Think before you speak. Read before you think

Breaking News

PERPUSTAKAAN SEKOLAH SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN

Beberapa waktu yang lalu Mrs. Kathryn Rivai , Principal Seri Insan Secondary School Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, beserta salah seorang stafnya, berkunjung ke beberapa sekolah di Balikpapan, termasuk ke SDIT Istiqamah dimana anak-anak saya bersekolah.

Sekolah Seri Insan adalah salah satu sekolah yang dijadikan tujuan sekolah pertukaran pelajar siswa SMU Balikpapan baru-baru ini. Kunjungan Kathryn ini selain untuk berlibur juga untuk melihat sistem pendidikan di Indonesia, khususnya Balikpapan dan untuk menemui beberapa orang tua yang tertarik untuk mengirimkan putra-putrinya untuk melanjutkan sekolah di Seri Insan. Pada kunjungannya kali ini mereka melihat SMUN 4, SMUN 2, dan Istiqamah. Selain itu mereka juga bertemu secara formal dengan Dinas Pendidikan Kota Bontang beserta beberapa kepala sekolah yang diundang untuk mendengarkan presentasi mereka tentang sistem pendidikan di Seri Insan.

Mereka cukup terkesan dengan SDIT Istiqamah, terutama setelah melihat SMUN 2 dan SMUN 4 Balikpapan. Mrs. Kathryn Rivai menyampaikan bahwa Istiqamah telah menggunakan pendekatan yang modern. Hal itu ia lihat dari banyaknya hasil karya siswa yang ditempelkan di kelas-kelas. Ia sempat bertanya tentang biaya sekolah dan ketika disampaikan ia menyatakan bahwa biaya tersebut tergolong murah, tentu saja dibandingkan dengan sekolahnya di Malaysia.

Tetapi ketika diminta untuk menyampaikan kritiknya ataupun hal yang mungkin perlu untuk mendapatkan perhatian ia dengan hati-hati menyampaikan bahwa perpustakaan kita masih perlu untuk mendapatkan perhatian lebih.

Terus terang saya cukup terkejut mendengar komentar tersebut karena ketika kami bawa ke perpustakaan mereka nampaknya cukup terkesan dengan perpustakaan kami, apalagi kalau dibandingkan dengan perpustakaan SMUN 2 ataupun SMUN 4 yang kami kunjungi sebelumnya.

Akhirnya ia menjelaskan bahwa inti dari pendidikan di masa depan adalah MEMBACA. Untuk itu sekolah maupun orang tua haruslah dapat mendidik anak-anak mereka untuk bukan hanya mencintai buku tapi juga memiliki ketrampilan untuk membaca. Ketrampilan membaca meliputi kemampuan untuk membaca secara cepat dan kemampuan untuk memahami bacaan dengan baik. Ketrampilan membaca ini sangatlah penting bagi masa depan siswa. Untuk itu kecintaan terhadap buku haruslah dimulai dengan membiasakan diri siswa untuk membaca setiap hari. Ia bercerita bahwa di Malaysia sekarang ini telah dimulai program SILENT READING bagi semua siswa untuk semua tingkatan di semua sekolah dengan mewajibkan mereka untuk membaca buku di kelas masing-masing selama 20 menit setiap hari. Jadi disediakan jadwal khusus di kelas untuk membaca. Jika siswa setiap hari membaca selama 20 menit setiap hari maka praktik tersebut akan menjadi kebiasaan bagi mereka dan akan membuat minat membaca mereka akan tumbuh.

Apakah dengan demikian dijamin mereka akan cinta membaca? Tergantung, jawabnya. Jika kita bisa membuat kegiatan membaca tersebut menyenangkan, yaitu dengan memberikan buku-buku bacaan yang menarik bagi minat mereka dan membuat suasana dan program membaca tersebut ‘rewarding’, maka kecintaan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi jika kegiatan dan program membaca tersebut menjadi suatu bentuk tekanan, tidak terprogram dengan baik, dan tidak diikuti dengan pemenuhan fasilitas buku-buku yang sesuai dengan minat mereka maka kegiatan tesebut tidak akan optimal. It’s laboring, kata Kang Muroni.

Lantas apa kekurangan perpustakaan Istiqamah? Bukankah jumlah buku kami cukup banyak dan suasana ruangnya sudah cukup nyaman?

Ada beberapa kekurangan yang dengan mudah bisa saya simpulkan, katanya.

Pertama, luas perpustakaan masih jauh dari ideal. Paling tidak perpustakaan mestilah dua kali lipat dari yang ada sekarang. Minimal perpustakaan berukuran dua kali lipat dari ruang kelas karena ia harus bisa menampung banyak buku dan siswa dapat membaca dengan santai. Harus ada ‘chamber’ untuk ruang audio-visual yang tidak akan mengganggu bagi yang akan membaca. Idealnya ada ruang atau minmal meja bundar untuk diskusi.

Kedua, jumlah bukunya maupun judulnya belumlah memadai. Karena jika ada 400 siswa di sebuah sekolah maka paling tidak ada 4000 buah buku bacaan yang tersedia dengan jenis bacaan yang cukup bervariasi. Sekolah yang baik mestilah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pengembangan perpustakaan karena perpustakaan adalah inti dari sebuah sekolah. Sebetulnya, untuk melihat apakah sebuah sekolah itu baik atau tidak akan bisa dengan mudah kita simpulkan dari seberapa bagus pengelolaan perpustakaannya. Sekolah yang memiliki perpustakaan yang baik akan dengan mudah menghasilkan pelajar-pelajar yang berkualitas. Sebaliknya, jika sebuah sekolah memiliki perpustakaan yang buruk maka bisa dipastikan sekolah tersebut tidak akan mampu membekali siswanya dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Selain itu sebuah perpustakaan modern haruslah memiliki koleksi audio-visual dan bukan hanya ‘printed materials’. Sekolah perlu memiliki koleksi-koleksi kaset-kaset cerita, VCD atau DVD tentang ilmu pengetahuan yang sekarang ini tersedia seperti koleksinya National Geography yang sangat menarik itu.

Ketiga, buku untuk anak-anak sangat kurang. Bukankah sekolah istiqamah adalah tingkat ‘primary’ yang semestinya memiliki koleksi buku anak-anak yang memadai. Dengan jeli ia menyimpulkan bahwa penerbit untuk buku anak-anak tentulah sangat kurang di Indonesia karena ia melihat koleksi buku kita yang terbatas tersebut.

Keempat, buku-buku yang berbahasa Inggris juga sangat kurang. Katanya sekolah ini sangat menekankan pada kemampuan berbahasa Inggris. Tanpa buku-buku berbahasa Inggris ‘you are not going anywhere’.

Kelima, membaca belum merupakan program sekolah yang dirancang secara terintegrasi dengan kurikulum lainnya. Semestinya setiap mata pelajaran yang diberikan kepada siswa haruslah melibatkan pencarian referensi ke perpustakaan. Jadi perpustakaan betul-betul menjadi pusat untuk mencari informasi. Setiap guru haruslah dapat mengaitkan materi yang diajarkannya dengan referensi-referensi yang ada di perpustakaan sehingga siswa tahu bagaimana mencari informasi yang diperlukan di perpustakaan.

Keenam, sebuah perpustakaan mestilah dikelola oleh seorang pustakawan yang benar-benar memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola pepustakaan. Jika perpustakaan dikelola oleh non-pustakawan ibaratnya menyerahkan sebuah mobil kepada orang tidak bisa menyetir. Ia hanya akan berputar-putar tanpa tahu harus kemana dengan mobil tersebut.

Ketujuh, sekolah-sekolah di Indonesia nampaknya tidak memiliki perpustakaan khusus untuk para gurunya. setiap sekolah mestinya punya perpustakaan khusus bagi guru yang terpisah dengan perpustakaan bagi siswa. Koleksi-koleksinya tentulah berupa buku-buku yang diperlukan bagi guru untu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya daam mendidik dan mengajar. Buku-buku macam ‘Multiple intelligences’-nya Howard Gardner, ‘Taxonomi Bloom’, ‘Mind Mapping’, dlsbnya mestinya harus tersedia bagi guru dan merupakan buku bacaan wajib bagi mereka.

Ia kemudian menawarkan kepada Istiqamah untuk berkunjung ataupun magang ke sekolahnya di Sabah untuk melihat bagaimana perpustakaan dirancang agar menjadikan membaca sebagai bagian terpenting dari proses belajar siswa. Ia juga bersedia untuk membantu Istiqamah ‘in anyway we can to help you’, ujarnya, termasuk jika ada guru-guru bahasa Inggris ataupun bidang studi lain yang ingin magang di sekolahnya seminggu ataupun dua minggu. Gratis, tentu saja.

Ada sekolah lain yang tertarik?

Balikpapan, 16 Juni 2004

Satria Dharma

Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

Sumber Gambar: http://ec.europa.eu/

Sumber : satriadharma.wordpress.com

Tidak ada komentar