Think before you speak. Read before you think

Breaking News

Orangtua Kunci Mental Anak

Khoirun (21), warga Pagerandong, kecamatan Mrebet, kabupaten Purbalingga, Rabu (10/12) nekat mencoba bunuh diri dengan memanjat menara listrik tegangan tinggi di depan Perumahan Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas.


Uci, bocah berusia 11 tahun, pekan lalu nekat memanjat menara listrik saluran udara tegangan ekstra tinggi 150.000 volt di Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Dalam keadaan marah, dia memanjat menara itu hingga ke puncak tanpa takut jatuh, sementara orang-orang yang berada di bawah sudah hampir pingsan melihatnya. Ibunya, Ehan (41), tak kuat berdiri melihat Uci beberapa kali disambar burung di puncak menara.

Uci nekat memanjat menara listrik karena tidak sabar menanti sepeda yang akan dipinjamnya pulang. Uci yang sangat gemar bermain sepeda harus meminjam sepeda milik Endang, tetangganya, karena ayahnya tidak mampu membeli sepeda. Adapun Endang memerlukan sepeda itu untuk berjualan gas.

Untunglah, setelah dibujuk selama tiga jam dengan iming-iming sepeda akhirnya Uci bersedia turun.

Kenekatan seorang bocah dalam melakukan hal-hal yang berbahaya, bahkan ada juga bocah yang bunuh diri, makin lama kerap terjadi. Pemicunya kadang kala masalah yang sangat sederhana.

Apa yang mereka lakukan seperti yang orang dewasa lakukan. Ada yang gantung diri, ada yang terjun dari ketinggian, ada juga minum racun serangga.

Menurut psikolog dari Universitas Indonesia, Kristi Purwandari, penyebab bunuh diri tidak sesederhana seperti putus cinta, tertekan di sekolah, atau bertengkar dengan orangtuanya (Kompas, 5/4/2009).

Kristi mengatakan, praktisi kesehatan mental biasanya akan memilah faktor predisposisi (faktor pemberi pengaruh yang bersifat lebih mendasar) dari faktor pencetus situasional. Putus cinta faktor pencetus, tetapi kemungkinan besar ada faktor lebih mendasar, misalnya kerentanan pribadi menghadapi tekanan. Tentu situasi sangat sulit dapat mempermudah orang kurang tangguh menghayati keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Sementara itu, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adriana S Ginanjar, mengatakan, apa yang dilakukan anak-anak dalam menghabiskan hidupnya adalah mencontoh apa yang orang dewasa lakukan. ”Mereka mendapatkan informasi itu dari televisi, dari koran, atau dari pembicaraan dengan teman-temannya,” kata psikolog yang biasa dipanggil Ina.

Depresi

Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, diketahui, prevalensi anak (5-14 tahun) yang mengalami gangguan mental adalah 104 dari 1.000 anak, sementara orang dewasa yang mengalami gangguan mental 140 dari 1.000 orang dewasa.

Belum ada data mutakhir untuk gangguan mental. Namun, Arist Merdeka Sirait, Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak, memperkirakan, anak yang mengalami stres dan depresi saat ini lebih banyak. ”Situasi sosial ekonomi sekarang makin sulit dibandingkan empat belas tahun lalu. Orangtua pasti stres. Jika orangtua stres, anak pun akan tertekan,” kata Arist.

Data di Litbang Kompas menunjukkan, sepanjang tahun 2005-2008 ada 26 anak berusia 5-17 tahun yang bunuh diri. Tingginya angka anak yang bunuh diri ini menunjukkan anak tidak sekadar mengalami stres, tetapi sudah mengalami depresi. Dengan informasi dan wawasan yang belum luas, seorang anak yang depresi bisa mengambil tindakan yang berbahaya.

Ina mengatakan, orangtua dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah sering kali kesulitan memberikan perhatian kepada anak karena mereka sudah kelelahan mencari nafkah.

Uci datang dari keluarga dengan ekonomi lemah. Kedua orangtuanya sibuk berjualan tahu goreng keliling. Ketika Uci minta sesuatu, bisa jadi karena tidak sanggup memenuhi dan sudah kelelahan, Uci justru dimarahi. Dia lalu naik ke menara. Kenekatan Uci memanjat menara, pekan lalu, adalah yang keempat kalinya. Setelah dia memanjat, barulah orangtuanya memenuhinya.

”Ketika anak minta sesuatu dan orangtua tidak memenuhi, anak jadi marah. Setelah dia berbuat sesuatu yang dramatis, barulah orangtua memerhatikan,” kata Ina.

Kenekatan ini tentu saja berbahaya karena seorang anak tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai tindakan yang diambil. Seperti kenekatan Uci memanjat menara listrik, selain bisa membahayakan jiwanya, kenekatan itu juga mengancam pasokan listrik. Jika tubuh Uci terseret medan listrik, sudah pasti terjadi hubungan pendek arus listrik dan matilah listrik se-Jawa-Bali.

Komunikasi

Arist mengatakan, tekanan sosial ekonomi yang makin berat hanya bisa dikurangi dengan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. ”Jika orangtua memang tidak bisa memenuhi keinginan anak, berikan penjelasan mengapa permintaannya tidak bisa dipenuhi.”

Komunikasi yang baik dan berkualitas ini akan bisa menjelaskan mengapa dia tidak bisa membeli barang-barang kebutuhan yang diiklankan di televisi, misalnya. ”Tidak mungkin kita menutup stasiun televisi atau mencegah lingkungan sosial mengganggu ketenteraman anak. Kita juga sulit mengubah kurikulum sekolah yang tidak ramah pada anak,” ujar Arist.

Jika anak hanya dilarang atau ditolak permintaannya, anak akan menjadi bingung, ke mana lagi dia akan meminta. Sementara orangtua adalah satu-satunya idola yang dimiliki.

(M CLARA WRESTI)

Sumber : Kompas.com


Tidak ada komentar