak pernah membebaskannya. 
Problem ini saya kemukakan di sini, mungkin dengan demikian kita nanti akan mendapat penjelasan dari pakar hukum tata negara, yaitu Prof. Loebby Luqman SH dan Pieter Kasenda. Beliau berdua yang hadir di sini, juga akan tampil ke mimbar sesudah saya. 
Bagi Pakorba kejelasan ini penting untuk penulisan ulang sejarah. Karena sesudah Jenderal Suharto menggulingkan Bung Karno, kembali Bung Karno dijadikannya tapol. Malah status Bung Karno sebagai tapol Orba itu disandangnya terus, sampai beliau meninggal di dalam tahanan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Saya pikir, beliau sangat patut kita angkat menjadi anggota Pakorba anumerta. 
Saya ingin mengingat kembali tentang dua tokoh Presiden RI itu. Ketika Bung Karno berjuang hidup-mati untuk kemerdekaan Tanah airnya, Jendral Suharto yang telah menapolkan Panglima Tertingginya itu, adalah Kopral KNIL dari Tentara Kerajaan Belanda. Ia menerima latihan kemiliterannya di Gombong, dan kemudian dipindah ke Malang setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Semua kita mengerti bahwa tugas pokok serdadu KNIL ialah menghancurkan gerakan kemerdekaan. Bukan berperang melawan musuh dari luar! 
Dalam otobiografinya yang ditulis oleh G.Dwipayana dan Ramadan K.H, Suharto mengatakan bahwa ia menemukan kesenangan dan tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaannya sebagai kopral KNIL. Apalagi lima tahun kemudian, setelah pangkatnya naik menjadi sersan. 
Sesudah Jenderal Suharto berhasil menggulingkan Presiden Sukarno pada tahun 1966 dengan menuduhnya sebagai dalang G30S-PKI, beliau lalu dijadikannya sebagai tapol sampai meninggal di dalam tahanan. Seperti sudah saya kemukakan di atas, tanpa bisa dan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya. Sesudah Bung Karno meninggal, barulah Jenderal Suharto mengatakan: “ Kecurigaan bahwa beliau terlibat dalam G30S-PKI sudah bisa dikesampingkan, karena hal itu belum bisa dibuktikan.” ( Suharto, Otobiografi, halaman 245). 
Jadi, TAP MPRS no.XXXIII/1967 yang direkayasa oleh Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution untuk menggulingkan Presiden Sukarno, sepenuhnya berlandaskan kepalsuan semata-mata. Karena ternyata setelah meninggalnya, Bung Karno diakui tidak terbukti terlibat G30S-PKI. 
Mula-mula dikatakan G30S adalah gerakan yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno. Setelah tindakan kudeta ternyata tidak ada, kasusnya dibalik dengan mengatakan Bung Karno adalah G30S-PKI Agung. Gestapu Agung, kata mereka. 
Seminggu sebelum Bung Karno meninggal, yaitu tanggal 15 Juni 1970, Bung Hatta menulis surat kepada Jenderal Suharto yang menyesali sikapnya, karena setelah tiga tahun “mengusut kasus Bung Karno”, belum juga menghadapkan yang bersangkutan ke pengadilan. 
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kata Bung Hatta dalam suratnya, banyak orang percaya bahwa Sukarno tidak bersalah, dan bahwa peristiwa G30S-PKI hanya dipergunakan untuk menjatuhkan Sukarno. Bung Hatta menambahkan, bila Sukarno meninggal tanpa dibawa ke pengadilan, ia khawatir para pengikutnya bisa menuduh pemerintah “sengaja membunuh dia”. Baca: Moh, Hatta, Otobiografi Politik, hal. 701-702). 
Bukankah Bung Karno memang telah dengan sengaja dibunuh, seperti yang dikhawatirkan Bung Hatta itu? 
Bung Karno telah gugur bersama tiga juta rakyat Indonesia yang dibantai oleh rezim Suharto, seperti diakui oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (sebelum ia meninggal) kepada Bapak Permadi SH, yang juga anggota pengurus Pakorba dan anggota DPR/MPR Fraksi PDI-Perjuangan. Sebetulnya Bapak Permadi SH hanya ingin menanyakan, apakah benar orang-orang G30S yang terbunuh berjumlah dua juta orang seperti yang dikatakan oleh Ibu Ratnasari Dewi, istri Bung Karno yang orang Jepang itu. Sarwo Edhie menjawab, bukan dua juta tapi tiga juta. 
Jika angka yang disebut Jenderal Sarwo Edhie dianggap terlalu banyak, ada angka lain yang lebih sedikit. Yaitu angka dari Panitia Amnesti Internasional yang berpusat di London, yang menurutnya hanya satu juta saja. Ada lagi angka lain yang menarik, yaitu dari K.H. Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang sekarang Presiden kita. Dalam wawancaranya dengan wartawan mingguan “Editor” (No. 49, Th. VI, 4 Sep 1993), Gus Dur menegaskan bahwa “orang Islam membantai 500.000 eksPKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh mereka yang tidak termasuk orang Islam”, kata Gus Dur. 
Pembantaian besar-besaran inilah yang dikenal di dunia sebagai tindakan pemusnahan umat manusia yang dibenarkan. Apa sebab dikatakan sebagai pemusnahan umat manusia yang dibenarkan? Sebab, sesudah 34 tahun peristiwa itu berlalu, belum pernah ada komisi resmi yang meneliti kejadian ini. Seolah-olah masalahnya dianggap telah liwat begitu saja, tanpa perlu pertanggungjawaban dari para pelakunya. 
Tetapi saya dengar sekarang di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin sudah ada gerakan-gerakan yang bekerja untuk menghimpun data dari kejahatan penumpasan G30S di Indonesia. Malah saya baca dalam notulen rapat pengurus Pakorba tanggal 30 Sep 1999 yang lalu, adanya ajakan kerjasama dari satu kelompok di Perancis yang dipimpin oleh istri bekas Presiden Perancis. 
Mereka ini ternyata malah sudah mempunyai data-data kejahatan Suharto, yang bisa dijadikan dasar untuk menggugatnya di muka tribunal internasional.
“Pembantaian yang dilakukan oleh massa anti-PKI di Indonesia, merupakan salah satu yang terburuk dalam jajaran pembantaian massa dari abad XX”, tulis Helen Louise Hunter, seorang peneliti dari CIA. Atau perhatikanlah angka perbandingan yang dikemukakan oleh Bertrand Russel. Ia mengatakan bahwa dalam empat bulan pembantaian di Indonesia, jumlah orang yang mati sudah sebanyak lima kali lebih besar dibanding dengan jumlah korban mati selama tahun peperangan di Vietnam.
Apakah G30S itu?
Bung Karno dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor 6 Okt 1965, yang dihadiri juga oleh Nyoto, seorang anggota Politbiro dan Wakil Ketua PKI yang menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Sekretariat Negara, mengatakan bahwa G30S terjadi karena adanya tiga faktor. Penilaiannya ini diulangi lagi dalam pidato Pelengkap Nawaksara di depan Sidang MPRS pada 19 Jan 1967. 

Ketiga faktor dimaksud ialah: 
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI. 
2. Lihainya Nekolim. 
3. Adanya oknum yang tidak beres dalam tubuh kita sendiri. 

Sebelum menguraikan tiga faktor yang disebutkan Bung Karno di atas, sebaiknya kita ketahui dulu penilaian Jenderal Suharto dengan Orde Baru-nya mengenai G30S. Menurut Suharto, dipandang dari sudut mana pun, G30S sama dengan PKI. Itulah sebabnya di belakang nama G30S ditambahkan “PKI”, sehingga menjadi G30S-PKI. Tentang hal ini diuraikannya panjang lebar di dalam Buku Putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada tanggal 1 Okt 1994. Yang mengherankan, Buku Putih ini sulit sekali diperoleh, entah disembunyikan di mana. Jangan-jangan karena mutunya dianggap oleh Suharto sama saja dengan film G30S-PKI, yang tadinya harus ditayangkan di semua TV setiap tahun, tapi kemudian ditarik dari peredaran, karena banyak kepalsuan di dalamnya. 
Ketika membaca Buku Putih yang tebalnya tiga ratus halaman itu, saya benar-benar dapat menikmatinya seperti membaca sebuah buku komik yang mengasyikkan. Apa lagi nama saya, A.Karim DP, ikut diserempet-serempet di dalamnya. 
Saya ditahan empat belas tahun dua belas hari di penjara Salemba. Dan di situlah saya bertemu dengan para pelaku Gerakan 30 September. Saya bertemu dengan Letnan Kolonel Untung Samsuri, Kolonel Latief, Nyono (tokoh pertama PKI Jakarta Raya). Noorsuhud (anggota CC-PKI), semua komandan regu dan anggota-anggotanya yang mengambil enam jenderal, yang kemudian menjadi “Pahlawan Revolusi” di Lubang Buaya. Saya bisa bertemu dan bergaul dengan mereka karena saya diklasifikasikan sama seperti mereka. Jadi saya dimasukkan sel tahanan yang paling berat sama dengan mereka. Konsinyesnya kami tidak boleh berbicara satu sama lain, dikunci di selnya sendiri-sendiri. Tapi dalam kenyataannya, selama empat tahun saya berada satu blok dengan mereka, yaitu di Blok “N” yang juga dikenal sebagai Blok Neraka. Saya berhasil mewawancarai semua mereka, dan rekaman hasil wawancara itu sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dalam ingatan saya.

Untuk ilustrasi, baik saya gambarkan sedikit lokasi Blok “N” yang mengerikan itu. Untuk sampai ke sel kami harus melewati delapan pintu yang semuanya dikunci. Petugas yang memanggil kami jika akan diperiksa, harus membawa serenteng kunci untuk membukai pintu-pintu besi, dan mengeluarkan kami dari sel yang kemudian segera menguncinya kembali. Karena itu sampai ada sesama tapol yang berseloroh mengatakan: Makhluk setingkat iblis dan setan pun tidak akan mampu menembus delapan pintu besi yang selalu terkunci dan menggoda kami. Itulah sebabnya, kami semua aman dari gangguan setan dan iblis. 
Tema dari sarasehan kita sekarang ini ialah untuk menjernihkan sejarah yang selama ini telah dibikin keruh oleh film G30S-PKI dan Buku Putih Sekretariat Negara. Dalam hubungan ini ada kejadian yang menarik ingin saya tuturkan. 
Pada tanggal 9 November 1998, di Universitas Indonesia Depok, diselenggarakan Seminar dengan tema “Meluruskan Sejarah”. Kebetulan saya mendampingi Bapak Manai Sophiaan yang telah berusia 84 tahun dan fisiknya sudah lemah, yang diminta menyampaikan makalah. Makalah itu tebalnya 17 halaman, dengan judul “G30S sebuah holokaus yang diterima sesudah Perang Dunia II”. Bapak Manai Sophiaan menyebutkan arti holokaus, menurut kamus Inggeris, ialah “a complete desruction of human lives”. Mengerikan sekali! 
Waktu moderator membuka kesempatan kepada floor untuk mengajukan tanggapan, seorang peserta bertanya: “Siapa sebetulnya yang membuat G30S itu”? Bapak Manai Sophiaan menjawab dengan lantang: “Jenderal Suharto!”
Alasannya sudah disebutkan dalam makalah. Tanggal 21 September 1965 Jenderal Suharto selaku Panglima KOSTRAD, dengan radiogram no. Rdg. T 293/9/1965 memerintahkan kepada Batalyon 454/Diponegoro, 530/Brawijaya, 328/Siliwangi dan Kesatuan Artileri dari Cimahi supaya datang ke Jakarta selambat-lambatnya 23 September 1965, dengan membawa perlengkapan tempur GARIS SATU. Bapak Manai Sophiaan juga mengutip keterangan Kol. Latief di muka sidang MAHMILTI II Jawa Bagian Barat (tidak disebutkan tanggalnya) yang mengatakan, bahwa Jenderal Suharto bermuka dua, dengan sebelah kakinya ada di Dewan Jenderal dan sebelah yang lain ada di G30S. Kolonel Latief memastikan bahwa keterlibatan Suharto dalam gerak ini sudah sejak permulaan sekali. Dua minggu sebelum meletusnya peristiwa G30S, Kol. Latief menghadap Jenderal Suharto mempersoalkan adanya kegiatan Dewan Jenderal yang merencanakan coup d’etat terhadap Presiden Sukarno. Dua hari sebelum operasi pengambilan enam Jenderal, ia menemui Suharto lagi. Pertemuan Latief terakhir dengan Suharto terjadi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat “Gatot Subroto”, 30 September 1965 pukul 23:00 selama 30 menit. Suharto berada di RSPAD Gatot Subroto, menunggui anaknya Tomy yang sedang dirawat karena tersiram sup panas.
Oleh karena itu untuk menyingkap kabut 1 Oktober 1965 seperti yang dimaksud oleh tema sarasehan ini, saya mencoba bertolak dari penilaian Bung Karno seperti yang saya kutip di atas tadi. Berikut ini pengalaman dan pengetahuan saya mencermati tiga faktor yang disebut oleh Bung Karno sebagai penyebab terjadinya G30S.

1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI Pada tanggal 23 Juni 1965 delegasi Indonesia Ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Sukarno, berangkat dari Jakarta. Seperti biasa, anggota delegasi diperkuat dengan ikut sertanya wakil-wakil NASAKOM. Wakil PKI adalah D.N. Aidit sendiri. Saya ikut dalam rombongan ini sebagai wartawan.
Konperensi gagal diselenggarakan karena gedung konperensi yang dibangun oleh Uni Soviet, telah diledakkan oleh satu komplotan yang tidak jelas waktu itu. Delegasi Bung Karno berhenti di Kairo. Di sini diselenggarakan KTT Kecil empat negara, yaitu: Indonesia, Mesir, Pakistan, dan RRT, yang memutuskan menunda konperensi enam bulan, dan tetap akan diadakan di Aljazair.
Sesudah itu Bung Karno dan rombongan meneruskan perjalanan ke Paris. Di sini para Duta Besar kita di Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika Serikat dikumpulkan untuk mendapat penjelasan dari Bung Karno mengenai penundaan KAA II tersebut.
Aidit juga ikut ke Paris, tapi dari sana ia meneruskan perjalanannya sendiri ke Moskow. Kesempatan selama berada di Paris, ia gunakan untuk mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Partai Komunis Perancis. Kebetulan ketika itu juga sedang berada di sana enam kamerad mereka dari Aljazair, yang melarikan diri dari negeri mereka karena takut ditangkap oleh Kolonel Boumedienne, yang telah berhasil menggulingkan dan merebut kekuasaan Presiden Ben Bella.
Sekembali Aidit dari pertemuan tersebut, yang katanya diselenggarakan di kantor organ Partai Komunis Perancis L’Humanite, saya mencegatnya di hotel tempatnya menginap. Saya tanyakan kepadanya mengenai hasil pertemuannya dengan kamerad-kameradnya itu. Pertama-tama dikatakannya, bahwa ia sudah minta kepada enam kameradnya dari Aljazair supaya mereka segera kembali ke negeri mereka, dan memberikan dukungan kepada Boumedienne. Dalam diskusi yang mereka lakukan, kata Aidit, berdasarkan bahan-bahan yang disampaikan oleh kamerad-kamerad dari Aljazair, karakter coup d’etat Boumediene dapat dikategorikan sebagai coup d’etat yang progresif. Oleh karenanya patut didukung oleh rakyat. Jika 30% dari rakyat mendukungnya, maka coup d’etat itu bisa diubah sifatnya menjadi revolusi rakyat yang akan menguntungkan perjuangan rakyat Aljazair. Begitu kata Aidit. Ia menjanjikan akan menjelaskan teorinya ini nanti di tanahair, karena waktu itu ia terburu-buru harus segera berangkat ke lapangan terbang untuk meneruskan perjalanannya ke Moskow.
Aidit mengatakan kepada saya, bahwa di Indonesia sudah diketahui adanya rencana coup d’etat yang akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Coup d’etat yang hendak dilancarkan Dewan Jenderal itu, adalah coup d’etat yang reaksioner, berbeda dengan yang telah terjadi di Aljazair.
Saya mendengar dari seorang kader PKI yang ikut bergerak pada tanggal 1 Oktober 1965, Aidit memerintahkan kepada Ketua Biro Khusus PKI Syam Kamaruzzaman, supaya bergabung dengan perwira-perwira maju yang akan menggagalkan coup d’etat Dewan Jenderal. Selama di dalam tahanan kebetulan saya juga bertemu dengan beberapa anggota perwira yang disebut sebagai maju. Mereka menceritakan, bahwa rapat-rapat persiapan gerakan yang tempatnya berpindah-pindah itu selalu dipimpin oleh Kamaruzzaman. Adit atau tokoh-tokoh PKI lainnya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat ini. Kamaruzzaman mula pertama dibawa oleh Untung, dan diperkenalkan sebagai intelnya pribadi.
Banyak tokoh-tokoh PKI yang ditahan di Salemba menolak jika dikatakan PKI terlibat dalam G30S. Kamaruzzaman tidak bisa dikatakan mewakili PKI, karena oleh PKI sendiri kemudian tokoh ini dianggap misterius. Ia bahkan diduga agen CIA yang berhasil diselundupkan ke dalam tubuh PKI dan berhasil pula mengibuli Aidit.
Nyono sebagai Sekretaris PKI Komite Daerah Besar Jakarta Raya yang dihadapkan ke sidang Mahmilub, tidak berhasil menghindarkan tuduhan keterlibatan PKI. Sehingga oleh karenanya ia dijatuhi hukuman mati.
Belum sampai coup d’etat Dewan Jenderal menjadi kenyataan, sudah didahului oleh Gerakan 30 September yang secara tidak profesional membuat pernyataan mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Tetapi pendemisioneran itu sama sekali tidak efektif. Bahkan para anggota Dewan Revolusi, yang ditugasi mengambil alih kekuasaan, tidak seorang pun berfungsi. Karena mereka semua hanya diumumkan begitu saja, tanpa persetujuan atau dikonsultasikan dengan yang bersangkutan. Saya sendiri mereka angkat sebagai anggota Dewan Revolusi nomor 45. Tapi begitu diumumkan, langsung saya keluarkan pernyataan penolakan saya terhadap pengkatan itu, yang segera pula disiarkan oleh KB “Antara” dan RRI. Menurut keterangan rekan-rekan di KB “Antara”, saya adalah orang pertama yang menyatakan menolak pengangkatan Dewan Revolusi. Lain-lainnya seperti Jenderal Amir Mahmud, Jenderal Umar Wirahadikusumah, KSAL Laksamana Martadinata dll, baru mengeluarkan pernyataan menolak dua atau tiga hari kemudian. Dari PNI ada enam nama yang dimasukkan sebagai anggota Dewan Revolusi, antara lain saya dan Ibu Supeni.
Walhasil, G30S yang dipimpin oleh Untung Samsuri, hasilnya hanya membunuh enam jenderal. Dan sesudah itu seluruhnya dihancurkan oleh Suharto pada tanggal 1 Oktober 1965 malam.

II. Lihainya Nekolim
Menjelang meletusnya G30S Bung Karno sangat mencurigai seorang diplomat AS, Marshall Green, yang dicalonkan oleh State Department untuk menggantikan Howard Jones sebagai Dubes AS di Jakarta. Karena diplomat itu, diketahui oleh Bung Karno, selalu membuat keonaran dengan mencampuri urusan dalam negeri negara-negara di mana dia ditempatkan.
Oleh karenanya, pada suatu hari sesudah sidang kabinet inti, Presiden memanggil saya menghadap dan memerintahkan supaya mengadakan kampanye nasional menolak Marshall Green. Saya diperintahkan saat itu juga mempelajari konduite Marshal Green yang ada di dalam bundel Menlu Dr. Subandrio. Bersama Subandrio saya menuju ke kantornya. Di sana salah seorang pegawainya memberikan kepada saya sebuah map yang berisi dokumen mengenai Marshall Green.
Rupanya ada ketidaksengajaan dari petugas yang memberikan map kepada saya itu. Dalam map itu terdapat juga konsep Surat Persetujuan dari Pemerintah RI mengenai penempatan Marshall Green di Indonesia yang sudah dalam keadaan terketik. Tentu saja saya terkejut setelah membacanya. Karena untuk apa mengadakan kampanye nasional menolak Green, jika Surat Persetujuan-nya sudah disiapkan? Saya pura-pura tidak tahu tentang konsep surat ini. Dan setelah membaca semua isi map, saya mengembalikannya lagi kepada petugas yang telah menyerahkannya kepada saya itu.
Sesudah saya katakan kepada Subandrio bahwa konduite Green sudah saya pelajari, ia lalu bertanya: Jadi, sekarang apa yang akan engkau kerjakan? Saja jawab: Melaksanakan perintah Presiden. Yaitu segera mengeluarkan instruksi kepada semua penerbitan pers di seluruh Indonesia untuk melakukan kampanye menolak Green.
Tiba-tiba Subandrio mengatakan: Apakah engkau bersedia bertanggung jawab jika, sebagai akibat dari kampanye nasional itu, Armada VII AS memasuki Teluk Jakarta dan mengancam kita?
Dr. Subandrio tidak setuju diadakan kampanye menolak Green. Karena itu saya katakan kepadanya, segera akan menemui Bung Karno lagi dan menyampaikan sikap Menlu. Subandrio mencegah saya pergi ke istana menemui Bung Karno dan mengatakan, ia sendiri yang akan menyelesaikannya dengan Presiden. Beberapa hari kemudian muncullah berita di surat-surat kabar, bahwa Marshall Green segera akan menduduki posnya yang baru di Jakarta.
Tanggal 26 Juni 1965 Dubes AS Green menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Agaknya Bung Karno tidak bisa menahan emosinya. Dalam pidato jawaban setelah menerima surat kepercayaan itu, Bung Karno menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Green menulis dalam memoarnya, bahwa hampir saja ia meninggalkan ruangan upacara setelah mendengar serangan Bung Karno. Tapi, katanya, tidak ada pilihan lain kecuali tetap berdiri sampai acara selesai. Kalau ia meninggalkan acara, ia khawatir akan menyebabkan Sukarno lebih marah dan mempersona-non-gratakannya. Green tentu tak mau diusir dari Indonesia oleh sikapnya melanggar tatacara protokol, karena ia sangat berkepentingan menjalankan misinya, yaitu membantu mencetuskan G30S.
Marshall Green berhasil sepenuhnya, di mana AS|membantu Jenderal Suharto menggulingkan Sukarno.
Pada Mei 1990 Nona Kathy Kadane dari Universitas Columbia di AS, menyiarkan tulisannya mengenai Indonesia yang dimuat dalam berbagai media cetak. Dalam tulisannya itu ia mengemukakan, bahwa “pemerintah AS memainkan peranan penting dalam satu usaha pembantaian terburuk di abad ini, dengan menyediakan nama-nama ribuan pemimpin dan kader PKI kepada tentara untuk dibunuh atau ditangkap.”
Kathy Kadane mengatakan, ada enam orang eksper pada Biro Intelijen dan Riset Departemen Luar Negeri AS, yang beroperasi di Jakarta, dikepalai oleh Dubes Marshall Green.
Catatan di atas salah satu contoh saja dari sekian banyak bentuk kerja nekolim di Indonesia.

III. Ketidakberesan dalam tubuh kita sendiri
Sebelum berangkat ke KAA II di Aljazair, sementara Kolonel Boumedienne baru saja melakukan coup d’etat terhadap Presiden Ben Bella, seperti diuraikan di atas, di Jakarta sudah beredar desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merombak personalia Kabinet Dwikora. Menurutnya personalia itu akan memprioritaskan para jenderal dan tokoh-tokoh sipil yang antikomunis sebagai menteri.
Sebagai wartawan saya berusaha mencari kejelasan mengenai desas-desus ini. Pertama-tama saya bertanya kepada Kepala Pusat Penerangan AD Brigjen Ibnu Subroto, yang saya kenal baik. Pada suatu malam saya diundangnya makan malam di rumahnya di kawasan Banteng. Sambil makan malam ia menjelaskan versi AD mengenai Dewan Jenderal kepada saya.
Ia meyakinkan saya, bahwa Dewan Jenderal yang dimaksud hanyalah dewan kepangkatan yang memproses kenaikan pangkat para jenderal. Dibantahnya dengan keras desas-desus bahwa Dewan Jenderal hendak melakukan coup d’etat.
Tapi karena makin lama desas-desus makin keras gaungnya, saya pun berusaha menanyakannya kepada Kepala Staf Biro Pusat Intelijen (BPI), Jenderal (Pol) Sutarto. Dia membenarkan berita itu, tapi minta kepada saya agar jangan diumumkan. Belakangan saya mendapat keterangan lagi dari Jaksa Agung Muda Brigjen Sunario dengan penjelasan yang sama.
Menjelang meletusnya G30S, di PWI masuk laporan tentang rencana susunan Kabinet Dewan Jenderal tapi belum lengkap. Dalam susunan itu terdapat nama Dr. Ruslan Abdulgani. Karena Ruslan Abdulgani adalah salah satu Ketua DPP PNI, sedang saya anggota Badan Pekerja Kongres PNI, maka buru-buru berita ini saya sampaikan kepada Pak Ruslan di rumahnya. Tapi dengan tegas Pak Ruslan membantahnya, dan minta kepada saya untuk melaporkan lagi jika ada berita baru menyangkut perkembangan tersebut. Hal ini saya tanyakan juga kepada Wakil PM III Dr Chaerul Saleh, karena namanya pun disebut-sebut. Pak Chaerul membantah dengan keras. Waktu itu ia sedang bersiap-siap hendak berangkat ke Beijing, memimpin delegasi MPRS yang diundang RRT untuk menghadiri peringatan ulang tahun berdirinya RRT, tanggal 1 Oktober. Agak mengejutkan saya karena, meskipun saya termasuk juga sebagai anggota MPRS, namun nama saya tidak terdapat dalam susunan delegasi. Ia sebagai Ketua MPRS minta supaya saya ikut bersamanya dalam delegasi. Waktu masih ada untuk mengurusnya, katanya.
Tapi saya minta maaf, bahwa saya tidak bisa ikut. Alasan saya, karena baru saja kembali dari luar negeri, dan memang banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.
Meskipun tentang susunan Kabinet Dewan Jenderal masih sangat saya ragukan. Berita ini telah dibantah juga oleh Menpangad Jenderal A.Yani, ketika ia ditanya oleh Presiden. Tapi lama-kelamaan desas-desus ini menjadi fakta politik yang beredar di kalangan masyarakat terbatas.
Baru sesudah sidang Mahmilub dibuka, Letkol Untung membeberkan susunan Kabinet Dewan Jenderal yang menyebabkan kelompok perwira-perwira maju melancarkan operasi menangkap para calon menteri Kabinet Dewan Jenderal.

Mereka itu ialah:
1. Perdana Menteri: Jenderal A.H. Nasution
2. WPM/Hankam/Kasab: Jenderal A.Yani
3. WPM/Pembina Jiwa Revolusi/Penerangan: Jenderal (Tit.) Dr. Ruslan Abdulgani
4. Menteri Dalam Negeri: Jenderal Suprapto
5. Menteri Luar Negeri: Jenderal Haryono
6. Menteri Kehakiman: Jenderal Sutoyo
7. Menteri Jaksa Agung: Jenderal Suparman
Menteri-Menteri lainnya tidak disebutkan.

Susunan Kabinet Dewan Jenderal ini diungkapkan oleh Nyono, yang diadili kemudian. Dia katakan bahwa susunan tersebut telah disahkan oleh rapat pleno Dewan Jenderal tanggal 21 September 1965 di Gedung Akademi Hukum Militer, Jalan Dr. Abdulrahman Saleh, di mana disebut-sebut bahwa anggota Dewan Jenderal seluruhnya berjumlah 40 orang. Tapi yang aktif 25 orang, dengan tokoh utamanya tujuh orang, yaitu: A.H. Nasution, A.Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo dan Sukendro. Rapat pleno yang mengesahkan susunan Kabinet Dewan Jenderal itu, kata Nyono, dipimpin oleh Suparman dan Haryono karena A.H. Nasution dan A. Yani berhalangan hadir.
Rapat ini juga memutuskan akan melaksanakan coup d’etat tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan Hari Angkatan Perang (baca: G30S di Hadapan Mahmilub – perkara Nyono – diterbitkan Pusat Pendidikan Kehakiman AD, hal. 276).
Juga Buku Putih “Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia”, penerbitan Sekretariat Negara (1994), pada hal. 63 menulis, bahwa pada awal September 1965, PKI melancarkan isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pada 5 Oktober 1965. Susunan Kabinet Dewan Jenderal yang dicatat dalam Buku Putih itu hampir sama dengan yang diungkapkan Untung dan Nyono, kecuali mengenai tiga portofolio. Yaitu untuk Dalam Negeri disebutkan akan dipegang oleh Hadisubeno, Luar Negeri oleh Dr. Ruslan Abdulgani, dan Hubungan Dagang Luar Negeri dipegang oleh Brigjen Sukendro.
Cerita tentang Dewan Jenderal tetap gelap sampai sekarang. Saya harap penelitian Pakorba akan berhasil mengungkapkannya. Komponen Orde Baru dan seluruh jajarannya tetap tidak mengakui.
Bukankah Bung Karno mengatakan, ada ketidakberesan dalam tubuh kita sendiri?
Jakarta, 25 Oktober 1999.

================================================== ===
CATATAN REDAKSI*: Artikel di bawah ini ditulis dan dibaca oleh A. Karim DP, mantan wartawan senior dan Ketua PWI, di depan Seminar Satu Hari PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru), 25 Oktober lalu. Seminar yang dihadiri tak kurang dari dua ratus pengunjung mantan-tapol Orba dari segala aliran politik ini diselenggarakan di gedung YTKI Jalan Gatot Subroto Jakarta. Karena sesuatu hal, artikel yang dikirim dari Negeri Belanda ini baru bisa diperbaiki file-nya dua hari lalu. Redaksi memutuskan untuk memuatnya secara utuh. Meskipun sudah agak terlambat, tetapi sebagai tambahan bahan studi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada saat Letnan Kolonel Untung dari Pasukan Pengawal Presiden (Men Cakrabirawa) melaksanakan operasi militer yang sangat mengejutkan, Gerakan 30 September 1965, yang oleh Orde Baru disebut sebagai G30S/PKI dan Bung Karno menyebutnya Gestok, Gerakan 1 Oktober.
Redaksi
Sumber:hersri setiawan , in: GELORA45@yahoogroups.com, Wednesday, 19 January 2011 13:03:36

1 komentar

Ning mengatakan...

Makasi Kang Herry udah mampir ke Blog saya